Senin, 30 Juni 2008
Dinamika Perkembangan Keppres Pasca UU No.10/2004
Peraturan kebijakan (beleidsregel) bukan peraturan perundang-undangan namun mirip peraturan perundang-undangan (pseudo wetgeving). Ia hadir karena adanya kewenangan diskresi atau freies ermessen atau wewenang bebas dari pemerintah untuk menerbitkan aturan bila dirasakan perlu meski tidak ada perintah dari peraturan perundang-undangan. Ia ditujukan sebenarnya sebagai peraturan atau petunjuk internal (interne richtlijnen) yang mengikat kalangan pejabat ke dalam namun krena dipublikasi keluar maka bak atau seperti kaidah peraturan perundang-undangan. Bentuknya dapat bermacam-macam, dapat berup surat edaran, pengumuman, juklak-juknis, dan bisa juga berformat Keppres yang mengandung hakikat ciri ini. Menurut Philipus M Hadjon, peraturan kebijakan lebih bersifat memiliki relevansi yuridis yakni sepanjang tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang ada, ia dapat diacu namun bila bertentangan, maka dapat dikesampingkan. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak dapat mengadili peraturan kebijakanm karena sifatnya bukan yuridis (rechtmatigheid) melainkan lebih pada segi kemanfaatan (doelmatigheid).
Sedangkan keputusan atau penetapan pemerintah (beschiking) bila berupa penetapan tertulis di lapangan hukum pemerintahan (dan bukan hukum tata negara) maka ia menjadi obyek dari sengketa di peradilan tata usaha negara dengan disertai ciri lain sesuai Pasal 1 angka 3 UU No.5/1986 jo UU No.9 Tahun 2004 tentang PTUN. Pasal 1 angka 3 menegskan “Keputusan Tata Usaha Negara (atau Keputusan Pemerintah/Beschikking---pen) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Contoh dari beschikking antara lain : izin-izin, SK-SK Pengangkatan dan Pemberhentian Pegawai, KTP, Akta Kelahiran, sertifikat dan lain-lain.
Diluar ciri-ciri Pasal 1 angka 3 UU PTUN diatas, dimungkinkan adanya beschikking namun tidak ada lembaga yang mengujinya (terjadi kekosongan hukum/vacuum rechts) misalnya Keppres-Keppres tentang Pengangkatan Menteri atau Duta Besar yang merupakan hak prerogatif Presiden dan menjadi tindakan hukum tata negara.
Yang jelas, ciri utama beschiking adalah penetapan tertulis yang sifat normanya individual konkrit, artinya tertuju pada individu tertentu, jelas apa yang ditentukan di dalam beschikking dimaksud dan tidak bersifat mengatur melainkan menetapkan yang umumnya sekali selesai (einmahlig).
Di masa lalu, dengan adanya Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 maupun Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang semuanya berkaitan dengan hirarki perundang-undangan maka materi muatan dari Keppres memiliki tiga kemungkinan, ia merupakan peraturan perundang-undangan (regeling), peraturan kebijakan (beleidsregel) dan bisa juga keputusan atau penetapan pemerintah (beschikking yang berciri individual konkrit tadi). Dari segi bentuk luar sulit membedakannya karena bertitelkan (nomenklatur) Keppres. Bahkan, dapat juga satu Keppres memiliki dua materi, yakni selain peraturan perundang-undangan juga didalamnya berisi penetapan misalnya berkaitan dengan pembentukan dan pengaturan suatu fungsi dan tugas kelembagaan sekaligus pengangkatan pejabat kelembagaan dimaksud. Hal ini yang mendorong---salah satunya motivasi--terbitnya UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kini, Presiden secara mandiri bila akan mengatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka dapat berupa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Sedangkan kini Keppres tidak lagi menjadi peraturan perundang-undangan. Hanya ada dua kemungkinan bagi Keppres, ia merupakan peraturan kebijakan (beleidsregels) atau penetapan pemerintah (beschikking).
Jumat, 27 Juni 2008
mengendap
ada renung...hening
lalu banyak hal yang ajaib: "karena antara samar dan nyata adalah misteri abadi"
bagi kita atau dia
entah
mihradi 2008
Jumat, 20 Juni 2008
SMA Budi Mulia---Memory
Demikian kenangan kecil bersekolah di SMA Budi Mulia.
Rabu, 18 Juni 2008
Demonstrasi, Demokrasi dan Kekerasan
Pasca naiknya harga BBM, demonstrasi marak di mana-mana. Bahkan, di luar isu BBM, demonstrasi telah mengarah pada kekerasan. Ini yang terjadi pada insiden Monas yang melibatkan perseteruan Aliansi Kebangsaan Untuk Kemerdekaan dan Kebebasan Beragama (AKKBB) dan Front Pembela Islam (FPI). Jubir Istana, Andi Malarangeng mengatakan, demonstrasi adalah bunga-bunga demokrasi, tapi jika anarki maka harus ditindak.
Komunikasi Politik
Demonstrasi atau unjuk rasa, hakikatnya adalah bentuk komunikasi politik. Umumnya bisa dengan dialog. Namun bila dialog macet, maka demonstrasi seakan pilihan tak terelakan. Jika demonstrasi dilakukan dengan simpatik dan santun, tentu akan berpotensi membuka mata dan hati penguasa. Bila anarki, sulit penguasa bisa mengolahnya dengan jernih.
Dalam kasus demonstrasi kenaikan BBM, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah. Pertama, pesan mahasiswa melalui demonstrasi tidak cukup hanya ditampung dan diserap, namun lebih dari itu harus dibaca sebagai tuntutan untuk melahirkan kebijakan publik yang cerdas dan rendah resiko. Andaipun kebijakan public yang keliru telah berjalan, maka demonstrasi tadi harus juga dipahami sebagai dukungan untuk mengoreksi.
Kedua, demonstrasi harus dilihat sebagai sinyal dan bukan esensi. Artinya, kebijakan publik yang tidak pro pada rakyat itulah yang harus dijadikan esensi untuk diperbaiki. Andaipun demonstrasi berubah jadi anarki, maka itu tidak berarti esensi di atas kehilangan daya gugatnya.
1
Tentu akan timbul permasalahan. Darimana dan bagaimana menentukan mana kebijakan publik pro rakyat dan mana yang bukan. Sebab, umumnya, semua berbalut dan mengatasnamakan “demi kepentingan rakyat”. Menjawab permasalahan ini tidak mudah. Namun, sebaiknya, pemerintah dan masyarakat dapat menggunakan pemikiran John Rawls dalam Theory of Justice tentang original position. Menurut John Rawls, keadilan dapat didekati jika semua membuta dirikan dari kepentingan dan beranjak dari posisi asli tanpa kepentingan. Dengan begitu, komunikasi menjadi terbuka. Andaipun kepentingan harus ada dan hadir di
Khittah Demokrasi
Demokrasi adalah cara sekaligus tujuan. Semua keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dibicarakan juga oleh orang banyak. Dengan demikian, keputusan yang diputus segelintir tanpa mengajak dan mempertimbangkan pendapat orang banyak merupakan pencideraan terhadap demokrasi. Model implementasi demokrasi sendiri bisa bermacam-macam, tapi hakikatnya satu. Kedaulatan pada orang banyak tanpa menafikan hak kaum marjinal.
Demokrasi membebaskan dan mengikatkan pada pertanggungjawaban. Apapun pilihan, resiko harus diemban. Melalui mekanisme demokrasi, semua alternatif, baik keunggulan maupun kelemahan dapat ditampilkan. Dengan begitu, dapat mengeliminir tingkat resiko dan menaikkan potensi ke arah kebaikan bersama.
Di dalam demokrasi, pasti banyak perdebatan dan perbedaan. Itu semua harus diselesaikan melalui dialog. Demokrasi mengharamkan kekerasan, melegalkan perbedaan juga keragaman. Untuk mengawetkan demokrasi, hukum menjadi instrumen pengikat dan eksekutor nilai-nilai demokrasi. Sebab, demokrasi membutuhkan kekuasaan yang telah mengalami proses peradaban (civilization) yakni melalui hukum. Dengan begitu, hukum menjadi wajah dari demokrasi yang terealisasi. Tentu saja, dengan syarat, hukumnya konsisten ditegakkan dan membawa esensi keadilan sekaligus ketertiban secara seimbang.
Dalam kasus kenaikan BBM maupun masalah insiden Monas, seharusnya dijadikan sarana kontrol koreksi bagi semua pihak. Jika demokrasi tidak dipatuhi rambu-rambunya yang telah mengalami legalisasi ke dalam bentuk hukum maka sulit sebagai bangsa dapat terekat kembali. Alternatif yang sehat pun akan terkubur. Dan, kekerasan tidak pernah menyelesaikan, kecuali mereproduksi kekerasan baru. Kembali ke khittah demokrasi nampak menjadi keharusan untuk menyelamatkan dari keterpurukan.
*Penulis, Anggota Pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN),
2
SUPERMARKET KEADILAN
ISU mafia peradilan sudah lama terdengar. Sejak Orde Baru, isu mafia peradilan selalu didengungkan. Banyak fihak yang menyangkal, tapi tidak sedikit pula mengakui. Kini, isu itu nampak mendekati kenyataan yang semakin vulgar. Rekaman percakapan Artalyta Suryani (Ayin) dengan petinggi Kejaksaan Agung beberapa saat setelah penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan semakin menegaskan hantu mafia peradilan itu memang ada. Suap menyuap rupanya telah mengakar lama pada lembaga penegak hukum, termasuk kejaksaan.
Semua pihak yang setia pada kebenaran tentu saja marah. Nasib bangsa yang terpuruk perekonomiannya, ternyata salah satunya disebabkan oleh menggilanya praktik korupsi dan suap menyuap. Keadilan sudah seperti supermarket. Siapa yang punya uang maka ia bisa membeli. Semua terlihat demikian kejam sekaligus memalukan.
Ekonomisasi Hukum
Bila berkaca pada doktrin ekonomi yang bernama permintaan (demand) dan penawaran (supply), maka mafia peradilan hadir karena pasar kriminal membutuhkan itu. Ketika kejahatan sudah sedemikian canggih dan berada di posisi penjahat berdasi (white collar crime), siklus pasar yang mempertemukan oknum aparat dan masyarakat pelaku kriminal bertemu di sebuah titik yang menyepakati transaksi melegitimasi kejahatan untuk diubah menjadi kebaikan. Seorang Ayin dicoba diselamatkan, selain sebagai sebuah komitmen transaksi kriminal tadi, juga untuk “diduga” menyelamatkan orang sejenis yang duduk di dalam maupun di luar lembaga penegak hukum. Untungnya, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) keburu menangkapnya. Namun, bukan berarti, KPK pun tidak perlu kita waspadai. Sebab, dalam percakapan telepon Ayin, Ketua KPK, Antasari pun disebut-sebut. Dalam konteks mafia peradilan, semua sinyalemen harus dijadikan petunjuk dengan tetap memegang asas praduga tak bersalah.
Berkenaan dengan konteks ekonomisasi hukum, ada pelajaran penting dari kasus Ayin. Pertama, korupsi sudah mengakar akut dan perlu terapi kejut yang dahsyat. Mungkin, bila pelaku koruptor terbukti di peradilan, kiranya perlu dipertimbangkan untuk dijatuhi pidana mati agar menimbulkan efek jera. Kedua, korupsi adalah hasil pertemuan antara supply dan demand. Jika yang kita tangkap dan serius adili hanya oknum aparat, maka rasanya itu jauh dari cukup. Yang mendesak pula adalah mendidik masyarakat agar tidak pernah mau bersahabat dalam bentuk korupsi sekecil apapun. Sebab, aparat dan negara ini merupakan produk dari masyarakatnya. Masyarakat korup melahirkan negara yang korup juga. Jika masyarakat anti korupsi, praktis oknum aparat korup pun tidak akan membuka praktek lagi.
Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terkuaknya kasus korupsi di level kejaksaan agung harus dimaknai tidak sekedar tamparan, melainkan juga dorongan untuk lebih ganas membasmi korupsi. Jika perlu, mencopot Jaksa Agung dan mengadopsi orang-orang bersih serta berintegritas untuk menggantinya. Lalu, diberikan batas waktu dan target-target kepada Jaksa Agung baru untuk memperbaiki dan mereformasi seluruh aparat kejaksaan agung. Bagi penulis, sudah tidak ada lagi toleransi untuk mempertahankan Jaksa Agung yang sekarang karena sudah di level orang-orang terdekatnya yang terlibat.
Darurat Korupsi dan Harapan
Sudah saatnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang menyatakan darurat korupsi. Dengan begitu menjadi sarana untuk secara total football membasmi korupsi. Komitmen amat dinantikan untuk itu. Cara yang paling strategis, di dalam Perpu di atas dicantumkan pula adanya beban pembuktian terbalik di awal penyidikan terhadap tersangka koruptor. Dengan begitu, beban pembuktian bukan ada di penyidik melainkan pada tersangka. Ini memudahkan di dalam proses pidana. Setelah itu menerbitkan pula aturan yang bersifat memaksa bagi aparat penegak hukum, yakni Jaksa maupun KPK untuk menuntut pidana mati bagi setiap pelaku koruptor yang angka korupsinya cukup tinggi. Diharapkan dampak “ketakutan” untuk korupsi dapat menjadi sarana efektif.
Terlepas dari semua itu, bagi penulis, kasus Ayin melahirkan harapan. Pertama, adanya keterbukaan informasi sehingga gerak gerik pelaku korupsi mudah dibongkar, diadili dan dipermalukan. Kedua, adanya gerakan publik yang akan semakin marah terhadap korupsi dan menjadikan indikator komitmen pemberantasan korupsi sebagai alat memilih pemimpin bangsa. Ketiga, adanya kalkulasi baru bagi koruptor yang nekad di dalam melakukan kejahatan sebab transparansi yang begitu kuat memudahkan untuk mematikan prilakunya.
Ketiga harapan di atas bagi penulis adalah modal sosial yang harus diambil oleh Presiden Susilo Bambang Yudhono. Sebab, diantara raport merah kebijakannya, tinggal pemberantasan korupsi yang berpeluang memperbaiki kredibilitasnya. Berbagai alternatif kebijakan yang penulis paparkan dapat dijadikan pertimbangan untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebab, 2009 (Pemilu) sudah semakin dekat.
*R Muhammad Mihradi,
Penulis, Anggota Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN),
Sabtu, 14 Juni 2008
Pelatihan Group Artha Graha
Bagi saya, sebuah "keganjilan" sekaligus "mutiara harapan", kelompok bank artha graha yang sebagai institusi bisnis murni, mau peduli terhadap nilai-nilai kebangsaan, merenungkan basis Pancasila dan berkomitmen terhadap integrasi bangsa. Tentu, nanti peduli ini akan diuji di dalam realitas praksis untuk konsisten tidak terjebak semangat suap-menyuap, meningkatkan kapasitas moralitas, peduli lingkungan dan mengamalkan nilai Pancasila yang tengah krisis. Dan bukan mustahil, program seperti ini ditiru lembaga lain dan mampu membawa Indonesia ke jenjang lebih baik. Sekaligus, membuktikan bahwa perubahan menuju lebih baik masih dapat ditempelkan harapan.
Rabu, 04 Juni 2008
Kekerasan
Jadi, atas nama apapun, kekerasan tidak pernah bisa dilegalisasi dan dilegitimasi. Dalam demokrasi, berbeda biasa. Demonstrasi hak konstitusional, tapi memukuli orang yang berbeda keyakinan dan pendapat, pasti itu kriminal.
Dengan begitu, kita kembali mundur. Tidak lagi demokrasi--tapi mulai mobokrasi, barbar dan juga primitif. Bagaimana masa depan?