Kamis, 14 Juni 2012

Radar Bogor Tentang Mihradi

Minggu, 01 April 2012 , 05:52:00
file:///D:/DATA%20JANUARI-FEBRUARI%202012/Radar%20Bogor%20Berita%20Mihradi.htm


JAKARTA - Kekhawatiran partai oposisi tentang ditambahkannya pasal berisi syarat untuk menaikkan BBM terbukti. Hanya beberapa jam setelah rapat paripurna selesai, berbagai pihak bersiap untuk “mengudeta” pasal 7 ayat 6 huruf a APBN-P 2012 itu. Gugatan ke Mahkmah Konstitusi (MK) pun disiapkan karena pasal itu dianggap bertentangan.

Sebelumnya, pasal tersebut diprotes politisi dari partai oposisi dalam rapat paripurna DPR, Sabtu (31/3) dini hari. Pasal tersebut dianggap pasal “setan” karena bertentangan dengan pasal 7 yang memungkinkan pemerintah menaikkan harga BBM. Pasal ini dianggap akal-akalan dan sengaja diselipkan agar pemerintah memiliki peluang menaikkan harga BBM.

Yusril Ihza Mahendra, misalnya. Dia mengaku bakal langsung melakukan gugatan ke MK begitu perubahan undang-undang itu disahkan presiden. Menurut mantan Menteri Kehakiman dan HAM era presiden Megawati itu, tambahan huruf a menabrak Pasal 33 UUD 1945. “Sudah saya telaah dan menabrak UUD,” ujarnya.

Pelanggaran yang dimaksud Yusril adalah, pasal itu bertentangan dengan keputusan MK terhadap Pasal 28 UU Migas. Putusan MK menjelaskan kalau harga BBM tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Yusril menganggap kalau keberadaan pasal baru itu berarti menyerahkan harga BBM ke mekanisme pasar.

Seperti diberitakan sebelumnya, sidang paripurna menyepakati penambahan pasal berisi syarat kenaikan BBM. Yakni, dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai 15 persen, pemerintah boleh menaikkan harga BBM enam bulan ke depan. Namun, oposisi menolak tambahan pasal karena dianggap inskonstitusional.

Saat sidang paripurna berjalan, Fraksi PDIP menganggap pasal itu siluman karena membohongi rakyat. Sebab, BBM pasti naik karena ICP Maret sudah mencapai USD 126 per barel. Di samping itu, tambahan pasal bakal memicu polemik baru di MK karena mudah ditumbangkan saat judicial review.

Nah, Yusril melihat celah besar dari pasal 7 ayat 6 huruf a tersebut. Dia yakin MK bakal membatalkan karena pasal itu mengabaikan kedaulatan rakyat. Disamping itu, dia juga memastikan telah dicederainya asas kepastian hukum dan keadilan. “Saya sedang menyiapkan draf uji formil dan materiilnya,” imbuhnya.

Namun, dia mengatakan kalau draf tersebut belum bisa diserahkan dalam waktu dekat. Yang pasti, begitu presiden mengesahkan perubahan undang-undang itulah saat tepat untuk memasukkan gugatan. Legal standing untuk mengajukan perkara tersebut adalah beberapa pengguna BBM bersubsidi yang hak-hak konstitusionalnya dilanggar tambahan pasal itu.

Di samping itu, Yusril juga memastikan sudah memiliki banyak dukungan dari kalangan akademisi maupun pengacara. Untuk lawyer, mantan Mensesneg itu menyebut Dr Irman Putra Sidin, Dr Margarito Kamis, Dr Maqdir Ismail dan Dr Teguh Samudra sebagai pendukungnya. “Untuk ahli ada Professor Natabaya (Guru Besar Tata Negara UI, red),” terangnya.

Pakar Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin sepakat dengan langkah Yusril untuk melakukan judicial review. Pemerintah dinilai mencari alasan pembenaran rencana menaikkan BBM karena pasal 7 ayat 6 huruf a tidak menyelesaikan polemik. “Uji konstitusional memang perlu dilakukan,” terangnya kepada Jawa Pos.

Menurut dia, alasan subsidi BBM lebih baik digunakan rakyat miskin daripada rakyat kaya yang memiliki kendaraan juga dinilai tak rasional. Sebab, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan subsidi sesuai Pasal 33 UUD 1945. Sedangkan memelihara fakir miskin adalah kewajiban lain di Pasal 34 UUD.

Dua hal berbeda itulah yang seharusnya dilakukan pemerintah secara bersamaan. Bukan karena ingin memelihara fakir miskin dan anak telantar, lantas subsidi dicabut atau dikurangi. Kalau itu dilakukan, berarti pemerintah tidak menjalankan amanat pasal 33.

Kalau pun kenaikan sudah tidak terelakkan lagi, Irman menyarankan kepada presiden untuk memberikan pemahaman kepada rakyat. Tetapi, bukan berarti tidak ada taruhannya. Dia menyebut kalau presiden tidak hati-hati, jabatannya bisa berhenti sebelum waktunya. “Pasal itu tidak hanya tumpang tindih, tapi komplikasi seperti penyakit,” tegasnya.


DPR Lalai

Munculnya dua opsi mengenai pasal 7 ayat 6 a dalam RUU APBN-P 2012 ditanggapi Pakar Hukum Tata Negara dari Univesitas Pakuan (Unpak), Muhammad Mihradi. Ia mengatakan, keputusan untuk menambahkan poin a dalam pasal 7 ayat 6 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Sebab, pasal itu mengabaikan kedaulatan rakyat dalam menetapkan APBN. Selain itu juga, telah mengabaikan asas kepastian hukum dan keadilan masyarakat.

Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri dalam putusan mengenai pembatalan Pasal 28 ayat 2 UU No. 22/2001 Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang menyebutkan penentuan harga BBM diserahkan kepada mekanisme pasar masih berlaku hingga kini. MK membatalkan pasal tersebut pada 15 Desember 2004.

“Aturan yang dibatalkan MK intinya melarang penentuan harga BBM berdasarkan mekanisme harga pasar. Ini karena Pasal 28 Ayat 2 itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33. Jika benar pasal 7 ayat 6a menabrak pasal 33 UUD 1945 seperti ditafsirkan MK, maka DPR telah berbuat kesalahan besar,” terangnya.

Menurut Mihradi, jikapun harus menempuh mekanisme hukum, tentunya harus menunggu dulu hingga undang-undang tersebut telah disahkan dan masuk dalam lembaran negara. Karena telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, sehingga pembatalan Pasal 7 ayat 6Aa bisa saja terjadi. (rur/ara/jpnn)
 

Profil R Muhammad Mihradi Singkat


TENTANG PENULIS

R Muhammad Mihradi, Penulis buku Kebebasan Informasi Publik versus Rahasia Negara (Ghalia Indonesia, 2011) ini lahir di Bogor, 12 Agustus 1974. Pendidikan dasar hingga menengah dituntaskan di kota kelahiran. Semasa kuliah di Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor pernah diundang menjadi tamu program acara Perspektif-SCTV dengan Host Wimar Witoelar (1995), meraih prestasi Mahasiswa Teladan Universitas Pakuan (1995) dan Lulusan Terbaik serta Sarjana Berprestasi Universitas Pakuan (1997). Studi S1 Ilmu Hukum diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor tahun 1997. Sempat magang di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta (1997). Kemudian, menjadi staf pengajar tetap di almamaternya (dengan pangkat akademik Lektor), pengajar tidak tetap pada Akademi Teknologi Bogor dan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta (2010-2011). Pada tahun 2008, ia merampungkan Program Magister Ilmu Hukum (S2) di Universitas Tarumanagara Jakarta. Tahun 2009, menjabat Staf Ahli Anggota Prop. Jawa Barat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Senayan Jakarta. Di tahun 2010, penulis meraih penghargaan Dosen Berprestasi ke-2 Tingkat Kopertis Wilayah Jawa Barat.
Sejumlah bukunya telah diterbitkan oleh penerbit maupun lembaga swadaya masyarakat antara lain: Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen (Kontributor Tulisan), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002; Pokok-Pokok Pikiran RUU Mahkamah Konstitusi (Anggota Tim Penulis), Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Patnership, 2004; Hukum dan Kuasa Konstitusi (Kontributor Tulisan, Editor Firmansyah Arifin), Jakarta: KRHN dan The Asia Foundation, 2004; Cetak Biru Mahkamah Konstitusi (Tim Penyusun), Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI,KRHN dan Yayasan Tifa, 2005; Menimbang Kapasitas Legislasi, (Editor dan Penulis), Jakarta: Pattiro, FKH FH Universitas Pakuan dan KRHN, 2006); Pengantar Memahami Hak Ekosob (Kontributor Tulisan, Editor Buni Yani), Jakarta: Pattiro dan EIDHR Uni Eropa, 2006; Pegangan Memahami Hak Ekosob untuk Anggota DPRD (Penulis), Jakarta: Pattiro dan EIDHR Uni Eropa, 2006.
Penulis aktif di pelbagai aktivitas terkait advokasi Hak Asasi Manusia (HAM), hukum, kebijakan publik dan perundang-undangan. Antara lain selaku: anggota badan pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) di Jakarta, mantan anggota Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) mewakili LSM Komite Peduli Otonomi Daerah (KPOD), tenaga ahli legal drafting tidak tetap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor (2007-2010), trainers hukum kenegaraan bagi karyawan Bank Artha Graha Group, peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) untuk Cetak Biru (Blue Print) Komisi Yudisial, konsultan hukum untuk Project Star SDP ADB-Manual Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Bagi DPRD-Itjen Depdagri, anggota Panitia Rencana Aksi Nasional-HAM Kota Bogor. Selain itu, ia pernah menjadi tenaga ahli hukum konsultan di DPRD Propinsi Banten, narasumber kajian di DPRD Provinsi Jawa Barat, Dinas Tata Kota Pemkot Tanggerang, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata,  Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perindustrian, Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Negara BUMN serta Mahkamah Konstitusi.
Kini, penulis dipercaya sebagai Direktur Pusat Studi Hukum dan Demokrasi Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor, Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Konsolidasi Sistem Politik dan Pemerintahan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) RI (2010) dan Staf Ahli Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di Senayan Jakarta (2010-sekarang).
Penulis kerap menjadi narasumber untuk kajian hak asasi manusia, hukum pemerintahan dan hukum konstitusi pada pelbagai forum dan media. Antara lain Kantor Berita 68 H dan Radio El Shinta Jakarta. Pemikirannya tersebar di mass media Kompas, Suara Pembaruan, Harian Terbit, Harian Radar Bogor, Harian Jurnal Bogor, Jurnal Otonomi, Jurnal Keadilan,  Jurnal Magister Hukum Perspektif Universitas Wisnuwardhana Malang, Jurnal Pantherei KRHN, News Letter Buru Koruptor-KRHN dan blog www.mihradi.blogspot.com. Untuk komunikasi dapat mengirimkan email pada radenmihradi@yahoo.co.id dan HP 081 599 48 101.
Alamat: Perumahan Cimanggu Permai, Jl Gadjah Mada I Blok B VIII No.4 Bogor







SKETSA PENEGAKAN HUKUM KOTA BOGOR[1] Oleh R. Muhammad Mihradi, S.H., M.H.[2]



Pendahuluan
Penegakan hukum (law enforcement) merupakan proses yang kompleks dan berdimensi luas. Tidak mudah melakukan evaluasi terhadap penegakan hukum. Mengingat demikian banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Penegakan hukum merupakan ruang mengekspresikan bahwa hukum berfungsi. Sebab, bila hukum tidak dapat ditegakkan maka dengan sendirinya hukum tidak berfungsi atau bahkan dianggap tidak ada. Dengan begitu, eksistensi penegakan hukum merupakan ciri keberadaan hukum sekaligus supremasi hukum (supremacy of law) yang menjadi topik diskusi kita kali ini.
Hukum itu sendiri sesungguhnya memiliki dua fungsi utama yakni (1) sebagai sarana pemelihara ketertiban masyarakat (menjamin adanya kepastian dan ketertiban) dan (2) sarana pembaharuan masyarakat. Kedua fungsi dimaksud wajib sinergis. Paduan dari bagaimana hukum mampu menyerap ‘the sense of justice of people’ tanpa menafikan atau mengabaikan perannya untuk merawat kepastian dalam tatanan ketertiban sosial.[3]


Satjipto Rahardjo menulis bahwa penegakan hukum dapat dimaknai sebagai suatu proses mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Adapun yang disebut keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.[4] Penegakan hukum merupakan elemen penting dari pranata hukum. Dengan uraian Satjipto Rahardjo di atas, penegakan hukum memiliki kaitan erat dengan pembentukan hukum yang berproduk peraturan-peraturan hukum. Melalui asumsi seperti itu, maka bila suatu pembentukan hukum memiliki kualitas buruk dan tercermin pada produk hukumnya, dipastikan akan mempersukar dalam penegakannya. Kontribusi buruknya produk hukum sangat signifikan di dalam melemahkan penegakan hukum.
Secara komperhensif, Soerjono Soekanto[5] merumuskan terdapat lima faktor untuk menilai efektivitas dari penegakan hukum. Pertama, dari faktor hukumnya sendiri. Misalnya, apakah perumusan norma hukum telah jelas, bernas dan sesuai dengan asas hukum itu sendiri atau tidak. Bila suatu norma peraturan daerah misalnya, kabur dan multi tafsir, dipastikan akan menurunkan kualitas efaktivitas hukum.
Kedua, dapat pula dipengaruhi dari faktor penegak hukum. Seberapa jauh kualitas, kapasitas, integritas dan profesionalitas penegak hukum telah dapat diandalkan dalam penegakan hukum. Bila penegak hukum misalnya masih korup, sulit hukum efektif bekerja.
Ketiga, penegakan hukum dapat dipengaruhi oleh sarana dan fasilitas. Misalnya, apabila hendak menegakan hukum lalu lintas, apakah sarana dan fasilitas seperti shelter, jembatan penyeberangan dan sebagainya telah memadai. Jika jawabannya negatif, maka sulit hukum ditegakkan.
Keempat, penegakan hukum dipengaruhi pula oleh kesadaran hukum masyarakat. Bila kesadaran hukum masyarakat lemah, sukar hukum ditegakkan. Terakhir, kelima, penegakan hukum sangat dikontribusi juga oleh budaya hukum masyarakat. Apakah nilai-nilai, persepsi dan pandangan hidup masyarakat mampu menghormati dan mengapresiasi penegakan hukum yang otentik.
Bagian awal di atas merupakan landasan umum dari konsep dan teoritik terkait penegakan hukum. Meski demikian, harus disadari hukum tidak pernah bekerja di ruang hampa atau kosong. Selalu terbuka pengaruh-pengaruh faktor non hukum yang membentuk profil penegakan hukum itu sendiri.
Suatu aliran hukum yang kini trend, yakni Critical Legal Studies berpendapat bahwa hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan merupakan resultante dari berbagai proses interaksi dan negosiasi pelbagai kepentingan diantara faksi-faksi dalam masyarakat. Terdapat asumsi dan pendapat bahwa hukum bukanlah institusi yang netral, Ia selalu menjadi variabel terpengaruh dari pelbagai gejala yang melingkupinya.[6] Dalam titik ekstrem, hukum tidak lagi sekedar sarana menyelesaikan sengketa, namun dapat pula menjadi pencetus sengketa.[7] Hal terakhir ini dipastikan harus dihindari bila kita bersepakat menempatkan supremasi hukum sebagai paradigm kehidupan bernegara. Bisa jadi, faktor utama yang menempatkan hukum dalam konteks yang tidak selalu diposisi sejatinya sebagai implikasi bahwa hukum selalu berkelamin “ganda”. Di satu sisi, hukum merupakan produk hukum namun di sisi lain, hukum adalah produk politik karena dibentuk oleh lembaga-lembaga politik (political institutions).[8]
Pisau analitik teoritik akan digunakan untuk memotret bagaimana penegakan hukum di Kota Bogor. Perlu dijelaskan sebelumnya bahwa telaahan penulis mengupas bahwa penegakan hukum dapat berupa penegakan hukum pidana dan penegakan hukum administrasi. Bobot hukum administrasi akan lebih dominan sesuai keahlian penulis. Beberapa kasus menonjol akan penulis  analisis dan menjadi sampel dalam makalah ini untuk didiskusikan lebih lanjut.
***
Kasus Korupsi DPRD Kota Bogor Gate
Kasus korupsi DPRD Kota Bogor adalah kasus penggunaan dana APBD anggaran penunjang kegiatan DPRD di tahun 2002 sebesar Rp. 5.528.026.000 dan dalam Anggaran Biaya Tambahan (ABT) sebesar Rp. 1.320.000.000,-  atau total sebesar Rp.6.848.026.000,- Dana yang dituduhkan korupsi adalah dana yang disepakati dan dicantumkan dalam APBD 2002.  Adapun dana dirumuskan sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1999 dan Tata Tertib DPRD. Adapun dana penunjang yang dipersoalkan adalah dana perumahan, kunjungan kerja, general check up, mobilitas dewan dan operasional dewan.
Yang menarik, dana yang dicantumkan APBD 2002 tidak dipermasalahkan oleh gubernur (karena menurut UU Pemda, sebelum pengesahan Perda APBD harus ada pengesahan dulu Gubernur) dan tidak dipersoalkan pula oleh BPK. Kemudian, dana tersebut dipersoalkan karena melanggar PP No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD yang PP tersebut telah dibatalkan MA. Terbit pula PP No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Atas dasar dugaan korupsi tersebut kemudian kejaksaan memproses dan pada akhirnya telah terbit Putusan MA yang memidana M Sahid (mantan Ketua DPRD Kota Bogor masa itu) karena telah melakukan tindak pidana korupsi. Putusan MA tersebut telah memiliki kekuatan hukum pasti (inkracht van gewisjde) dan dalam putusan tersebut terpidana M. Sahid dinyatakan melakukan korupsi secara bersama-sama (sesuai Pasal 55 KUHP). Implikasinya, anggota DPRD lain di masa M. Sahid kini diproses secara hukum karena diduga melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Terlepas dari anomali substansi putusan MA dalam kasus M. Sahid mengingat terdapat kasus serupa dengan Kota Bogor di daerah lain  dan diputus bebas. Meski demikian, penulis hendak melihat sisi prosedur hukum yang dilalui dalam kasus korupsi DPRD Gate dan tidak mengupas putusan MA tentang perkara pidana korupsi M. Sahid.
Pertama, kasus korupsi yang diproses sejak tahun 2002 ini terasa berlarut-larut, apalagi anggota DPRD lain baru diberkas dan diproses persidangan 2010-2011 ini. Proses perkara yang berlarut-larut menimbulkan ketidakadilan pada dua pihak, yakni pihak tersangka dan terdakwa kasus DPRD Gate dan pihak masyarakat yang menginginkan kepastian hukum atas duduk perkara kasus ini.
Kedua, silang pendapat mengenai penahanan para tersangka-terdakwa DPRD Gate ini. Ada yang ditahan sejak awal dan ada yang belakangan. Penahanan pun diletakkan pada diskresi yang berpotensi subyektif pada Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang lengkapnya dinyatakan berikut. “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”. Tiga tolok ukur yakni (1) melarikan diri; (2) merusak atau menghilangkan barang bukti ; dan atau (3) mengulangi tindak pidana, menurut pemakalah, harus dipaparkan oleh aparat penegak hukum secara argumentatif dan terbuka pada publik serta pihak berkepentingan manakala akan dilakukan penahanan.
Ketiga, kasus korupsi merupakan tindak pidana jabatan (ambts delicten) yang melibatkan pelbagai pihak. Kiranya kejaksaan perlu pula menelusuri kemungkinan keterlibatan eksekutif  dalam tindak pidana korupsi mengingat pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah berdasarkan PP No.105 Tahun 2000 adalah kepala daerah (walikota). Mesti ditelusuri apakah Walikota beserta perangkatnya di masa dugaan korupsi DPRD Gate terjadi terlibat atau tidak praktik korupsi dimaksud? Bila kejaksaan tidak melakukan penelusuran sampai ke sana maka berpotensi terjadi diskriminasi hukum.[9]
Kasus Izin Mendirikan Bangunan Universitas Bakrie[10]
Di media Radar Bogor diberitakan bahwa peletakan batu pertama bagi pendirian Universitas Bakrie di Bogor Nirwana Residance ternyata belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal ini jelas sangat memprihatinkan mengingat lembaga pendidikan di bawah naungan pengusaha besar keluarga Bakrie tidak memperhatikan aspek hukum administrasi pendirian bangunan.
Menurut hemat pemakalah, pemerintah harus melakukan tindakan-tindakan tegas dan jelas terkait dengan ketiadaan perizinan bangunan. Pertama, bila sedang diajukan proses permohonan IMB maka pemerintah daerah harus memperhatikan apakah permohonan telah dilengkapi persyaratan dan dari sisi tata ruang telah terpenuhi atau tidak. Kedua, bila kelengkapan perizinan belum terpenuhi maka pemerintah kota harus memperhatikan agar tidak dilakukan berbagai tindakan untuk mendirikan bangunan dan peresmian sekalipun sepanjang izin belum diberikan. Dua hal ini penting untuk memastikan supremasi hukum berjalan.[11]

Kasus Pembangunan Pasar Modern dan Mini Market
Pemerintah Kota Bogor di dalam menegakkan aturan terkait tata ruang, perizinan bangunan dan usaha harus dilakukan pencermatan dan penegakan yang konsisten agar tidak terjadi praktik diskriminasi dan pelanggaran aturan. Pembangunan Pasar Modern Cilendek Barat tanpa Izin Mendirikan Bangunan[12] misalnya yang sempat ditemukan Walikota merupakan  model kebiasaan buruk pengembang usaha di mana membangun terlebih dahulu bangunannya dan proses perizinan diurus belakangan. Hal ini jelas melanggar prinsip-prinsip hukum administrasi yang menegaskan asas legalitas sebagai hal penting di dalam melakukan tindakan-tindakan di ranah hukum administrasi.[13] Bila tidak sesuai ketentuan perda tata ruang dan perizinan pada Perda Bangunan maka pemerintah kota harus menindak tegas.
Demikian pula maraknya pendirian mini market yang belum memiliki perizinan harus menjadi konsentrasi utama dari pemerintah kota. Hal ini akan berdampak pada persaingan usaha tidak sehat, hilangnya kepastian hukum dan “seakan-akan” berpotensi menimbulkan diskriminasi. Ke depan perlu kiranya pembaharuan aturan terkait dengan usaha mini market agar zonasi antar tempat usaha, keseimbangan lingkungan dan aspek persaingan usaha yang sehat menjadi instrumen untuk menata tertibkan perilaku bisnis mini market.[14]

Kasus Penegakan Perda Ketertiban Umum
Masalah berat di kota Bogor adalah maraknya gelandangan dan pengamen yang mengganggu ketertiban umum. Praktik gelandangan dan pengamen dilakukan ditempat-tempat terlarang menurut Perda Ketertiban Umum. Persoalannya, bila pendekatan hanya dilakukan secara hukum maka ini hanya menjadi simptom yang tidak terselesaikan. Perlu disadari bahwa aspek hukum sangat terkait dengan aspek sosial-ekonomi dan budaya yang tidak selalu terjangkau oleh dimensi hukum.
Penyelesaian kasus-kasus seperti di atas perlu didekati dengan pendekatan multi disiplin. Dari aspek ekonomi, maraknya gelandangan, pengemis dan pengamen merupakan cermin “sakitnya” ekonomi masyarakat yang harus diterapi dengan upaya-upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan misalnya. Selain itu, dari aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu dilacak pelaku gelandangan dan pengemis yang tidak selalu berasal dari Kota Bogor melainkan dari luar daerah Kota Bogor. Perlu koordinasi dan kebijakan lintas daerah untuk melakukan penanganan sehingga aspek-aspek kearifan penanganan merupakan dimensi utama selain aspek hukum yang amat terbatas dimaksud.
Penerapan sanksi dalam perda ketertiban umum yang berupa denda dan pidana kurungan kiranya perlu ditimbang ulang. Mengingat dalam kasus-kasus tertentu, pidana seperti ini tidak efektif. Misalnya bagi pengemis akan sulit ditindak untuk denda mengingat kemiskinannya sulit membayar denda. Bila dipidana kurungan, tidak menyelesaikan masalah. Perlu langkah inovasi untuk memikirkan pidana yang dapat memberikan aspek penjeraan di satu sisi dan menjadi solusi bagi masalah sosial di sisi lain.

Epilog
Kupasan berbagai sampel kasus di atas memperlihatkan bagian-bagian centang perenang dari supremasi hukum di Kota Bogor, khususnya pada dimensi penegakan hukum. Meski demikian perlu disadari bahwa problematika penegakan hukum sangat kompleks. Apalagi bila pembentukan suatu aturan yang hendak ditegakkan tidak melalui proses partisipasi publik yang memadai maupun mengakomodasi berbagai kepentingan-kepentingan publik secara arif.[15]
Hal lain yang menarik dicermati berkenaan dengan komitmen dalam menegakan aturan. Seperti dalam penegakan perda ketertiban umum dan perda bangunan, seringkali ketentuan yang telah tegas dan jelas bila tidak diikuti oleh konsistensi penegakan hukum maka akan berdampak pada terdistorsinya prinsip supremasi hukum.
Terakhir, merupakan gejala dan keniscayaan untuk pembentukan komunitas dan masyarakat kritis sadar hukum dan kuat budaya hukumnya sehingga mampu melakukan kritik konstruktif. Mempergunakan akses maupun hak hukumnya sesuai ketentuan yang berlaku.[16]


[1]Makalah disampaikan pada Diskusi Publik “Komedi Putar Supremasi Hukum Di Kota Bogor”, Jumat 29 April 2011 di Gedung Alumni IPB Baranang Siang Bogor, diselenggarakan oleh Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bogor.
[2]Direktur Pusat Studi Hukum dan Demokrasi Fakultas Hukum (FH) Universitas Pakuan Bogor, Staf Ahli Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Senayan Jakarta, Tenaga Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor, Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) untuk Blue Print Komisi Yudisial, Anggota Dewan Pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Panitia Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Kota Bogor, Mantan Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Konsolidasi Sistem Politik dan Pemerintahan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) RI (2010) dan Dosen di FH Universitas Pakuan, FH Unika Atma Jaya Jakarta serta Akademi Teknologi Bogor (AKTB). Karya tulis terbarunya adalah Kebebasan Informasi Publik vs Rahasia Negara diterbitkan oleh Ghalia Indonesia tahun 2011.
[3]Lihat Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2000), 27 dan R. Muhammad Mihradi, “Pembatalan Perda: Sebuah Catatan Reflektif”, Makalah, Diskusi Terbatas Mekanisme dan Implikasi Pembatalan Perda, Sabtu, 29 Agustus 2009 di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN) di Jl Martapura Jakarta, 1.
[4] Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Sinar Baru, tt), 24.
[5] Konsep Soerjono Soekanto dielaborasi dengan analisis penulis, diolah dari buku Munir Fuady, Sosiologi Hukum Kontemporer: Interaksi Hukum, Kekuasaan, dan Masyarakat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), 117. Bandingkan pula dengan tulisan R. Muhammad Mihradi, “Menyoal Penegakan Hukum Masa Pemerintahan SBY”, Paper Disampaikan Forum Diskusi Ilmiah “SIMAPRO” (Diskusi Mahasiswa Progresif), Bertema “Setahun Pemerintahan SBY Dalam Aspek Penegakan Hukum”, Rabu 20 Oktober 2010 di Aula Soepomo Gedung Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor.
[6]Ifdhal Kasim, “Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ Dalam Kajian Hukum Indonesia, Jurnal Wacana INSIST, Edisi 6 Tahun II, 2000, 26-28. Roberto M Unger bahkan melakukan kritik keras terhadap keyakinan dari aliran modern yang meyakini bahwa seakan-akan hukum positif yang kini berlaku adalah obyektif, netral dan positif dapat ditegakkan. Hukum menurutnya tidak dapat dimaknai sekedar kanon tertutup tanpa interpretasi yang kontekstual. Lebih mendalam dapat dilihat karya klasik Roberto M Unger, The Critical Legal Studies Movement, (USA: Library of Conggress, 1986), 1-3.    
[7]Pendapat bahwa hukum sebagai pencetus sengketa digagas oleh Charles Stamford yang berpandangan bahwa hukum merupakan sesuatu yang cair  (legal melee) dan dapat potensial untuk melahirkan disintegrasi, bila hukum yang dirancang dan ditegakkan dilakukan di atas bangunan ketidakadilan. Lihat  R. Muhammad Mihradi, “Matinya Mitos Negara Hukum”, Harian Suara Pembaruan, 7 Oktober 2002, 4-5.
[8]Seorang ahli hukum kenamaan dari Belanda Meuwissen  berpandangan bahwa, meski hukum dipengaruhi pelbagai hal termasuk politik, seharusnya hukum dalam bentuk perundang-undangan misalnya bukan sekedar endapan dari konstelasi politik empirikal. Ia juga memiliki aspek normatif. Unsur idiil perundang-undangan mengimplikasikan bahwa ia merealisasikan apa yang menurut asas-asas hukum (ide hukum, cita hukum) seharusnya direalisasikan. Lihat Bernard Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), 10. Bahkan menurut Lawrence Baum, di Amerika Serikat, pelbagai literatur menerangkan bahwa tidak mungkin lembaga peradilan non politis. Apalagi dirumuskan bahwa lembaga peradilan “as a part of government, court are political institutions by definitions”. Jadi, lembaga peradilan adalah bagian dari penyelenggara pemerintahan arti luas. Nilai-nilai dalam diri hakim, pengaruh persepsi dan opini publik, seringkali dapat membentuk dan mempengaruhi hakim dalam memutus. Pada kasus Brown vs Board of Education (1965) mengenai segregasi kulit hitam-kulit putih, Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat membuat terobosan berupa membuat putusan bahwa pemisahan pendidikan bagi kulit hitam dan putih adalah tindakan illegal dan unconstitutional. Lebih lanjut, Lawrence Baum, The Supreme Court, (USA: Congressional Quarterly, 1989), 8 dan 240. Dalam kasus Indonesia, peluang pengaruh politik pada peradilan senantiasa terbuka. Misalnya pada tafsir ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan dengan tegas bahwa “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Dalam ketentuan di atas, MA tidak memiliki sikap yang jelas. Ada putusan MA yang menolak pengajuan peninjauan kembali (PK) oleh Jaksa karena yang dirumuskan pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP eksplisit hanya hak dari “terpidana atau ahli warisnya mengajukan PK. Namun, ada pula putusan MA yang mengabulkan permohonan PK oleh Jaksa. Dualisme putusan seperti ini terbuka peluang pengaruh politik berperan. Lihat pula putusan MA pada kasus permohonan PK Jaksa dalam Kasus Pidana Muchtar Pakpahan yang dikabulkan padahal putusan di tingkat sebelumnya adalah putusan bebas yang seharusnya tidak dapat diajukan PK oleh Jaksa, periksa R. Muhammad Mihradi, Dasar-Dasar Menuju Pemahaman Yurisprudensi Peradilan Tata Usaha Negara (HAN Dalam Yurisprudensi), Bogor: Divisi Penerbitan Forum Kajian Hukum Fakultas Hukum Universitas Pakuan, 2006.
[9]Marx pernah menulis dan mengingatkan bahwa terdapat gejala hukum termanipulasi. Baginya “law is an instrument of class domination which serves to preserve economic inequalities”, lihat Ian Mc Leod, Legal Theory, (London: Mac Millan, 1999), 126. Hal ini harus dihindari agar hukum tidak menjadi alat kelas dominan yang memiliki kekuasaan politik, uang dan sebagainya. Hukum harus melayani secara non diskriminasi. Di Harian Radar Bogor 18 Agustus 2010 terdapat silang sengketa mengenai dana yang dikembalikan para tersangka dan terdakwa APBD Gate ke Kas Daerah. Menurut Walikota Diani telah masuk ke Kas Daerah sedangkan menurut Panitia Anggaran 2004-2009 DPRD Kota Bogor Fauzi Sutopo belum masuk Kas Daerah masih menjadi alat bukti di Kejaksaan. Hal ini harus diklarifikasi dan ditransparansikan pada publik.
[10] Radar Bogor 21 April 2011. www.radarbogor.co.id
[11]Bila pemerintah tidak melakukan tindakan tegas penegakan aturan terhadap korporasi-korporasi yang melanggar aturan dikhawatirkan hal ini akan mengabsahkan teori politik mengenai “negara centeng”  di mana negara atau pemerintah cenderung berpihak pada kelompok elite usahawan lokal-internasional dan abai terhadap warganya sendiri sebagai cerminan anutan ekonomi neo liberal. Bahasan mendalam tentang “negara centeng” dapat dilihat I Wibowo, Negara Centeng: Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2010).
[12] Radar Bogor, 30 Agustus 2010 di situs www.radarbogor.com
[13]Di dalam hukum administrasi, pemerintah memiliki banyak fungsi antara lain: (1) fungsi pengaturan yang lazim disebut fungsi regulasi yakni sebagai usaha untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya kegiatan di tatanan sosial masyarakat; (2) fungsi pelayanan, yang akan membuahkan keadilan dalam masyarakat dan (3) fungsi pemberdayaan yang akan mendorong kemandirian dalam masyarakat. Di dalam menguji tindakan pemerintah dari sisi hukum administrasi, harus diperhatikan setidaknya tiga hal. Pertama, aspek kewenangan yang dapat bersifat bebas, terikat dan fakultatif. Dapat pula dari segi sumber kewenangan yakni atribusi, delegasi dan mandat. Kedua, aspek prosedur yang memperhatikan legalitas, efektivitas-efisiensi dan demokrasi. Terakhir, ketiga, aspek substansi terkait dengan isi suatu tindakan hukum administrasi. Lihat, Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2008), 46-73.
[14]Ada diskursus panjang mengenai persaingan usaha pasar modern vs pasar tradisional, mini market vs kelontong dimana dimensi diskursus dimaksud akan berujung pada persoalan kebijakan pemerintah dan keadilan (justice). Ketika akses dan modal (capital) serta jejaring pasar modern dan mini market begitu kuat maka pemerintah seharusnya melakukan upaya penguatan pada pasar tradisional dan kelontong sehingga dapat bersaing sehat dengan kuat. Model kemitraan dapat menjadi pilihan. Dengan demikian, keadilan bagi semua (justice for all) dapat terpenuhi. Kesemuanya bermuara akhir pada hukum yang mampu mengayomi dan bukan memprovokasi konflik bagi persaingan usaha dimaksud. Mengenai teori-teori keadilan dan perdebatannya dapat dilihat lebih lanjut Ronald Dworking, Taking Rights Seriously, (USA: Universal Law Publishing, 1999).
[15]Aspek pelibatan partisipasi publik yang maksimal dalam pembentukan aturan hukum akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam. Misalnya, Jurgen Habermas sangat berkepentingan untuk menelisik bagaimana proses-proses partisipasi publik terawat dengan baik melalui konsepsi diskursus demokrasi deliberative yang menitikberatkan pada rasio komunikatif terbuka bebas tekanan.  Baginya, komunikasi ruang publik baru dianggap sehat dan demokratis bila memenuhi tiga syarat. Pertama, diskursus yang melibatkan pelbagai aktor pemangku kepentingan harus dibangun dalam koridor bahasa yang sama dan secara konsisten mematuhi aturan-aturan logis dan semantik dari bahasa itu. Kedua, kesamaan berdiskursus akan terjadi bila setiap peserta memiliki maksud untuk mencapai konsensus yang tidak memihak dan memandang peserta lainnya sebagai pribadi yang otonom yang tulus, bertanggungjawab dan sejajar seta tidak menganggap mereka hanya sarana belaka. Ketiga, harus ada aturan-aturan yang dipatuhi secara umum yang mengamankan proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi. Aturan-aturan tersebut harus memastikan bahwa orang mencapai konsensus berkat “paksaan tak memaksa dari argument”. Lihat F. Budi Hardiman, “Ruang Publik dan Demokrasi Deliberatif: Etika Politik Jurgen Habermas”, dalam F. Budi Hardiman dkk. Empat Esai Etika Politik, (Jakarta: www.srimulyani.net dan Komunitas Salihara, 2011), 11.
[16]Gerakan masyarakat kritis kini mendapat harapan yang besar dengan pemanfaatan teknologi internet. Gerakan Facebooker Koin Prita dan Gerakan Facebooker Dukung KPK misalnya merupakan sampel bagaimana komunitas di jejaring maya mampu membangun solidaritas untuk memperjuangkan hak hukum dan demokrasi. Tidak heran banyak literatur yang menulis demokrasi di dunia maya sebagai realitas tak terhindarkan dari perkembangan zaman.

Radar Bogor 11 Juni 2012 Pemberitaan Mihradi

Senin, 11 Juni 2012 , 12:01:00
Politisasi Lemahkan Penegakan Hukumhttp://www.radar-bogor.co.id/index.php?rbi=berita.detail&id=97043
 
BOGOR-Sejak reformasi digaungkan 14 tahun lalu, salah satu yang diharapkan mahasiswa dan masyarakat pada masa itu adalah perubahan dalam bidang hukum.

Sejak rezim Orde Baru berkuasa selama 32 tahun, penegakan hukum seolah-olah berjalan sia-sia karena adanya campur tangan penguasa. Dimana, terdapat sistem yang tidak berjalan sebagaimana mestinya karena penegak hukum dikendalikan kepentingan sesaat yang merusak proses peradilan.

Hal itu terungkap dalam dialog ilmiah bertema Memandang Wajah dan Gairah Hukum dan Politik Indonesia Saat Ini, di Aula Soepomo gedung Fakultas Hukum Universitas Pakuan (Unpak), belum lama ini. Hadir sebagai pembicara, Akademisi Universitas Paramadina, Bima Arya Sugiarto serta Praktisi Hukum Tata Negara Unpak, Muhammad Mihradi.

Bima mengatakan, proses legislasi dan penegakan hukum masih sangat dipengaruhi tarik-menarik politik. Kekuatan pragmatisme dan politik uang bahkan masih mengendalikan proses penegakan hukum di Indonesia.

“Lemahnya penegakan hukum terjadi karena adanya politik saling kunci dari aktor politik. Para aktor politik dan penegak hukum tidak mampu menjadikan hukum sebagai panglima karena kebanyakan memiliki dosa politik dan cenderung saling melindungi satu sama lain,” bebernya.

Ia menilai, biaya pilkada yang mahal pun telah menjadikan kepala daerah pemenang tersandera oleh kekuatan pemodal. Padahal semestinya, kepala daerah hanya berutang kepada pemilihnya yaitu rakyat.

Terungkap juga bahwa seorang kandidat bupati bisa menghabiskan dana hingga puluhan miliar dalam pilkada dan ratusan miliar untuk gubernur. “Saat ini sudah sangat mendesak untuk dilakukan penyempurnaan perundangundangan untuk mengatur transparansi dan pembatasan pembelanjaan dana kampanye politik,” tandasnya.

Sementara itu, Mihradi berpendapat bahwa politik dan hukum harus kembali ke akar moralitasnya, yakni keadilan dan kepentingan bersama. Sebab, masa depan hukum dan politik ditentukan aktor pelakunya yang kompeten dan mampu untuk melembagakan nilai-nilai dari falsafah bangsa, yakni Pancasila.

“Saya sepakat bahwa perubahan harus didorong tidak saja secara aspek struktural, namun juga kultural dan indvidual,” pungkasnya.(rur)
 
 

Tulisan Mihradi Di Kompas Tahun 2004

Masih Perlukah Konstitusi?
Kps:27-02-04
Oleh R Muhammad Mihradi
DI masyarakat, pergumulan pemikiran seputar reformasi konstitusi sepertinya tidak mendapat apresiasi memadai. Meski saat awal-awal perubahan UUD 1945 mendapat banyak tanggapan di media, tampaknya masyarakat marjinal terpinggirkan dari isu-isu itu.
Konstitusi, boleh jadi, bagi mereka merupakan proyek elitis, tidak langsung bersentuhan dengan problem nyata keseharian. Konstitusi bahkan dianggap tidak dapat berbicara langsung saat mereka mengalami penggusuran atau dizalimi oleh korupsi di mana-mana.
SECARA teoretis, konstitusi memiliki peran cukup strategis. Ringkasnya, ia merupakan kumpulan norma yang ditujukan untuk mengatur alokasi kekuasaan, fungsi-fungsi, dan kewajiban-kewajiban di antara berbagai badan-badan dan para pejabat pemerintahan, dan untuk mendefinisikan hubungan antarmereka dengan masyarakat (Satya Arinanto, 2002). Namun, makna luhur konstitusi ini, mau tidak mau, dalam sistem hukum kita harus diderivasi dan diimplementasikan dalam bentuk produk hukum di bawahnya.
Celakanya, jika produk hukum di bawah konstitusi mencederai konstitusi, konstitusi tidak mampu melawannya. Memang ada Mahkamah Konstitusi (MK) yang berfungsi sebagai the guardians of constitution dengan salah satu kewenangannya menguji UU atas UUD. Namun, harus diingat, tindakan MK pun tetap menuntut prosedur aktif dari warga negara (yang mayoritas minim pemahaman hukumnya) untuk melakukan aksi permohonan pengujian.
Konyolnya lagi, UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi membatasi pengujian UU atas UUD hanya setelah perubahan UUD 1945. Jadi, sebelum UUD 1945 diubah, tidak dapat diuji. Padahal, banyak produk hukum masa lalu yang justru bertentangan dengan aspirasi konstitusional masyarakat.
PENULIS tidak tahu harus berangkat dari mana, namun idealnya sebuah konstitusi dapat menjadi rujukan bersama dari penyelenggaraan negara. Apabila ada penggusuran permukiman kumuh setelah bertahun-tahun dibiarkan bermukim, seharusnya dapat dilindungi dengan ketentuan Pasal 28 huruf d UUD 1945 yang menjamin setiap orang untuk mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Amat tidak adil bila mereka yang tergusur, ternyata dibiarkan terlunta-lunta, sementara tiap pemilu hendak berlangsung, suara mereka mendadak menjadi rebutan. Sayang, konstitusi diam seribu bahasa.
Tidak heran, banyak ahli politik mulai mengecilkan makna studi teks konstitusi. Menurut pendapat mereka, sering kali banyak dokumen konstitusi yang tidak lengkap, jika tidak dapat dikatakan menyesatkan, untuk menjadi pedoman bagi praktik nyata, yakni apa yang sering disebut sebagai working constitution atau governance dari suatu negara. Termasuk kemungkinan aturan-aturan konstitusi mungkin dihilangkan atau diabaikan untuk kepentingan sesaat elite politik (Laporan Konferensi Internasional IDEA "Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia", 2002:62). Hal ini menjadi kian relevan ketika sekian banyak praktik penyelenggara negara dengan mudah mengabaikan konstitusi. Korupsi, penggusuran, tata ruang semrawut, dan bencana banjir adalah sebagian kecil daftar inventarisasi problem yang jauh dari semangat konstitusi.
Tentu kalangan ahli konstitusi akan menyanggah argumentasi penulis. Bukankah konstitusi hanya memuat pokok-pokok dari susunan ketatanegaraan yang mendasar berikut pembagian dan pembatasan tugasnya disertai jaminan terhadap hak asasi manusia?
Sanggahan ini dengan mudah dipatahkan dan menjadi tidak menarik apabila realitasnya tidak ada jaminan ketentuan dasar dalam teks konstitusi benar-benar diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih konkret. Tanpa jaminan itu, ikhtiar keras Komisi Konstitusi yang independen sekalipun rasa-rasanya menjadi basa-basi dan kian percuma saja.
SEBENARNYA, Ismail Suny dalam buku standar hukum tata negara, Pembagian Kekuasaan Negara (1982), telah mengingatkan akan bahaya dari pendelegasian perundang-undangan (delegated legislation). Artinya, pada level konstitusi, bisa jadi norma yang dirumuskan telah memadai. Namun, di level operasional, yaitu pada penyusunan peraturan perundang-undangan, diselewengkan. Dan di Indonesia, celakanya sektor legislasi senantiasa dipengaruhi gonjang-ganjing politik sehingga tidak pernah ada komitmen memadai untuk memprioritaskannya (lihat R Muhammad Mihradi, Mahkamah Konstitusi, Sebuah Keajaiban, Kompas, 4 Juli 2003).
Elite politik lebih tertarik pada arena bantah-membantah sebagai wujud fungsi pengawasan DPR dan melupakan fungsi legislasi yang menjadi tugas esensinya. Akibatnya, saat peraturan perundang- undangan dibutuhkan untuk menjawab masalah nyata masyarakat, yang ada hanya sekian banyak aturan yang berisi daftar kewajiban warga dan minim bagi penguasa. Rakyat, sekali lagi dengan amat menyesal, termarjinalkan.
Mungkin, setelah direnungkan, kegagalan konstitusi menjawab permasalahan adalah karena Indonesia ditakdirkan taqlid buta pada sistem civil law, terutama pada aspek hukum publiknya. Dalam sistem civil law, tradisi legislasi menjadi amat kental dan hakim dibikin legalistik-positivistik. Hakim diarahkan menjadi corong undang-undang. Berbeda dengan negara-negara yang menganut common law, seperti AS, naskah konstitusi menjadi lebih hidup dalam masyarakat melalui praktik peradilan sehari-hari. Hakim dapat langsung menerapkan konstitusi pada kasus-kasus konkret.
Ini jauh berbeda dengan di Indonesia, di mana hakim tetap mengacu pada ketentuan UU dan peraturan di bawahnya. Hanya Mahkamah Konstitusi yang langsung kepada UUD. Itu pun sebatas pengujian UU terhadap UUD. Di bawah UU, tetap kewenangan MA. Dan, Mahkamah Konstitusi pun tidak dapat menangani sengketa yang sifatnya perbuatan pemerintah yang nyata (feitelijk handeling), seperti pembongkaran semena-mena dan sebagainya.
Alhasil, kita perlu memeriksa kembali bangunan sistem hukum yang dianut, yang sarat prosedur. Artinya, konstitusi sering merumuskan norma-norma ideal yang hanya ditemukan di dalam teks. Sementara di level praksis, konstitusi hanya menjadi penonton belaka.
APAKAH kita masih perlu konstitusi? Jawabnya tergantung dari mana kita memandang. Bila kita hanya memperlakukan konstitusi sebagai dokumen dingin, tak memiliki ruh dan sekadar kosmetik, penulis kira konstitusi menjadi tidak bermakna. Namun, akan lain halnya bila konstitusi dibuat hidup, diimplementasikan secara konsisten, dan ditata ulang sesuai dengan semangat konstitusionalisme (paham terbatasnya kekuasaan negara), maka konstitusi menjadi penting.
Untuk itu perlu dipikirkan strategi guna merombak sistem hukum agar memberi keleluasaan bagi konstitusi untuk mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Seperti di AS, saking konkret dirasakan keberlakuannya di masyarakat, konstitusi AS diberi gelar sebagai civil religion.
Bagi penulis, ada benarnya sinyalemen penjelasan UUD 1945 yang mengingatkan pentingnya semangat jiwa penyelenggaraan negara yang baik. Karena, sebagus apa pun konstitusi, tanpa jiwa penyelenggaraan negara yang baik. akan sia-sia belaka. Dengan kata lain, sudah saatnya kita mencari alternatif mereformasi sistem ketatanegaraan agar tidak menjadi menara gading. Mereformasi konstitusi bukan segalanya tanpa diikuti bagaimana membumikan konstitusi. Bukankah hukum dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya?
R Muhammad Mihradi Peneliti di Forum Kajian Hukum; Pengajar FH Universitas Pakuan, Bogor; Staf Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta
Sabtu, 30 April 2011 , 08:48:00
http://www.radar-bogor.co.id/index.php?rbi=berita.detail&id=73424
 
BOGOR-Pengawasan terhadap penegakan hukum saat ini dinilai masih lemah, sehingga banyak kasus-kasus pidana yang tak terkuak. Atas dasar itulah, Pengamat hukum Kota Bogor, R Muhammad Mihradi, menilai perlu adanya pembentukan komunitas dan masyarakat kritis, sadar dan kuat budaya hukumnya. Sehingga mampu melakukan kritik yang bersifat konstruktif. “Tujuannya adalah akses dan hak hukum bagi siapa saja, sesuai dengan aturan yang berlaku,” ujarnya, saat mengisi diskusi publik bertajuk Komedi Putar Supremasi Hukum di Kota Bogor, kemarin.

Diskusi digelar sebagai bagian dari perayaan milad ke-51, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bogor, di Gedung Alumni IPB Baranangsiang. Pada diskusi itu, Mihradi mengupas beberapa kasus hukum yang dianggap menarik. Di antaranya, APBD Gate 2002 yang berlarutlarut, kasus pembangunan minimarket tak berizin, IMB Universitas Bakrie dan penegakan perda ketertiban umum.

Seperti pada APBD Gate 2002 yang mempermasalahkan dana penunjang bagi para anggota dewan waktu itu. Mihradi melihat kasus tersebut menarik, mengingat dana yang dicantumkan APBD 2002 tidak dipermasalahkan oleh gubernur. Selain itu, dana tersebut tidak dipersoalkan oleh badan pemeriksa keuangan (BPK). Dalam prosesnya, penyelesaian kasus ini juga berlarut-larut sehingga menimbulkan ketidakadilan baik bagi tersangka, terdakwa maupun masyarakat yang menginginkan penuntasan kasus tersebut. “Kasus ini juga menimbulkan silang pendapat mengenai para tersangka dan terdakwanya,” kata dia.

Menurut Mihradi, kejaksaan perlu menelusuri kemungkinan keterlibatan eksekutif dalam tindak pidana korupsi tersebut, mengingat pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah berdasarkan PP No 105/2000 adalah walikota. Sehingga, perlu ditelusuri apakah walikota beserta perangkatnya di masa dugaan korupsi DPRD Gate terjadi, terlibat atau tidak dengan praktik korupsi yang dimaksud. “Kasus korupsi merupakan tindak pidana jabatan atau ambts delicten yang melibatkan berbagai pihak. Karenanya, kejaksaan harus menelusuri lebih jauh,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Bogor, Ghazali Hadari yang turut hadir sebagai pembicara mengatakan, pihaknya bersama kepolisian telah melakukan reformasi di tubuh instansi masing-masing. Janji aparatur hukum tersebut, dibalas dengan pernyataan dari Ketua Umum PC PMII Kota Bogor, Rama, bahwa PMII siap mengawal pembangunan di Kota Bogor, baik di bidang hukum pendidikan, sosial maupun hal-hal lain yang berkaitan langsung dengan masyarakat.(ric)