Jumat, 22 Februari 2008

Reformasi Hukum

Cahaya reformasi makin lama, makin suram. Ada harapan, namun masih terlihat lilin-lilin kecil saja. Kawan saya--yang lawyer--masih berkeluh kesah tentang aparat yang masih doyan duit untuk menegakkan hukum. Tak heran, bila aparat penegak hukum berpenampilan parlente dan mewah hanya diperoleh dari "membisniskan jabatannya".
Bagaimana dengan perguruan tinggi? Masih ada idealisme tapi itu pun megap-megap. Jika akademisi idealis banget--ia memang harus meminjam tenaga hero superman. Karena, bila ikut cerita film india, tuan takur yang lalimnya kebanyakan. Amunisi sedikit dan siapa sich hari gini yang masih tertarik diceramahi etika profesi (yang hanya ada di kursus advokat tapi sulit ketemu di realitas).
Harapan masih ada, karena globalisasi, katanya, mau membusukkan semua yang buruk dan tidak profesional. Ada standarisasi iso, ada peluang bila rule of law tidak tegak, investor kabur. Jadi, mungkin bila kita dipaksa keadaan, perubahan bisa saja terjadi. Sayangnya, globalisasi juga punya dua wajah: bisa bagus--karena profesionalitas, bisa jelek karena kapitalisme makin subur sehingga siapa yang punya modal berhak hidup, yang miskin mesti ke pinggir dan negara asia menjadi kompetisi berdarah-darah: pilihannya hidup dan mati.
Lepas dari itu semua, di ruang sunyi keilmuan, saya mengendapkan semua harapan. Andai waktu bisa mempersingkat semua proses menuju kebaikan. Entahlah.

Kamis, 21 Februari 2008

Refleksi

Menurut saya, kita harus sesekali menarik refleksi. Sebab, hidup terlalu dikurung rutin dan jebakan-jebakan berhala hedonisme dan konsumerisme. Ditengah kemeriahan yang kalut itu, kita perlu menarik jarak dan bertanya-tanya: identitas kita ini apa dan tujuan akhir apa. Dengan begitu, kita makin sehat dan mampu memilah atau memilih apapun yang berlarian di kiri-kanan kita.
Heiddeger malah menulis bahwa kita perlu keluar dari selubung rutin untuk memahami hakikat kedirian kita. Keterlemparan kita yang sering melupakan "ada" kita seharusnya dibongkar, sehingga "ada' kita yang sesungguhnya menyembul, menampakkan diri pada kita. Mungkin, merenung dan berefleksi sejenak adalah sarana agar ada sejati kita timbul dan kita bisa sisihkan yang palsu-palsu, yang bukan diri kita.
Entahlah!!!karena saya sendiri adalah ada yang mengembara dan belum otentik..

CURHAT

Ada baiknya curhat--pertama, membuka ruang pengap. kedua, bisa juga jika ada yang berguna, dibagi buat orang lain.
Saya ingin berkisah soal kegagalan yang tidak selalu buruk. Waktu seusai SMA, saya ingin masuk UI--daftar di FISIP jurusan sosiologi--eh tidak lulus UMPTN. Dunia serasa gelap, tapi, akh masih ada perguruan swasta, saya daftar di fakultas hukum universitas pakuan. Disana, saya belajar keras---akhirnya lulus dengan cum laude. Semasa mahasiswa, saya sering main ke UI yang saya kagumi itu, masuk ke lsm dengan LBH Jakarta dan sering buat kajian-kajian dan sempet nulis di buletin hukum pakuan yang katanya sepanjang sejarah baru saya yang menulis di buletin dalam status mahasiswa karena buletin itu untuk dosen-dosen. Seorang dosen bernama pak Maman S Mahayana (pengajar sastra juga di UI) komentar, kamu tidak usah minder tidak masuk UI, karena pikiranmu seperti mahasiswa UI juga. Diam-diam saya bersyukur dan berkomentar dalam hati---akh sebenarnya bukan soal di UI atau non UI, yang penting khan kitanya, kalau kuliah rajin dan ingin menimba ilmu rasanya bisa juga khan. Nah, selesai S1 univ. pakuan, test lagi ke S2 UI,eh ternyata tidak diterima juga (dan bagusnya UI, semua melalui test tanpa bisa titipan padahal saya banyak teman dosen-dosen FHUI namun tetap saja obyektif saya tidak l0los) dan akhirnyamasuk S2 Univ. Tarumanagara. Meski begitu, suatu saat, saya diundang FHUI menjadi juri karya tulis ilmiah mahasiswa dua kali di fak hukum UI, wah pikirku, tidak masuk ke FHUI tapi langsung jadi juri di FHUI bolehlah...hehehe...cukup bangga.
Namun diluar di atas, saya ingin memberikan suatu penegasan bahwa kuliah dimana saja mau negeri atau swasta tidak jadi soal, yang penting bagaimana kita memaksimalkan diri. Dan, sebagai putra lokal, anak kampus univ. pakuan bangga juga bisa menembus semua cakrawala karena ilmu demikian lebar dan tidak kenal stratifikasi.
Sorry, kali ini kurang begitu bermutu (mungkin!!!)

Rabu, 20 Februari 2008

PARADIGMA

Sebetulnya kita selalu dibentuk dan membentuk paradigma. Ketika kita mengomentari sesuatu maka tidak pernah beranjak dari ruang kosong, selalu ada yang sebelumnya telah memberikan asupan sehingga komentar kita adalah hasil pengolahan pengalaman-pengalaman subyektif--termasuk juga seberapa jauh kita memiliki kekayaan wawasan.

Yang bahaya: wawasan terlalu sempit, emosi kelewat besar dan terlalu percaya diri dengan dua kebodohan tadi. Sayangnya, kita sering tidak sadar pada batas dan warning tadi. Mungkin solusinya, "ada baiknya banyak mendengar, banyak melihat dan menimbang-nimbang", tanpa juga harus mengorbankan momentum.

Nah, terserah kita!

Senin, 18 Februari 2008

Wimar Witoelar (Bersahaja Meski Luar Biasa)

Wimar Witoelar, bagi saya, profil unik. Ia seringkali dianggap dapat merepresentasikan perasaan publik--meski dengan segera pasti wimar menolaknya. Ia cenderung hanya ingin dianggap sebagai orang biasa. Namun, bagi saya, justru disana letaknya, ia menjadi orang biasa yang tidak biasa. Sebab, umumnya, orang biasa kesulitan mengartikulasikan apa yang ada dibenaknya karena beragam kekhawatiran, dan wimar menembusnya. Hanya satu--nampaknya--komitmen yang timbul dari sikapnya yakni bahwa ia berupaya jujur dan seiya sekata antara pikiran dan tindakan.
Bagi saya, dibalik sisi-sisi topnya wimar witoelar (host dimana-mana, mantan jubir presiden, profesor tamu di deakin university), ia adalah pribadi hangat yang selalu membuat diri ini 'kikuk' karena kebaikannya yang sering tak terduga. Ia senang dengan surprise-suprise yang membuat siapapun yang dihadapinya memiliki rasa percaya diri. Itulah yang saya alami selama menjalin interaksi perkenalan dengannya . Sejak diundang menjadi tamu pada acara perspektif SCTV tanggal 17 Juni 1995 (saat itu saya masih mahasiswa lugu) hingga kini, ia tidak berubah. Hangat dan tetap kritis.
Sebuah doa tulus tersaji padanya: "moga tetap dalam kesehatan agar senantiasa mampu mewakili publik yang tak mampu bersuara mewakili dirinya sendiri".

Bermimpi

Wajar mungkin, bila kita selalu mengagumi tokoh-tokoh. Sejak kecil--terpikir--kok menarik yah jadi dan kenal dengan presiden misalnya. Beranjak abg, mimpinya lain lagi, asyik juga yah kenal dengan artis. Masuk kuliah, mimpi direvisi, lebih asyik lagi dikenal pakar-pakar.
Nah, melalui mimpi seperti tadi yang bercampur baur dengan kekaguman, lalu kutorehkan di sisi-sisi realitas yang mungkin. Berkirim surat dengan artis, sok kenal dan akrab dengan pakar-pakar atau surat menyurat ke media dan televisi.
Hasilnya? Meski tidak membuat saya terkenal (dan memang bukan tujuan tapi dampak--istilah mantan mahasiswi saya, riyanni jangkaru), saya sempat mampir dipublikasi ditelevisi dan media serta berkenalan dengan berbagai tokoh yang dulu hanya bisa dilihat dari jauh (entah itu pa wimar witoelar, goenawan mohamad, ayu utami, prof. satya arinanto, gusdur dan sebagainya).
Nah, saya ingin bermimpi lagi, menjadi "seseorang" yang dengan nutrisi kaya perspektif memiliki jaringan perkawanan yang luas dan mampu belajar berkata dan terus konsisten berkata tidak pada semua kezaliman. Namanya mimpi, bisa jadi ia menguap waktu kita terbangun. Atau malah, ia jadi kenyataan. Entahlah!

Obituari (Pribadi) Prof.Dr. Koesnadi Hardjasoemantri,SH ML

SAAT kumenyusuri deretan rak buku di Gramedia Matraman, kutemukan satu buku mengenai Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, berjudul Menebar Budi, Menuai Sahabat, terbitan Yayasan Koesnadi Hardjasoemantri, 2007. Di dalam buku tersebut, berserakan opini sahabat-sahabat dan tokoh-tokoh terhadap Prof. Koesnadi, seperti Adnan Buyung Nasution, Hikmahanto Juwana, Maria Hartiningsih (Wartawati Kompas), Moh.Mahfud, Gayus Lumbuun dan sebagainya. Bergetar juga saya membacanya. Di dalam buku yang didedikasikan untuk menghormatinya yang meninggal akibat jatuhnya pesawat Garuda GA-200 rute Jakarta Yogyakarta pada Rabu 7/Maret/2007.
Dari segi kerabat, Prof. Koesnadi adalah masih terbilang garis kakek dengan saya, karena orang tua Prof. Koesnadi yakni Gaos Hardjasoemantri adalah adik dari Ibu Onik yang merupakan nenek dari ayah orang tuaku (ayah ibuku), yakni TA Sambas Wiriamihardja. Jadi, saya sering menyebut kakenda.
Terus terang--dengan kedukaan yang dalam--saya dengan Kakek Prof. Koesnadi tidak sering berjumpa. Namun, setiap perjumpaan mewakili sebuah kesan kuat dan motivasi luar biasa. Ia selalu bilang "tekunlah mendalami ilmu dan rajin membaca" merupakan bekal yang tak pernah hilang. Kejujuran dan kesederhanaannya luar biasa. Meski pernah menjadi anggota MPR, Rektor UGM, Direktur Pasca Sarjana FHUI, Atase Pendidikan di Belanda dan sebagainya, namun tetap rendah hati. Selalu menyapa dengan senyum lebarnya dan memotivasi diri ini agar meneruskan studi. Sungguh jejak langkahnya ingin kuikuti meski tak mungkin rasanya menyamai prestasinya yang luar biasa.
Prof. Koesnadi, guru besar hukum lingkungan yang bukunya menjadi wajib disemua perguruan tinggi, memang telah meninggalkan kita. Namun cahaya prestasinya dan pengorbanannya yang luar biasa tak kan terlupakan. Terakhir, sebelum tiada, ia ingin mengembangkan Universitas Gunung Kidul yang selama ini dibiayai dari honorariumnya untuk menjadi perguruan tinggi yang mampu menampung masyarakat Gunung Kidul yang dikenal minus. Sungguh sebuah teladan yang terketuk-ketuk di dalam diri ini.

Senin, 11 Februari 2008

Cendikia--Problem epistemologi

Cendikia--dalam teks--merupakan sejenis makhluk yang mampu menawarkan alternatif dengan kecerdasan dan kebajikan juga berkadar moralitas tinggi. Katanya, semua sekolahan (mau SD ampe S3) diarahkan agar kita menjadi seorang cendikia, bijak memilah, tidak mudah menghakimi dan senantiasa terbuka terhadap semua hal.

Masalahnya, menjadi cendikia menjadi problem epistemologi manakala definisi cendikia disetarakan dengan atau direduksi sebuah term mengenai menara gadingnya suatu perguruan tinggi. Misalnya, bagaimana studi di perguruan tinggi tidak menjadikan kita makhluk aliens tapi mampu berinteraksi dengan masyarakat sekitar.

Seorang filsuf Jerman bernama Juergen Habermass percaya bahwa problem-problem di atas bisa dipecahkan dengan komunikasi. Komunikasi yang dibangun dari rasionalitas dan bebas dialogis. Untuk itu, komunikasi harus mengalami deliberasi===suatu bentuk radikalisasi ruang publik di mana semua pihak bisa berwacana disana dengan baik sehingga mampu melahirkan manfaat bagi semua.

Nah, ketika sekolah sudah menjadi komoditi, saya khawatir, cendikia tadi tidak tercapai. Sebab, cendikia bukan hasil suatu kurikulum ketat, baris berbaris, dan tugas paper setumpuk. Cendikia diasah dari kepekaan menangkap masalah sekitar. Bisa tajam dengan persoalan kebangsaan misalnya. Sayangnya, negeri kita, kekurangan cendikia. Orang pintar banyak tapi orang bijak dan bermoral langka. Untuk itu, rupanya kita harus mendekonstruksi cara berpikir kita. Membangun sebuah orientasi baru melihat dunia dengan pemahaman yang jernih dan bening. Membidik nurani dan merefleksikan siapa kita dan hendak kemana kita.

Saya rasa---bila kita belajar filsafaf hukum misalnya---yang mesti dipahami bukan hapal aliran-aliran filsafat hukum dari mulai hukum kodrat sampai critical legal studies, namun bagaimana semua ilmu yang kita dapat dijadikan alat refleksi dan pisau analisis agar tajam menjemput problem eksistensialistik disekitar kita. Hukum--jika dibuat beku dengan gaya kapitalistik yang kini dirasakan di Indonesia---akan menjadi apa yang dikatakan Marx==alat dominasi bagi kelas dominan. Maka, akan lahir problem justice di sana, pertentangan kelas makin menghebat dan menggila.

Nah, kita sepertinya ditantang untuk mampu berkontribusi dengan cara-cara intelektualitas menjernihkan problem kebangsaan dengan kemampuan dan posisi kita. Kayaknya, kata-kata super serius ini saya tutup dengan: "jangan pilih politisi busuk, hentikan korupsi dan suap, cegah global warming, kembalikan tata ruang yang berwawasan lingkungan dan lawan kapitalisme lokal dan global". Bukankah kita masih bangsa Indonesia?

Urgensi Jaminan Hak Atas Kebebasan Memperoleh Informasi Publik

Hak atas kebebasan memperoleh informasi publik merupakan bagian dari hak asasi manusia di bidang sipil dan politik yang harus dijamin oleh negara. Keberadaan dan jaminan hak atas kebebasan memperoleh informasi publik sekaligus merupakan sinyal dan pilar apakah suatu negara menganut konsep negara hukum dan demokrasi atau tidak. Konsep negara hukum dan demokrasi sendiri merupakan indikator bagi keberlakuan pemerintahan yang baik (good governance).

Jaminan hak atas kebebasan memperoleh informasi publik merupakan sarana dan strategi untuk mendorong pemerintahan yang terbuka (open government) sehingga masyarakat sebagai pelaku kedaulatan dapat turut serta berpartisipasi dan mengontrol tindakan penyelenggara pemerintahan. Selain itu, jaminan hak atas kebebasan memperoleh informasi publik dapat pula mendukung dan menjadi instrumen untuk mencegah praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Praktik KKN umumnya terjadi di dalam suatu sistem pemerintahan yang tertutup dan minimnya akses terhadap informasi publik.

Di dalam konteks negara hukum dan demokrasi, setiap pembentukan maupun pelaksanaan hukum harus senantiasa melibatkan partisipasi masyarakat. Melalui partisipasi masyarakat, menurut Filsuf Jurgen Habermas[1], akan merangsang masyarakat untuk memobilisasi solidaritas sosial sehingga melahirkan hukum yang legitim. Partisipasi masyarakat hanya akan dapat berlangsung bila akses terhadap informasi publik terjamin.

Secara yuridis, berbagai ketentuan internasional maupun nasional telah menyinggung jaminan hak atas kebebasan memperoleh informasi publik. Deklarasi Universal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948 pada Pasal 19 telah merumuskan mengenai hak setiap orang untuk mencari, menerima dan memberikan informasi. Demikian pula, Kovenan Internasional PBB tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada Pasal 19 telah mengatur tentang hak kebebasan mencari, menerima dan memberikan segala macam informasi tanpa melihat perbatasan negara. Adapun secara nasional, di dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada Pasal 28 F dirumuskan bahwa hak setiap orang untuk memperoleh informasi. Dengan rumusan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hak atas kebebasan memperoleh informasi publik merupakan hak konstitusional yang wajib dijamin negara.

Selain di tingkat konstitusi, hak atas kebebasan memperoleh informasi publik sebenarnya telah dijamin pula di berbagai peraturan perundang-undangan secara tersebar seperti Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan sebagainya. Namun demikian, terdapat permasalahan hukum yang timbul dari berbagai peraturan perundang-undangan tersebar di atas berkaitan dengan hak atas kebebasan memperoleh informasi publik. Permasalahan hukum ini menyangkut ketidakjelasan bagaimana masyarakat secara teknis mendapatkan informasi, apa kategori informasi publik dan perbedaannya dengan rahasia negara, bagaimana sanksi yang dapat dikenakan terhadap pejabat publik yang menghalang-halangi akses masyarakat terhadap informasi publik dan lembaga mana yang menangani keluhan terhadap pelayanan informasi. Hal inilah yang kemudian mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah untuk membentuk Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang hingga saat ini belum selesai dibahas dan disetujui.

Menurut Todung Mulya Lubis[2], diharapkan, pengaturan mengenai Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik dapat menjamin tiga elemen penting yang terkandung dalam hak atas informasi yakni hak untuk mengumpulkan informasi, hak untuk menyebarluaskan informasi dan hak untuk mengkomunikasikan informasi tersebut.
(Cuplikan abstrak tesisku)

[1]F Budi Hardiman, “Menyimak Filsafat Politik Habermas, Demokrasi Deliberatif: Model Untuk Indonesia Pasca Soeharto?”, Basis, No.11-12 Tahun ke-53, November-Desember 2004, 18.
[2]Todung Mulya Lubis, “Realitas Hak-Hak Untuk Mendapatkan Informasi Dan Berkomunikasi Di Indonesia”, Hukum dan Pembangunan, Nomor 4 Tahun Ke XVI, Agustus 1986, 350.

Trias Politica dan Korupsi Di Daerah

Di berbagai daerah kini marak korupsi, baik swasta maupun kelembagaan pemerintahan. Korupsi pun dilakukan dengan berbagai cara dan modus. Mulai dari mensiasati mata anggaran APBD, penyimpangan alokasi dana APBD hingga praktik mafia peradilan. Dalam konteks trias politica, korupsi di daerah ini ternyata menyerang ganas semua elemen baik kelembagaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Yang menggenaskan, doktrin trias politica di atas, sebagaimana dirumuskan oleh Montesquieu (1689-1755) dimaksudkan untuk menghindarkan penyelenggaraan pemerintahan menuju ke kekuasaan absolutisme yang melahirkan korupsi yang luar biasa absolut pula. Maka, olehnya kekuasaan pemerintahan dipisahkan baik organ maupun fungsi dalam tiga lembaga tadi, legislatif, eksekutif dan yudikatif (Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara,1982:2). Meski tidak ada yang menganut murni ajaran ini, namun setidaknya ada kesadaran untuk tidak melembagakan kekuasaan pemerintahan hanya di satu tangan institusi eksekutif belaka. Rupanya, gagasan Montesquieu gagal total di Indonesia. Korupsi tak terhindarkan menerjang kelembagaan trias politica. Ada apa di balik semua ini?

Impotensi Kontrol

Banyak pengamat asing yang mempercayai mitos bahwa kita hanya pandai menyusun rencana tapi lemah di implementasi dan eksekusi. Atau dalam bahasa populernya, bangsa ini tergabung kelompok NATO (No Action Talk Only). Untuk melawan itu, sudah mendesak melembagakan sejumlah agenda aksi. Salah satunya, menyembuhkan impotensi kontrol terhadap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.

Dalam berbagai kasus, kita memiliki lembaga kontrol baik eksternal maupun internal. Namun problemnya, kontrol ini sering mengalami impotensi akut. Faktor pencetusnya adalah lemahnya komitmen untuk menjadikan kontrol sebagai sarana preventif sekaligus represif melawan korupsi. Lebih parah lagi, jika fungsi kontrol dijadikan komoditi, seperti pada penyelesaian perkara korupsi di lembaga penegak hukum. Ada oknum aparat penegak hukum yang menjadikan kewenangan kontrol yuridis yang ada padanya sebagai sarana tawar menawar kolutif dengan pelaku korupsi. Celakanya, ada pelaku korupsi malah menjadi semacam ATM (mesin uang) bagi oknum aparat tadi. Dengan dibawah ancaman akan dipidana, maka para pelaku korupsi tadi menggelontorkan sejumlah uang sogok bagi oknum aparat tersebut. Jika ini diproduksi terus, korupsi praktis tidak akan hilang. Bahkan, menjadi denyut kehidupan keseharian bernegara.

Untuk merevitalisasi kontrol agar kembali berdaya maka perlu dibangun dua syarat mendasar. Pertama, adanya pengetahuan yang cukup dari lembaga pengontrol terhadap apa yang dikontrolnya. Dan, kedua, adanya integritas pengontrol untuk tegas menindak setiap penyimpangan. Kedua syarat ini akan semakin bersinergis bila diikat oleh adanya kohesi solidaritas yang tinggi dari masyarakat untuk mendukung proses pemberantasan korupsi tanpa terkecuali.

Melibatkan Publik

Salah satu strategi memberantas korupsi adalah dengan melibatkan maksimalitas peran publik. Partisipasi adalah kata kuncinya. Sayangnya, demokrasi kita baru berhasil membangun dengan amat minim demokrasi elektoral. Belum sampai pada tradisi demokrasi partisipatif. Untuk itu, Jurgen Habermass mengusulkan untuk melembagakan demokrasi deliberatif yang bersanggakan pada komunikasi bebas penguasaan dan “dialog-dialog emansipatorik” (F Budi Hardiman, Kritik Ideologi, 2004:253). Dialog emansipatorik tadi terbentuk pada semua elemen masyarakat dan tidak direduksi sekedar pada lembaga parlemen. Demikian juga dalam memberantas korupsi, keterlibatan publik baik formal maupun informal mesti menjadi keniscayaan.

Untuk mewujudkan di atas, butuh mediator atau fasilitator. Civil Society Organisation (CSO), pers dan kampus bisa menjadi instrumen strategis untuk itu. Syaratnya, masing-masing independen, anti suap, solid dalam mematikan korupsi. Dengan tekanan yang dahsyat, korupsi dapat diberantas, baik di pusat maupun daerah.
Dalam praktik, tentu saja mewujudkan hal di atas tidak mudah. Pertama, perlu komitmen dari perguruan tinggi misalnya untuk tidak menjadi menara gading. Sementara bagi pers harus mengharamkan jurnalisme partisan dan amplop. Kedua, adanya pendidikan politik yang konsisten untuk memberikan kemampuan dan pengetahuan yang cukup bagi masyarakat untuk melawan korupsi. Ketiga, adanya kesatuan visi dan agenda aksi bersama yang solid serta beranjak dari kejelasan sasaran sekaligus penghormatan terhadap supremasi hukum.

Investasi Kepercayaan

Ujungnya, memberantas korupsi di lembaga trias politica mensyaratkan setidaknya dua hal menurut Achmad Ali (2002:69) yakni (1) mengembalikan hukum ke akar moralitas, kultural dan religiusnya dan (2) melengserkan semua petinggi dan penegak hukum yang tergolong “sosok-sosok sapu kotor” (the dirty sweep). Tentu saja, selain dua hal di atas, kiranya perlu diikuti pula dengan pelembagaan sistem anti korupsi yang sanggup memberikan indikator sekaligus sinyal terhadap semua potensi korupsi.

Dalam konteks sistem di atas, maka perlu dipikirkan untuk melembagakan pranata good governance seperti transparansi, akuntabilitas, supremacy of law, akses bebas terhadap informasi publik dan penghargaan terhadap nilai-nilai plural demokrasi. Di daerah, bila legislatif sebagai pembentuk hukum memiliki komitmen melakukan terobosan bisa saja dilakukan dengan membentuk perda partisipasi dan akses informasi publik seperti pernah dilakukan di Banten dan Makassar. Dengan payung hukum seperti ini dapat menjadi dasar guna menguatkan masyarakat sipil yang anti korupsi.

Pada akhirnya, bila berbagai terapi di atas dilakukan, maka akan lahir kembali kepercayaan masyarakat pada hukum. Kepercayaan ini dapat menjadi investasi sekaligus pelumas bagi laju jalannya usaha perekonomian. Setidaknya, dengan bangunan kepercayaan tegaknya hukum akan memberikan pengaruh bagi investor untuk berinvestasi sekaligus memangkas faktor pencetus high cost economy. Harapan akan selalu tersedia. Tinggal komitmen dan aksi nyata menjadi utang tagihan bagi kita semua.
Pernah dimuat di Harian Radar Bogor

Hukum, Masyarakat dan Partisipasi

Instrumen yang paling lemah dalam kehidupan bernegara kita saat ini adalah hukum. Kelemahan ini seakan-akan mengulangi lagi berbagai debat ahli terhadap fungsi hukum dalam masyarakat. Bagi Marx, misalnya, hukum seringkali dibaca sebagai pelayan bagi kelas yang dominan. Hukum, menurutnya, lahir dengan epistemologi berbau ketidakadilan kelas. Hal ini berbeda dengan Kelsen yang masih mempercayai kemurnian hukum. Syaratnya, ia harus dibebaskan dari anasir non hukum. Berbagai perdebatan dua ahli di atas tadi tidak sepenuhnya salah dan sekaligus juga tidak sepenuhnya benar.

Saat pedagang kecil digusur,UKM sulit mendapatkan kredit, usaha hypermarket mematikan pedagang kelontong dan koruptor divonis ringan maka rasanya hukum sedang berpihak pada kelas dominan, yakni kaum elite dan orang yang memiliki akses kekayaan (kapital) besar. Namun, saat hukum dikembalikan fungsinya demi ketertiban dan keadilan maka harapan kembali terang benderang. Ini bisa dilihat misalnya dari usaha legislator menyusun berbagai aturan yang menegakkan moral masyarakat, aparat kepolisian yang membongkar jaringan human trafficking dan narkoba maupun ikhtiar KPK yang tiada ampun menjerat koruptor melalui ketentuan yang ada. Dalam konteks terakhir, maka statemen Kelsen rasanya perlu dikoreksi. Hukum justru harus berkelindan dengan faktor non hukum, misalnya nilai moralitas di masyarakat, budaya yang pro terhadap penegakan hukum serta dukungan komunitas pengusaha yang berkepentingan terhadap negara yang bersih, bebas KKN.

Jadi, hukum mungkin perlu diredefinisi ulang. Ia bukan ruang imun bebas dari dinamika perubahan sosial masyarakat. Ia—bisa jadi—merupakan elemen yang perlu sumbu pendukung seperti komitmen elite politik yang ingin menegakkan hukum. Hukum merupakan dependent variable.

Meletakkan Relasi Hukum Dan Masyarakat

Dalam sejarahnya, memang hukum tidak pernah lepas dari masyarakat. Ubi societas ibi ius ( di mana ada masyarakat, disana ada hukum). Persoalannya, seberapa jauh hukum yang ada dibutuhkan dan berguna atau mendukung kepentingan masyarakat yang lebih banyak. Ini akan berjumpa dengan ranah politik hukum yakni suatu kebijakan negara untuk menyusun tentang penghukuman sesuatu baik sekarang maupun di masa depan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam konteks politik hukum, maka ada fenomena suatu tolak tarik yang amat kuat antara berbagai kekuatan politik untuk mempengaruhi hukum. Di sektor legislasi misalnya, kekuatan daya tolak tarik ini amat terdeteksi dengan kuat. Misalnya, saat menyusun daftar prioritas pembentukan aturan, dapat disusun suatu pertanyaan, apakah aturan yang dibentuk lebih melayani pada masyarakat luas atau ada titipan dari elite tertentu? Demikian pula di wilayah penegakan hukum misalnya, apakah agenda membasmi teroris sama kuat enerjinya dengan membasmi koruptor?

Untuk itulah maka menjadi amat penting membangun konstruksi negara hukum demokratis. Konstruksi ini dirumuskan melalui kohesi yang erat antara negara yang dibatasi penyelenggaraannya oleh hukum dan patuh menjalankannya dengan hukum yang diproduksi untuk membatasi negara diciptakan melalui mekanisme demokrasi. Melalui konstruksi inilah lalu dapat kita sajikan relasi harmonis antara hukum dan masyarakat. Disini pula, partisipasi publik dalam berbagai kegiatan hukum mulai dari pembentukan hingga pengimplementasian menjadi keniscayaan. Dan, memang, secara konstitusional, semua harapan di atas sudah termuat dalam UUD 1945 (Pasca Perubahan), khususnya di dalam Pasal 1. Namun, tinggal pertanyaan yang mesti dijawab, bagaimana konsistensinya?

Wacana Hukum Responsif

Ujung dari hubungan hukum, masyarakat dan partisipasi adalah desakan kebutuhan adanya hukum responsif. Menurut Nonet dan Selznick (2004), hukum responsif adalah hukum yang mampu melayani kebutuhan sosial masyarakat dan senantiasa terbuka bagi perubahan demi terakomodasinya aspirasi sosial masyarakat.

Bagaimana melahirkan hukum responsif? Menurut penulis, ini harus berawal dari kesadaran bersama bahwa hukum tidak hanya sebatas pasal-pasal seperti nomer telepon melainkan ia membawa bangunan ide, cita-cita dan moralitas bagi lahirnya kondisi ketertiban sekaligus keadilan secara simultan. Dengan kesadaran seperti ini maka pembentukan hingga penegakan hukum bukan menjadi alat bagi segelintir kelompok tapi melayani publik yang lebih luas. Berbagai kebijakan hukum dilakukan dalam kerangka mewujudkan keadilan, ketertiban serta kesejahteraan bagi semua, tanpa terkecuali.

Selain hal di atas, hukum akan semakin meningkat derajat responsifnya bila ia selalu menjadi formalitas kesepakatan publik. Artinya, level demokratisasi di setiap elemen baik pembentukan maupun penegakan hukum menjadi hal yang mendesak. Keterbukaan dan akses informasi, akuntabilitas serta penghormatan terhadap hukum menjadi agenda penting untuk mendorong hukum responsif.

Integritas

Ada anekdot yang mengatakan “negara ini terlalu banyak orang pintar namun sulit mencari orang berintegritas”. Integritas merupakan standar kompetensi yang didalamnya tercakup kejujuran, profesionalitas dan semangat anti korupsi. Dengan integritas yang baik dan berkualitas dapat membantu percepatan lahirnya hukum yang berpihak pada masyarakat luas.

Membangun integritas, tentu tidak mudah. Perlu komitmen dan ketabahan dalam melakukan kaderisasi personal maupun sistem untuk itu. Integritas sering diganggu juga oleh koalisi pragmatis atas nama kepentingan kapital sekelompok elite. Untuk itu, sudah waktunya masyarakat bersikap. Menegakkan integritas dan melawan semua praktik korupsi. Dan tak kalah pentingnya, mengembalikan hukum dalam otoritas tertinggi sebagai sistem aturan yang diharapkan mampu memberikan pedoman perilaku bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Harapan senantiasa tersedia bagi kita yang memang bekerja keras dan loyal terhadap aksi membasmi korupsi.

Kualat Pendidikan

KUALAT PENDIDIKAN

Ada apa dengan pendidikan kita? Gedung sekolah ambruk, komersialisasi sana-sini, guru minim kesejahteraan, mutu pendidikan tidak jelas, relevansi dunia usaha dan keluaran pendidikan tidak signifikan. Semua seakan saling menafikan. Atau malah gelap.

Di sisi lain, meski muram dan buruk wajah pendidikan, pemerintah baik pusat maupun daerah belum terlihat gebrakan yang mampu mendorong keterpurukan pendidikan. Malah, pemerintah pusat masih berkutat dikontroversi Ujian Akhir Nasional (UAN) yang “katanya” metode pemetaan kualitas sekolah, tapi menyedihkannya dengan menjadikan peserta didik sebagai “kelinci percobaan”. Dalam bahasa lugas, alat indikator tidak nyambung dengan tujuan.

Tentu, dibalik carut marut pendidikan bermodal bopeng tadi, ada pihak-pihak yang diuntungkan. Oknum penerbit (yang punya perjanjian “abadi” dengan oknum pendidik), oknum pimpinan sekolah yang sibuk berkalkulator mendesain dalih “uang bangunan” yang meningkat terus, tanpa diikuti perbaikan bangunan, dan tentu saja oknum-oknum lain dalam stake holders pendidikan yang pandai memanipulasi anggaran atau apapun yang berkaitan dengan lembar rupiah.

Permaafan

Celakanya, bangsa kita bertabiat bangsa permakluman (atau permaafan). Atas nama gaji kecil, kita semua tutup mata pada perbuatan kriminal mulai dari yang kecil hingga besar. Atas nama kebiasaan dan tradisi, amat sulit menggeser paradigma bahwa pendidikan adalah membebaskan dan bukan mengkerdilkan peserta didik. Juga atas nama pengalaman, para pendidik enggan mengubah pola mendidik yang sudah mulai mesti dimuseumkan karena tidak sanggup bertemu arus zaman.

Pertanyaan berikutnya, sampai kapan kita menjadi bangsa yang buruk rupa cermin pendidikannya? Bagi penulis, itu hanya bisa dimulai dari kesadaran nurani kita untuk mengatakan “stop” pada semua faktor pencetus runyamnya dunia pendidikan.

Apa yang kita bisa lakukan? Salah satunya menyusun peta masalah. Pendidikan ternyata benang ruwet yang ada di empat ranah problem klasik. Pertama, pemerataan pendidikan. Biasanya di ranah ini akan bertemu dengan masalah akses orang miskin terhadap pendidikan, kekurangan guru (baik kuantitas maupun kualitas) dan rusaknya sarana dan prasarana pendidikan yang sudah sampai ke puncak nadir berbahaya.


Kedua, masalah efisiensi pendidikan. Kita selalu bertemu dengan angka-angka fantastis ketika hendak menyekolahkan putra putri kita, tanpa tahu dengan pasti dan meyakinkan, akurasi perhitungan, transparansi, juga akuntabilitasnya. Memang, kita memiliki wakil untuk mengaudit itu yakni Komite Sekolah ataupun Dewan Pendidikan. Sayangnya, seperti lembaga-lembaga serupa di tanah air, mayoritas lembaga tadi mandul dan penuh dengan konflik kepentingan dengan pihak sekolah.

Ketiga, kualitas pendidikan. Mutu pendidikan amat bergantung pada kualitas sumber daya manusia (SDM). Menjadi pertanyaan penting, sejauhmana hak guru meningkatkan kualitas dirinya mendapat prioritas pemerintah? Apakah pemerintah menyediakan anggaran untuk pelatihan bagi mereka secara memadai? Apakah ada evaluasi terhadap hasil keluaran pendidikan dengan daya serapnya dalam dunia usaha? Sudahkah membangun komunikasi dengan pengguna (user)? Jika jawabannya negatif, pendidikan kita sudah mendekati jurang.

Keempat, relevansi pendidikan. Saya tidak bisa membayangkan, setiap tahun sekolah menengah umum/atas melahirkan lulusan demikian banyak, namun jika mereka tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, apakah dengan kemampuan yang didapat di bangku sekolah dapat dipraktikkan di dunia kerja. Atau, malah, jangan-jangan, mereka adalah agen pengangguran sebagai korban sistem pendidikan.

Kiat Lolos

Memang untuk lolos dari jerat masalah pendidikan tidak mudah. Tapi bukan juga mustahil. Salah satu kiatnya adalah revolusi paradigma pendidikan. Revolusi ini beranjak dari kebangkitan moral untuk mengubah tradisi buruk. Caranya, mendorong kembali hakikat pendidikan sebagai sarana pembebasan menuju kehidupan lebih baik. Dengan begitu, stake holders pendidikan harus insyaf dan mulai membiasakan diri untuk mencicipi metode-metode pendidikan progresif. Diantaranya, seperti, mengembangkan keterampilan spiritual quality untuk mengimbangi intelectual quality. Konkritnya, bisa dimulai dengan menghidupkan lagi mata pelajaran budi pekerti. Selain itu, seluruh birokrasi pendidikan harus mulai sadar diri, membangun pendidikan harus berbasis pada kooperatif dan bukan kompetisi. Semua elemen bahu membahu untuk memberikan yang terbaik bagi pendidikan.

Kedua, bagi daerah, mendesak untuk membangun payung hukum berupa peraturan daerah. Sebab, dalam era otonomi, peran pemerintah daerah menjadi strategis. Melalui peraturan daerah maka semua elemen peduli pendidikan memiliki indikator untuk menagih perbaikan pendidikan. Tentu saja dengan asumsi, pembentukan peraturan daerahnya melibatkan partisipasi publik maksimal, yang beranjak dari problem-problem sosial konkrit di dunia pendidikan.

Ketiga, mengawinkan reward and punishment. Artinya, setelah aturan disempurnakan untuk menjamin pendidikan, penegakannya juga konsisten, tak lupa harus diikuti reward and punishment. Bagi kalangan pendidik, misalnya, yang berkualitas, diberikan penghargaan, insentif dan jaminan mengembangkan kreatifitasnya. Demikian juga sebaliknya, yang buruk diberikan sanksi. Dengan model ini diharapkan semua komunitas pendidikan akan berkompetisi memberikan yang terbaik.

Keempat, menghapus perbedaan perlakuan negeri dan swasta, sekolah favorit dan non favorit. Artinya, semua sekolah memiliki akses dan potensi yang diberdayakan secara sama sehingga secara perlahan akan hilang berbagai labeling yang tidak sehat bagi pendidikan.

Keempat kiat di atas hanya terapi kecil. Sebab, masih banyak strategi yang berlimpah, yang mungkin dapat menyegarkan dunia pendidikan. Termasuk strategi lain yang perlu dipertimbangkan adalah memberikan kesejahteraan dan perlindungan hukum bagi guru. Problemnya memang pada dari mana memulainya dan bagaimana kesinambungan komitmennya. Untuk itu, reformasi dunia pendidikan memang harus dikaitkan pula dengan sistem sosial lainnya, misalnya hukum dan politik. Pada sistem hukum, pemberantasan korupsi dunia pendidikan harusnya diperketat dan sanksinya diperberat. Sebab, korupsi dunia pendidikan bisa membantai jutaan insan muda peserta didik di masa depan. Dari sistem politik, pemimpin pemerintahan baik pusat dan daerah yang tidak peduli pendidikan, baiknya jangan dipilih. Kalau perlu di black list secara sosial sehingga tidak punya keberanian lagi berdagang diri di pentas politik. Memang semua butuh proses, tapi tidak ada alasan untuk mundur. Itupun jika kita mau menghindar dari kutuk kualat pendidikan.

Pernah Dimuat di Harian Radar Bogor

Demokrasi Tanpa Ekonomi Rakyat

DEMOKRASI TANPA EKONOMI RAKYAT

ADA beberapa cacat serius dalam demokrasi kita yang berimbas hilangnya korelasi antara demokrasi dan perbaikan ekonomi rakyat. Cacat ini bermula dari mitos berlebihan pada kesaktian pemilihan umum (pemilu). Pemilu hanya salah satu mekanisme demokrasi untuk merekrut penyelenggara negara yang mewakili sekian juta rakyat dalam suatu negara. Tapi, pemilu akan menjadi ongkos politik sia-sia bila tidak dibangun nilai dasar demokrasi lainnya. Misalnya, bagaimana dengan nasib partisipasi publik dalam merencanakan desain kehidupan negara atas dirinya.

Kita bisa ambil contoh dari pengumuman pemerintah pemberlakuan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pembangunan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Inpres No.6/2007). Menurut Menko Perekonomian Boediono, Inpres ini untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Pertanyaannya, apakah penyusunan Inpres tadi telah melibatkan konsultasi publik?Sebab, bisa jadi, perbaikan kemiskinan tidak mesti bisa diseiringkan dengan percepatan pertumbuhan ekonomi. Dan, bila publik dilibatkan, pikiran-pikiran alternatif yang strategis mungkin dapat memperkaya pertimbangan pembentukan suatu kebijakan pemerintah.

Demokrasi Pinggiran

Cacat serius lain dari demokrasi biasanya berkisar dari kebiasaan untuk tidak mendengarkan suara lain dari masyarakat marjinal. Lihat saja kebijakan penggusuran pedagang kaki lima (PKL) yang di satu sisi mendapat pembenar dari berbagai aturan mengenai ketertiban umum.

Namun, di sisi lain, mematikan hajat hidup orang untuk bekerja layak yang dijamin secara konstitusional. Lalu, pemerintah dengan cepat berargumen PKL telah ditata dengan disediakan sejumlah pasar tradisional untuk berjualan. Argumen ini nampak banal saat dilacak harga lapak di pasar tradisional yang dibangun pemerintah ternyata sulit dijangkau oleh PKL tadi. Apalagi dengan berbagai “kebakaran” pasar tradisional yang marak akhir-akhir ini semakin memiskinkan pedagang kecil.

Jadi, kepedulian pemerintah nampaknya masih retorika. Yang justru terjadi malah sebaliknya. Sebuah perselingkuhan manis antara pemodal kapitalis dan pemerintah yang berjumpa di balik maraknya pembangunan mall-mall di tanah air. Dengan berhala demi pendapatan asli daerah (PAD), rakyat kembali dipinggirkan. Rakyat kalah oleh wakil yang dipilihnya sendiri dalam pemilu lalu.


Nampaknya, perlu ada usaha serius untuk menghubungkan kembali demokrasi dan perbaikan ekonomi rakyat. Caranya, dengan menggunakan isu perbaikan ekonomi rakyat sebagai indikator dalam mengembangkan demokrasi. Misalnya, pada setiap kampanye-kampanye partai, sudah mendesak menggunakan indikator perbaikan ekonomi rakyat untuk menilai, mana partai otentik melalui wakil-wakilnya memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya dan mana yang tidak. Dengan begitu, partai akan menimbang kembali setiap bentuk pengkhianatan terhadap konstituennya.

Isu perlunya calon presiden dan kepala daerah independen menjadi salah satu bentuk pengkristalan sistem demokrasi alternatif yang diharapkan mampu membawa udara segar bagi perbaikan ekonomi rakyat. Sebab, meski calon presiden dan kepala daerah independen tadi tidak dijamin bersih dari praktik money politics misalnya, namun setidaknya dapat menjadi kompetitor sehat bagi partai politik konservatif yang sudah kepalang terlalu enak berkolusi dengan kekuasaan. Monopoli partai politik sudah waktunya dihapus. Monopoli merupakan biang keladi matinya kreatifitas dan pemihakan pada suara elite berkuasa.

Masyarakat Madani

Mungkin, menurut penulis, demokrasi hanya bisa tumbuh bersemi jika ada jaminan meningkatnya kapasitas pemahaman demokrasi masyarakat madani. Bila merujuk pikiran Gramsci, negara (state) sudah tidak bisa terlalu diharapkan berpihak pada rakyatnya. Negara memang alamiahnya (nature) cenderung berpihak pada kelompok elite. (Roger Simon, Gramsci Political Thougt: An Introduction, 1982). Untuk itu, hadirnya masyarakat madani yang kuat menjadi sokoguru mengimbangi kekurangan negara tadi.

Anthony Giddens juga pernah menulis (The Third Way, 2000), di dunia global kini yang justru menjadi pionir perubahan adalah kelompok masyarakat madani independen. Kasus-kasus lingkungan hidup lebih sering disuarakan oleh kelompok Greenpeace misalnya, daripada partai-partai politik dimanapun. Dengan begitu, kekuatan masyarakat madani memang tidak bisa diremehkan begitu saja.

Pada akhirnya, dorongan demokrasi tidak pernah bisa juga menghilangkan peran negara sama sekali. Andaipun masyarakat madani kuat, tetap saja negara tidak bisa ditinggalkan. Dengan demikian, sintesisnya bukan saling meniadakan melainkan saling kemitraan. Ini bisa dirancang bila setiap pengambilan kebijakan oleh negara selalu melibatkan mitranya yakni masyarakat madani tadi. Dan, disisi lain, masyarakat madani pun memiliki daya tawar untuk bernegosiasi manakala berhadapan dengan negara.

Jika kita bersepakat dengan berbagai gagasan di atas, maka mendesak disusun agenda untuk mewujudkannya. Pertama, membangun kesadaran kritis di kalangan masyarakat bahwa kehidupan bernegara membutuhkan peran sertanya. Masyarakat memiliki kewajiban sekaligus hak untuk hidup nyaman di negara yang menjadi tempat bersandarnya. Untuk itu, setiap praktik pemilu harus dibaca sebagai seleksi memilih partai dan pemimpin yang dapat memelihara kenyamanan negara tadi.

Kedua, sudah waktunya konservatisme berpikir demokrasi dikikis. Artinya, isu calon pemimpin independen harus dibaca sebagai terobosan manakala partai politik sudah terlalu asyik dengan kekuasaan sehingga lupa akan konstituennya. Kasus interpelasi Iran oleh DPR menunjukkan bagaimana kepedulian terhadap masyarakat demikian rendah. Sebab, rasanya, lebih mendesak kasus lumpur Lapindo dituntaskan daripada masalah resolusi PBB tentang Iran.

Akhirnya, demokrasi memang harus kembali pada rahim pemiliknya yakni rakyat. Rasionalitas rakyat merupakan tumpuan agar demokrasi kembali berkorelasi dengan perbaikan ekonomi rakyat.

Banjir, Tata Ruang dan Perizinan

Bagi saya---banjir, tata ruang dan perizinan adalah satu paket--yang menyebabkan kerusakan di persada nusantara. Banjir adalah akibat. Banjir menghentikan investor mampir, menambah cost ekonomi terbuang dan macet di mana-mana. Salah satu sumbangan penyebab banjir adalah tata ruang (yang sering terpleset menjadi tata uang) yang tidak konsisten. Berbagai perda tata ruang diubah-ubah demi kepentingan investasi sehingga mengorbankan jalur hijau, situ-situ tempat penampungan air dan ekosistem lingkungan. Kalaupun tata ruang tidak diubah maka perizinan berupa Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) diberikan pada tempat-tempat yang harusnya tidak boleh didirikan demi kelangsungan lingkungan. Semua berujung pada tata uang.
Bagaimana mengubahnya? mesti ada pola pikir revolusioner dan melibatkan semua pihak. Pertama, pemerintah daerah harus bertobat untuk menata kembali daerahnya yang telah rusak tanpa harus pula menimbulkan masalah baru (misalnya menggusur manusia tanpa solusi dari perspektif HAM). Kedua, hentikan perizinan mall-mall, apartemen dan apapun yang tidak sesuai dengan Amdal, tata ruang (yang benar) dan lingkungan hidup sekitar. Ketiga, pertobatan massal antara pengusaha, penguasa dan kita untuk kembali melestarikan lingkungan dengan mengembalikan pada teoritik sistem hukum yang benar, seperti, fungsi izin adalah alat pengendalian dan tata ruang adalah model perencanaan untuk menyeimbangan pembangunan dengan lingkungan (konsepsi suistainable development yang berwawasan lingkungan). Bila itu semua jalan secara memadai, praktis, bumi kembali tersenyum.

Curiculum Vitae-ku (agak Lengkap)

CURICULUM VITAE


Nama Lengkap : R Muhammad Mihradi
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat/Tanggal Lahir : Bogor, 12 Agustus 1974
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Jl Gadjah Mada I Blok BVIII No.4
Perumahan Cimanggu Permai, Bogor
Telp/HP : (0251) 338743/ 081 599 48 101
Email : discourse@telkom.net dan praktikal@plasa.com
Web Site : http://www.mihradi.blogspot.com



Pendidikan
- S1 (Ilmu Hukum), Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor,
lulus tahun 1997.
- Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta (mulai 2006).

Pekerjaan
- Staf Peneliti Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN) Jakarta.
- Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor.
- Staf Pengajar Akademi Teknologi Bogor (AKTB).
- Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor.
- Peneliti Forum Kajian Hukum Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor.
- Redaktur Jurnal Academia Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor.
- Anggota Dewan Pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta.

Pelatihan
Training for Trainers (ToT) Data Base Entry Pemilu Kerjasama Komisi Pemilihan Umum dengan FISIP UI (bersertifikat) (Jakarta, Februari 2004).

Pengalaman Akademis
2003-2004, Narasumber pada Pelatihan Hukum Pemerintahan dan Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara untuk Karyawan PemkotBogor.
19 Mei 2006,Anggota Tim Juri Lomba Karya Tulis Ilmiah Bidang Hukum Lingkar
Diskusi Ilmiah Lembaga Kajian Keilmuan FHUI.
Sejak 1999 mengikuti berbagai seminar, workshop dan training berkaitan dengan pemilu, HAM maupun ketatanegaraan.

Pengalaman Penelitian dan Legal Drafting (antara lain) :

(1) 2003-2004, tim peneliti dan perancang draft naskah akademis dan pasal- pasal RUU Mahkamah Konstitusi versi Non Government Organization (NGO), program Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Patnership-UNDP.
(2) 2003, tim peneliti dan perancang naskah akademis dan pasal-pasal RUU Batas Wilayah, kerjasama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, sponsor Parliamentary Support UNDP.
(3) Oktober 2005, peneliti, narasumber dan tim perancang (legal assistance) pembentukan Raperda Retribusi RS Malingping Banten dan Raperda Pengarusutamaan Gender, dikontrak oleh DPRD Propinsi Banten dibawah PT Palupuh Consolindo.
(4) Januari 2006, Konsultan PT Palupuh Consolindo untuk legal drafting pembentukan tata tertib DPRD Propinsi Banten.
(5) 2004-2005, tim peneliti, konsultan dan anggota penyusun Cetak Biru Mahkamah Konstitusi, kerjasama Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Mahkamah Konstitusi dengan pendanaan Yayasan Tifa.
(6) 2004-2006, Koordinator Program Riset Penguatan Kapasitas Legislasi Yang Partisipatif, institusi pelaksana: Forum Kajian Hukum FH Universitas Pakuan, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Pusat Telaah Informasi Regional (PATTIRO). Wilayah riset, DPR RI Jakarta, DPRD Makasar, DPRD Propinsi Jawa Tengah dan DPRD Pekalongan.
(7) April 2006-kini, Tenaga Ahli dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN) Jakarta untuk pembentukan Raperda Retribusi Izin Bangunan, Raperda Ketertiban Umum, Retribusi Bangunan Gedung DPRD Kota Bogor.
(8) Juli 2006, anggota Panitia Rencana Aksi Nasional HAM Kota Bogor.
(9) 13 Agustus 2006, konsultan ahli PT Palupuh Consolindo untuk Kajian Yuridis dan teknis tentang Sistem Rekrutmen Panwas Pilkada Provinsi Banten, dibawah supervisi DPRD Propinsi Banten.
(10) Juli-Agustus 2006, anggota tim eksaminasi putusan MA Harini Wiyoso, program KRHN dan Uni Eropa.
(11) November-Desember 2006, tim peneliti dan penulisan buku Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, kerjasama PATTIRO dan Uni Eropa.
(12) Desember 2006, Nara Sumber dan tenaga ahli dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN) Jakarta untuk Raperda Penyelenggaraan Pendidikan dan Evaluasi Perda dan Prolegda Kota Bogor, DPRD Kota Bogor.
(13) Konsultan Hukum PT Sinar Sakti Nusantara untuk Proyek Penyusunan Peta Jalur Penangkapan Ikan Di Perairan Kalimantan Barat dan Perairan Kalimantan Timur Direktorat Sumber Daya Ikan Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan RI (Oktober-Desember 2007)
(14) Konsultan Hukum pada Pemda Kota Tangerang untuk Program Review Perda IMB dan Perda Ijin Peruntukan Tanah dimulai bulan September sampai Desember 2007).


Publikasi Buku

(1) Narasumber, Wimar Witoelar, Perspektif Bersama Wimar Witoelar, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.

(2) Tim Reporter untuk penulisan buku Stanley dkk, Pengantar: Goenawan Mohamad, Bayang-Bayang PKI, Jakarta: ISAI, 1995.

(3) Tim Penulis dalam Bambang Widjojanto dkk, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.

(4) Tim Penulis dalam Firmansyah Arifin dkk, Pokok-Pokok Pikiran dan RUU Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Patnership, 2003.

(5) Tim Penulis dalam Firmansyah Arifin dkk, Hukum dan Kuasa Konstitusi, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan The Asia Foundation, 2004.

(6) Tim Penulis dalam Cetak Biru Mahkamah Konstitusi, kerjasama Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Mahkamah Konstitusi dengan pendanaan Yayasan Tifa, 2005.

(7) Editor dan Penulis buku Menimbang Kapasitas Legislasi, Bogor: Forum Kajian Hukum FH Universitas Pakuan, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Pusat Telaah dan Informasi Regional, 2006.

(8) Penulis dalam Dasar-Dasar Memahami HAN Dalam Yurisprudensi, Bogor: Forum Kajian Hukum Universitas Pakuan, 2006.

(9) Tim Penulis dalam Pegangan Ringkas Pemenuhan HAM Pendidikan dan Kesehatan Di Daerah, Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional dan European Initiative for Democracy and Human Rights (EIDHR) Uni Eropa, 2006.

(10) Tim Penulis dalam Pengantar Memahami Hak EKOSOB, Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional dan European Initiative for Democracy and Human Rights (EIDHR) Uni Eropa, 2006.




Publikasi Artikel/Opini

Tersebar sejak tahun 2000 diberbagai media seperti Kompas,Situs Kompas.Com, Suara Pembaruan,HarianTerbit, News Letter KRHN: Buru Koruptor, Jurnal Keadilan, Jurnal Otonomi, Situs Hukum Online, Situs Perspektif net, Situs Jaringan Islam Liberal, Radar Bogor, Surat Kabar Pakuan,Harian Pakuan Raya, Metro Bogor dan sebagainya.

Sejak tahun 1995, menjadi undangan dan narasumber di media elektronika antara lain Perspektif SCTV, Selayang Pandang Indo Siar, Global TV, Radio Elshinta Jakarta, Radio Megaswara Bogor, Kantor Berita 68 H Jakarta, RRI Pro 2 FM Bogor dan lain-lain.

Perlindungan Hukum Bagi Nelayan

Prihatin. Demikian awal perjalananku bertemu dengan problem yuridik nelayan. Saya--yang baru belakangan ini---agak serius membongkar-bongkar aspek hukum tentang perlindungan nelayan, menemukan banyak hal yang menggenaskan. Pertama, nelayan tidak tersedia cukup jaminan yuridis bila misalnya terjadi sengketa antar daerah dalam penangkapan ikan. Kedua, nelayan tidak punya asuransi misalnya, bila terjadi musibah menimpa dirinya dalam menangkap ikan. Ketiga, terjadinya kompetisi tidak sehat antara nelayan tradisional dan nelayan modern di jalur penangkapan ikan yang cukup sempit (yang menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392/1999 tentang Jalur Penangkapan Ikan) biasanya nelayan kecil bergerak di jalur penangkapan ikan I (3-6 mil).
Anehnya--bin ajaib--tidak terlalu cukup banyak ahli hukum yang mendalami sektor perikanan. Memang ada beberapa pakar yang cukup concern seperti Prof. Hashim Jalal atau Prof. Mieke Komar dari Unpad, tapi itu amat tidak cukup dalam mengatasi kompleksitas bidang perikanan. Apalagi, dengan adanya peradilan perikanan (sesuai amanat Uu No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan) harusnya tersedia cukup ahli hukum berkenaan dengan perikanan dan laut. Dan ajaibnya lagi--mayoritas--negara kita terdiri dari kepulauan dan dikepung oleh lautan.
Bagi saya, keprihatinan ini senantiasa menjadi tantangan untuk mengembangkan kajian hukum di bidang kelautan dan perikanan. Dengan demikian, kita mampu mendukung konsepsi wawasan nusantara secara memadai.

(Sebuah refleksi kecil saat terlibat proyek "Penyusunan Peta jalur Penangkapan Ikan di Perairan Kalimantan Timur" dimana saya diminta jadi konsultan hukum oleh Direktorat Sumber Daya Ikan Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan dari bulan Oktober hingga Desember 2007 dibawah bendera PT Sinar Sakti Nusaraya).

Minggu, 10 Februari 2008

Hukum Di Simpang Kritis

Indonesia--2008--hukumnya masih buruk. Tentu ada sisi terang, tapi tidak terlalu cukup untuk menerangi sisi gelap yang lorongnya terlalu panjang. Sisi terang hukum, ada kasus-kasus korupsi yang mulai diberantas: kasus suap BI, korupsi di kelautan, korupsi DPRD dan Kepala Daerah diberbagai tempat, lahirnya berbagai produk hukum yang cukup progresif (UU Kewarganegaraan, PT, dll). Sayangnya, kasus-kasus tadi dalam korupsi misalnya, masih tebang pilih. Bayangkan, BLBI lambat sekali penindakannya. Suap BI belum menjerat semua dewan gubernur BI dan anggota DPR-nya. Korupsi di lokal pun cenderung tidak holistik. Di Bogor, hanya Sahid (mantan Ketua DPRD) yang dijerat pidana korupsi APBD, padahal di DPRD sifat keputusan kelembagaannya majemuk dan dana APBD tidak mungkin dieksekusi hanya oleh 'seorang Sahid' saja.
Dalam terminologi analisis critical legal studiesnya Marx, maka terjadi pemberantasan korupsi yang diskriminatif. Hukum hanya memihak kelas sosial yang punya uang dan kuasa politik. Bagi yang tidak memiliki itu, maka mudah sekali dijerat. Hukum mulai kehilangan pancaran nilai-nilai keadilan.
Nah---tinggal kita---mau bagaimana bersikap.

Perempuan

Ibu dan adik saya perempuan. Istri saya, perempuan. Kawan-kawan saya banyak perempuan. Semua menampilkan keteduhan dan kelembutan; namun tetap saja itu tidak menghentikan kesan "misterius" dibalik merengutnya, manjanya atau marahnya.
Tapi mungkin---bagi perempuan--pria juga misterius.
Perempuan, bagi saya, adalah wahana inspirasi, medium tempat bertukar sapa dengan semua pernik-pernik hidup. Halte di mana kita tidak terlampau penat dengan waktu yang makin kejam menggores.
Namun, dibalik perempuan dan segala respon personal saya, harus diakui secara publik, perempuan masih bertemu kompleksitas problem (yang mungkin rumitnya sama dengan kehidupan pria). Pertama, perempuan masih belum diberi ruang memadai di dunia perpolitikan (yang sering dikonotasikan ruang maskulin--dan ini salah kaprah). Akibatnya, siapa yang mewakili kepentingan konstituen perempuan misalnya soal-soal dampak sembako naik terhadap stabilitas rumah tangga, pilihan ber KB, masih banyaknya gizi buruk dan ibu-ibu hamil yang didera kemiskinan sehingga sulit mendapat akses kesehatan yang baik. Kedua, perempuan akibat faktor kultur, tradisi, dan budaya patriarki dimarjinalkan dalam kehidupan politik yang sebenarnya punya potensi untuk mengembangkan ekspresi politik diruang publik untuk konstituennya. Ketiga, kekerasan dalam rumah tangga sering yang menjadi korban(victim) adalah perempuan demikian pula pada kejahatan human traficcking. Keempat, perempuan masih diparadigmakan dalam teks objek dan bukan subjek. Lihatlah berbagai sinetron, kompetisi putri-putrian dan drama-drama percintaan yang seringkali tergelincir pada pengkonotasian "lemahnya" kapasitas perempuan dan citra-citra diskriminatif (misalnya cantik itu putih berkat ponds institute).
Nah, menurut saya, perlu affirmative action untuk itu. Caranya, di ruang publik, kelembagaan negara, semua harus memberikan kemungkinan akses perempuan disana secara fair. Selain itu, perlu diberikan kesempatan untuk melakukan apapun demi martabatnya tentu dengan batas-batas yang diterima secara rasional dan terbuka.
Jadi, wahai perempuan, mari membangun negeri menjadi lebih sehat.

Jumat, 08 Februari 2008

Kasih Sayang

Bagi saya, manusia adalah makhluk yang memiliki kasih sayang sedemikian rupa. Manusia juga misteri yang tidak pernah tuntas. Namun, selain punya kasih sayang, manusia juga memiliki daya destruktif luar biasa. Tak heran, seorang Einstein yang atheis shock ketika atom sebagai penemuan iptek digunakan untuk meledakkan kota hiroshima dan nagasaki. Ia tak mampu memahami,betapa manusia punya bakat kejam luar biasa.
Tapi bagi saya, kasih sayang yang tulus dan dikemas sederhana serta diluapkan untuk semua makhluk Tuhan dapat memanusiakan manusia sebagai manusia mulia. Nah, tergantung kita dan ikhtiar kita. Dan, doa selalu menyertai.
Salam

Rabu, 06 Februari 2008

kita: teks terbuka

Sebenarnya siapa kita, sebuah modus kebersamaan dalam konteks kolektif. Tapi, kalau boleh kita renung-renung, mungkin kita adalah teks terbuka: "ruang intim" di mana dengan ke-kita-an ada kedekatan luar biasa. Namun, kita tidak menegasikan diluar kita. Sebab, kita adalah proses dialektis interaksi dengan diluar kita. Jadi, kita dan kalian atau aku dan engkau sebenarnya simbol-simbol untuk saling mengidentifikasi tapi tidak saling mempertentangkan apalagi meniadakan.
Moga

Sabtu, 02 Februari 2008

Modernitas, Post Modern or Nothing, so What?

Sebenarnya, proyek modern yang kita kenal adalah hasil produk abad pertengahan saat terjadi pergumulan di babad pemikiran renaisance atau pencerahan (aufklarung). Menurut Arkoun (Paramadina, 1998), istilah modern diambil dari bahasa latin modernus--yang pertama kali di pakai di dunia Kristen pada masa antara tahun 490 dan 500 yang m,enunjukkan perpindahan dari masa Romawi lama ke periode Masehi. Modernitas masa klasik di Eropa sendiri sudah berjalan sejak abad ke-16 hingga tahun 1950-an. Simbol modernitas diawali oleh Descartes seorang filsuf yang memproklamasikan "aku berpikir maka aku ada" (cognito ergo sum). Ciri lain dengan modern maka otonomi subjek manusia sebagai pusat segalanya menjadi dominan (sesuai paham antropos centris). Manusia diatas segala-galanya.
Sayangnya, proyek modernitas ini mendapat cela besar. Pertama, modernitas menyandarkan diri pada serba rasional dan hampir-hampir ini menjadi mitologi. Padahal, rasionalitas bisa--dan sering malah--terpeleset. Sebab, ada sebuah jarak besar menganga misalnya antara moralitas dan rasionalitas. Moral seperti dipisah dari rasional padahal keduanya boleh dibilang jantung peradaban. Kedua, rasionalitas memacu percepatan masyarakat industrialis yang digelindingkan pada jebakan apa yang dinamakan "kebutuhan palsu". Timbulah hempasan budaya "konsumerisme" yang diakui atau tidak, bisa jadi ini adalah "anak haram" dari modernitas yang kepalang lahir. Lihatlah iklan-iklan krim pemutih yang mengatakan "putih adalah cantik", lalu bagaimana nasib orang papua yang ga putih?
Dua asumsi di atas menusuk dan mengkritik di episentrum modernitas. Lahirlah sebuah aliran pemikiran bernama post modern. Ia ingin mendesain ulang pikiran-pikiuran modern. Bagi post modern, semua yang dilecehkan oleh modern, berhak untuk hidup. Yang udik, lokal, moral dan serba sepotong-sepotong, merupakan hal yang juga harus dihargai. Modern yang kelewatan akan menjadi mitos berbahaya bagi kemajuan. Deridda, bisa disebut filsuf postmodern yang cukup berwibawa mengkritik modern dalam konteks di atas.
Berbeda dengan postmodern, Habermass nampaknya ingin menyelamatkan proyek modern. Habermass, seorang filsuf Jerman dari Mazhab Frakfrut School berpendapat, modern bisa diberikan kemungkinan bertahan bila ia meletakkan pada penyelamatan berupa menyediakan ruang bagi komunikasi. Disusunlah rasio komunikasi yang bebas dari tekanan, ruang publik yang terbuka serta penghargaan pada partisipan komunikasi yang bersepakat pada kebebasan dan rasionalitas sebagai medium awal komunikasi.
Sekilas, perdebatan panjang yang dipendekkan oleh saya hingga pemikiran Habermass seperti demikian menjelimet dan penting. Namun, bisa juga nothing. Sebab, pada akhirnya, bukan keluasan wawasan yang menjadi esensi namun ketepatan bertindaklah yang justru membawa implikasi. Wawasan hanya alat agar dalam mengeksekusi putusan kita cukup pertimbangan. Wawasan menghantarkan bahwa ternyata dunia semakin tua dan semakin relatif. Kebenaran bahkan terseok-seok entah dimana. Kita mesti bersabar agar waktu, kesempatan dan kita berada di gelombang yang sama dan membuat keputusan tepat serta berkualitas untuk meloloskan Indonesia dari krisis yang hampir tak berujung.

CINTA

Ecoutez dalam lagunya bilang "seandainya dapat kumelukiskan isi hatiku padamu, seandainya kaupun harus tahu, lelah hatiku bila kau jauh, namun kupendam rasa, kuhanya ingin kau bahagia..." Lagunya jelas membawa sebongkah cinta yang demikian luar biasa: "amat kuat memikirkan orang yang kita sayangi melewati diri kita sendiri". Jadi, kalau cinta dibaca secara sehat sebenarnya bagus, yakni melatih kadar kolesterol ego kita menurun sehingga kita bisa makin empati pada orang lain. Kebahagiaanmu juga kebahagianku mesti untuk itu mungkin kutebus dengan mengorbankan kebahagianku...bisa jadi itu simpul-simpul bijak.
Lalu, apa sih cinta? gerakan rasa tanpa pamrih atau peluk cium dan remas atau apa?
Cinta bagi saya sesuatu yang luhur karena itu tidak bisa diobral. Cinta tidak hanya sekedar buat lawan jenis, tapi buat negara dan bangsa juga. Atas nama cinta bangsa, kita benci korupsi misalnya.
Cinta, bisa jadi, tak mau berkalkulasi, penuh kesabaran, tak ada pemaksaan serta inginnya terus memberi. Dengan memberi maka cinta terawetkan. Dengan keikhlasan maka cinta mempesonakan. Dengan penderitaan seringkali cinta semakin dihargai dan dimaknai.
Nah, hiduplah bersama cinta

Ga Penting

Saya seringkali bertanya-tanya, kenapa kita selalu dan kadang bertemu dengan kata "ga penting". Bagi saya, ini merupakan diskriminasi kata. Karena, ga penting dan penting, menurut saya telah menciptakan stratifikasi kelas dan hidup dikotak-kotak. Argumentasinya adalah: (1) siapa yang berhak dan berkuasa menentukan ini penting dan itu tidak penting; (2) apakah hadir kata 'ga penting' lalu ia berarti sampah yang harus dibunuh; (3) apakah ga penting sama dengan ga punya makna?
Nah dengan tiga argumen di atas, rasanya kita perlu berhati-hati bersikap ketika menemukan kata 'ga penting' dalam pertemuan atau interaksi dengan sesama kita.
Nah, kalo menurut saya, ga penting sebenarnya penting. Ia bisa memberikan sinyal bahwa dalam pemikiran kita ada yang perlu sekali diprioritaskan sehingga diwakili kata 'penting' dan ada juga yang memang kurang prioritas diwakili kata 'ga penting', tapi semua sebenarnya bermakna sebagai indikator agar hidup lebih terarah dan sehat.

Jumat, 01 Februari 2008

Uap

Kita seperti uap---ada dan tiadanya semu---terlihat serba sekilas, serba lemah dan serba fana. Dengan begitu, sebenarnya, kita harus selalu terbuka untuk melihat kekurangan dan tidak berlebihan menatap kelebihan. Dan, kita juga harus berjanji bahwa Tuhan selalu dekat pada kita di setiap saat--tinggal kita---mau menatapNya atau lari dari semua yang tidak bisa dihindari.
Religiusitas adalah sikap dan pilihan hidup yang niscaya.

Demokrasi Deliberasi

Demokrasi deliberasi adalah sebuah pola radikalisasi demokrasi dimana ruang publik terbuka dengan leluasa dan masyarakat tidak terhenti aspirasinya di pemilu melainkan dapat membuka diri dan mengkritik negara dan wakilnya diberbagai forum. Sebuah deliberasi. Dengan demikian, kita semua mestinya mencoba mengikhtiarkan demokrasi deliberasi agar tidak dibajak oleh para eksponen reformis palsu. Hidup Indonesia

Sapa

Baiklah, ada baiknya memperkenalkan diri secara amat singkat (karena gagasan diatas segalanya)
Saya, R Muhammad Mihradi, lahir di Bogor 12 Agustus 1974. Pekerjaan dosen fakultas hukum universitas pakuan bogor dan kini sedang menyusun tesis tentang kebebasan informasi di universitas tarumanagara jakarta. Saya amat berminat menulis, membaca dan sesekali menyanyi (sudah membuat album indie dengan temen berjudul bersetubuh dengan langit). Ohya,saya sekali-kali nongkrong berdialog gagasan dan bekerja untuk beberapa organisasi antara lain Forum Kajian Hukum FH Universitas Pakuan, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara. Demikian sekilas latar.

ABSURD

Kalau kita melacak pemikiran albert camus, ia sering menulis tentang absurd dengan meminjam tamsil mengenai mite sisifus. Absurd adalah gejala di masa modern ini dimana kita terjebak oleh rutinitas, lupa makna, alpa hakikat dan kemudian bertanya: kita untuk apa dan mau apa. Untuk itu, ziarah makna menjadi tak terhindarkan. Pemaknaan menjadi kunci agar tidak kering di modernitas bahkan sudah ke post modern sehingga kita dapat menjadi ada (dassein).
Moga semua tercerahkan