Jumat, 08 Agustus 2008

MERAWAT KORUPSI 2?

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) membuat terobosan kreatif. Koruptor akan diborgol dan diberi kaos bertuliskan “tersangka atau terdakwa korupsi”. Gagasan brilyan ini didukung pula oleh Komnas HAM. Nampak semua pihak sudah sangat marah dan mual terhadap praktik korupsi. Cara-cara mempermalukan koruptor merupakan strategi jitu untuk itu.

Hampir semua lini diserang korupsi. Dalam jargon trias politica, baik itu legislatif, eksekutif hingga yudikatif diduga terdapat oknum yang mengidap penyakit korup. Kompas, malah, dengan sangat sarkatis menurunkan sebuah peta Indonesia dengan nuansa hitam di semua propinsi tanah air yang terserang korupsi.

Bagi penulis, korupsi merupakan problem kompleks. Tidak cukup shock terapi dengan cara mempermalukan koruptor saja. Lebih dari itu, pembenahan radikal terhadap sistem yang merawat dan melestarikan korupsi perlu dilakukan. Tanpa itu, niscaya penyakit korupsi tetap bersarang.

Diagnosa Korupsi

Menurut penulis, kita kini menghadapi petaka berupa korupsi karena sistem. Sebab, korupsi sistemik model itu, tidak bisa disembuhkan hanya dengan menghukum pelaku seberat-beratnya. Harus ada satu kerja keras untuk mengevaluasi semua komponen di mana korupsi hidup. Mulai dari perundang-undangan, manajemen birokrasi, mekanisme akuntabilitas hingga berbagai bentuk penerapan sanksi. Korupsi sistemik merepotkan, sebab menjadi pekerjaan besar melacak berbagai virus yang mengidap diberbagai sektor, sendi dan elemen penyelenggaraan negara.

Ambil misal, adakah jaminan semua departemen yang ada di republik ini bersih dari tender yang sudah disiasati, proyek diwarnai amplop pelicin hingga lemahnya kompetensi pengawasan dalam pengerjaan suatu program pemerintah. Bila itu disadari, maka sungguh sangat tidak bijak bila penegak hukum hanya konsentrasi di sektor represip. Menghukum koruptor tanpa memberikan penyelesaian berupa pemutusan dan penghapusan sistem yang memberi peluang siapapun untuk korup.

Repotnya lagi kita berada di zaman transisi yang dibayangi rezim orde baru dan semangat reformasi tanpa jelas kapan transisi usai. Warisan korup yang mengidap akut masa orde baru apakah sudah diputus rantainya? Bila tidak, maka wajar korupsi makin menggila. Apalagi menjadi pertanyaan esensial, seberapa jauh seluruh penegak hukum kita mampu membasmi korupsi. Jangan-jangan malah terjebak praktik tebang pilih yang lebih parah dari korupsi itu sendiri.

Pemutihan Korupsi

Mungkin ini ide penulis yang pasti dihujat beramai-ramai. Namun bila rasionalitas digunakan, bisa jadi hanya ide ini yang moderat. Bagi penulis, melawan korupsi harus dilakukan dengan terlebih dahulu membuat aturan transisi. Di dalam aturan transisi dinyatakan tegas “semua praktik korupsi sebelum aturan ini berlaku dikonversi berupa pengampunan massal namun dengan syarat harta hasil korupsi disita”. Lalu, dibuat pasal dimana bahwa aturan atau undang-undang transisi akan berlaku sekian tahun lagi, dan selama itu diadakan pembenahan sistem serta peningkatan kesejahteraan bagi penyelenggara negara. Setelah itu, barulah saat undang-undang transisi korupsi diberlakukan, maka semua orang yang korupsi dihukum berat, kalau perlu pidana mati.

Tentu perlu juga dibuat pasal-pasal lain misalnya semua pejabat yang korup tidak boleh lagi mencalonkan diri dalam jabatan publik. Selain itu, diadakan kampanye anti korupsi dan pembentukan sistem monitoring korupsi. Dengan begitu, terjadi proses percepatan di mana korupsi akan hilang di Indonesia pada tahun sekian.

Kamis, 07 Agustus 2008

Merawat Korupsi?

Korupsi, kanker ganas menyerang sendi bangsa. Salah satu sektor yang diserang, kehutanan. Kemarin, Rabu 6 Agustus 2008, Forum Kajian Hukum FH Universitas Pakuan bekerja sama Bagian Hukum Pidana FH Universitas Pakuan di The Eksekutif Club, Gemini Room, Hotel Sultan Jakarta menggelar Diskusi Publik Nasional "Evaluasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sektor Kehutanan". Hadir dalam diskusi, Bapak Soeharto (Staf Ahli menhut), Bapak Rahardja (Deputi Penindakan KPK), Prof. Indriyanto Seno Adji (Ahli Pidana), Firman Wijaya (Praktisi Hukum) dan Edi Rohaedi (ahli hukum administrasi). Dari diskusi, tenyata ada masalah pelik berkenaan korupsi kehutanan. Pertama, korupsi di kehutanan ternyata dapat didekati dari sisi hukum administrasi dan hukum pidana. Menjadi problema, apakah praktik penyimpangan selama ini (misalnya penyalahgunaan izin HPH) merupakan ranah tindak pidana korupsi atau pelanggaran hukum administrasi atau bahkan pelanggaran ketentuan pidana UU Kehutanan (UU 44/1999). Kedua, penyimpangan di sektor kehutanan ternyata juga dirawat dan dilembagakan oleh sistem pengawasan yang lemah serta perizinan yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Menjadi problema, apakah penerapan sanksi pidana semata (yang kerap disebut ultimum remidium/sarana akhir) telah dianggap cukup? Atau mesti berkesinambungan dengan perbaikan sistem. Bagaimana pula dengan masalah kerusakan lingkungan di satu sisi dan investasi di sisi lain di sektor kehutanan.
Diskusi di atas memang tidak bertujuan melahirkan rumusan final. Namun merupakan ikhtiar bahwa persoalan korupsi tidak bisa dianggap sederhana. Banyak faset dan kompleks serta dimensi hak asasi pun tampil disana-sini. Untuk itu, kajian akademis yang dalam serta cara pandang yang bijak harus mampu mendorong penegakan hukum otentik yang berkualitas di sektor kehutanan agar semakin baik di masa depan.

Jumat, 01 Agustus 2008

AFGHAN

Afghan, fenomena. Nyanyi dengan suara unik--seperti mau abis tapi terus dengan melankolik. Syairnya oke. Tampilannya dendy, kaca mata dan berlapis kemeja juga sweter. Lagi di gila-gilai.
Semua tentang cinta.
Ada lagu yang memikat saya, judulnya Sadis. Bertutur tentang gadis yang mempermainkan pria untuk manasin agar bisa kembali ke pacarnya. Si pria yang dipermainkan tidak bisa apa-apa. Hanya berdoa: "semoga Tuhan membalas".
Begitu juga sepertinya korupsi. Kita benar-benar dikurung olehnya dengan sadis. Ga bisa apa-apa. Hanya berharap agar Tuhan membalas.
Terlepas dari semua, Afghan menarik. Memikat dan memberikan pada kita sesuatu bahwa hidup harus otentik. Tidak mesti jadi siapa dan apa, namun jadi apa yang kita bisa dan inginkan.
Hidup afghan. Hidup cinta yang sejati tak pernah mati.

meledak bersama korupsi

Kompas, agak lupa tanggalnya, menurunkan headline berupa peta indonesia warna hitam tentang wilayah seluruh negeri ini yang setiap propinsinya ditemukan praktik korupsi dari aceh sampai papua. Memalukan, menyedihkan dan kalau pake lagu Afghan, "Sadis". Tapi itulah wajah negeri ini. Sebagai akademisi yang hanya orat-oret dari kejauhan, maka korupsi yang sudah parah hanya mungkin dijawab dengan tiga alternatif. Pertama, meneruskan model pemberantasan seperti sekarang, dimana KPK dengan garang menyerang semua sisi, sesuai kemampuan dan kekuasaannya. Kelemahannya, dipastikan akan tebang pilih, sebab bila konsisten penuh, dipastikan akan terjadi seperti "ngantri BLT" dimana mungkin ribuan orang berduyun-duyun menanti giliran diadili. Kedua, model pemutihan dan konteks transisi. Artinya, dibenahi sistem, dibuat aturan transisi selama lima tahun misalnya, semua koruptor tidak dipidana namun hartanya disita setengahnya. Lalu, lewat dari lima tahun, bila ada praktik korupsi, dipidana mati. Itupun dengan syarat sistem dibenahi dan kesejahteraan memadai untuk semua elemen penyelenggara negara, dari rendah hingga atas. Alternatif ketiga, dan ini seram bin sadis, revolusi dengan mengumpulkan semua orang terlibat di dalam satu pulau lalu dibom mati.
Nah, diluar itu, belum nampak solusi yang lebih cantik. Semua mencekam, murung, bopeng, banyak jerawat dan korengan sana-sini.