SENGKARUT PERIZINAN KOTA BOGOR[1]
Oleh R Muhammad Mihradi[2]
MEMPRIHATINKAN, satu kata untuk melukiskan perizinan di Kota
Bogor. Pertama, publik di Bogor mendapat kesan kuat, perizinan
seringkali tidak memiliki kompatibel kuat dengan penataan ruang yang mampu
mewadahi ruang publik dan karakter budaya. Kasus kontroversi Hotel Amarosa
merupakan contohnya. Kedua, keluhan memproses perizinan
berbelit-belit seringkali terungkap di media lokal. Dampaknya, kultur jalan
pintas kerap terjadi. Di didirikan dulu bangunannya, izin menyusul.[3] Ketiga,
adanya kecenderungan (tren) menggunakan instrumen izin sebagai alat
pemasukan ekonomi untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal, hakikat izin
adalah pengendalian aktivitas masyarakat agar terkelola ketertiban dan
kenyamanan.[4]
***
Secara konseptual,
perizinan merupakan wewenang publik dari pemerintah (bestuurs) untuk mengatur (sturen)
dan menata pemerintahan dalam kerangka melayani publik secara optimal.
Perizinan sebagai tindakan pemerintahan (bestuurs
handeling) harus pula dilandaskan pada prinsip-prinsip negara hukum (rechtsstaat), prinsip-prinsip demokrasi
dan sesuai konsep dasar yang dikenal dalam hukum administrasi, maka
mengakomodasi pula prinsip instrumental. Prinsip negara hukum misalnya,
menghendaki adanya skema kekuasaan pemerintah yang bersifat aktif di mana
dimensi kontinyuitas menjadi karakternya. Seperti kekuasaan pemerintahan dalam
menerbitkan izin mendirikan bangunan tidak berhenti dengan terbitnya izin
mendirikan bangunan. Melainkan senantiasa mengawasi agar izin tadi digunakan
dan ditaati. Bila tidak sesuai maka pemerintah akan menggunakan kekuasaan
penegak hukum berupa penertiban. Prinsip umum negara hukum itu sendiri
menginginkan adanya implementasi dari empat ciri khasnya yakni (a) adanya asas
legalitas dalam pelaksanaan pemerintahan; (b) perlindungan hak-hak dasar
(grondrechten); (c) pembagian kekuasaan di bidang pemerintahan dan (d)
pengawasan oleh pengadilan.[5]
Prinsip atau asas
demokrasi berkenaan dengan prosedur dan substansi dalam penyelenggaraan pemerintahan,
termasuk perizinan, baik berupa pengambilan keputusan maupun berupa
perbuatan-perbuatan nyata. Salah satu
kriterianya adanya keterbukaan dan peran serta (inspraak) publik dalam pengambilan keputusan. Pengalaman Belanda
melalui Algemene Wet Bestuursrecht (UU Hukum Administrasi Umum) pada Pasal 3:11
(3.4.2) mewajibkan “organ pemerintahan untuk memberikan kesempatan melihat
(inzage) dalam jangka waktu sekurang-kurangnya empat minggu dan memberikan
kesempatan mengemukakan pendapat bagi pihak-pihak yang akan terkena suatu
keputusan pemerintah”. Jadi, ketentuan ini memberikan dasar bagi masyarakat
berpartisipasi baik aktif maupun pasif sekaligus mendorong pemerintah membuka
ruang bagi publik mengkritisi kebijakannya.[6]
Sedangkan prinsip atau asas instrumental menekankan pencapaian tujuan
pemerintahan harus memastikan agar asas efisiensi dan efektivitas diadopsi
secara memadai.[7]
***
Paparan konsep perizinan
di atas adalah idealisasi dan teoritis yang sepatutnya menjadi arah dan
pencerah pada proses penyelenggaraan pemerintahan. Namun, praktiknya tidak
demikian. Ada aroma politisasi dalam perizinan. Kompas, 18 April 2012
menurunkan berita bahwa kasus Hutan Sumatera ternyata menjadi ajang obral
perizinan. Penulis menduga, kasus demikian tentu tidak hanya terjadi di
Sumatera. Korelasi perizinan dan politisasi ini berangkat dari pilkada yang
mahal. Akibatnya, para kandidat kepala daerah diduga melakukan setidaknya dua
hal: (1)mencari sumber dana tidak halal atau (2) mengundang investor dengan
iming-iming obral perizinan tadi. Akibatnya, begitu kepala daerah tadi
terpilih. Maka, timbul perizinan yang semrawut akibat investasi investor dalam
pilkada tadi. Bahkan, tidak hanya itu, pengalaman Sierra Leone Afrika
menunjukkan, antara pengusaha dan penguasa bersenyawa membangun shadow state network untuk mengendalikan negara. Inilah yang sering disebut
praktik “shadow governance”.[8]
Tidak ada jalan lain,
memperbaiki sengkarut perizinan harus dilakukan secara komperhensif. Seperti,
bagaimana membangun sistem pilkada berbiaya murah namun kaya konsep. Perlu
dilakukan audit demokrasi menyangkut biaya politik pilkada.[9] Dengan
begitu tidak ada lagi kepala daerah yang harus melakukan praktik “ijon” perizinan yang merusak daerahnya.
Selain itu, reformasi birokrasi berkelanjutan menjadi “harga mati”. Bila
birokrasi hanya diperbaiki renumerasi
tanpa revolusi mentalitas. Sulit rasanya keluar dari kubangan perizinan sebagai
siluman cost. Hal ini bukan agenda
mudah sebab berada di ranah psikologi dan tegaknya sistem hukum dalam koridor reward
and punishment. Tentu di dalam konteks ini pula, kelembagaan perizinan satu
atap wajib diberdayakan sehingga tidak menjadi asesoris dalam sistem perizinan.
Pada akhirnya, berbagai
tebaran pemikiran di atas bisa jadi tidak terlalu solutif. Namun, pemakalah
percaya, bila kita mampu melakukan identifikasi yang tepat terhadap peta
persoalan dan memiliki arah konseptual, maka perbaikan dapat dilakukan. Makalah
ini sekedar kontribusi kecil untuk memotret peta tadi.
[1]Sumbang Pikir Diskusi Di P4W IPB Dalam
Rangka Masukan Bagi Cawalkot Bogor Pasangan Bimar Arya-Usmar, Bogor, 15 Agustus 2013.
[2]Wakil Dekan Bidang Akademik FH
Universitas Pakuan, Pengajar Hukum Administrasi FH Universitas Pakuan, Staf
Ahli Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Senayan Jakarta dan Staf Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kota Bogor
[3]Kasus peletakan batu pertama Universitas
Bakrie di Bogor Nirwana Residence, Pen dirian Pasar Modern Cilendek Barat dan
Mc Donald Jl. Ir H Juanda di Bogor contoh aktual mendirikan bangunan sembari
izin mendirikan bangunan di urus, padahal Perda Bangunan jelas menegaskan
dilarang membangun tanpa izin. Lihat pemberitaan Radar Bogor 21 April 2011, 30
Agustus 2010, dalam situs http://www.radarbogor.com.
[4]Philipus M Hadjon menulis, instrumen
perizinan digunakan untuk (a) mengarahkan atau mengendalikan (sturen) aktivitas
tertentu; (b) mencegah bahaya yang ditimbulkan oleh aktivitas tertentu; (c)
melindungi obyek-obyek tertenutu; (d) mengatur distribusi benda langka dan (e)
seleksi orang dan/atau aktivitas tertentu, lihat Philipus M Hadjon, “Fungsi
Izin Pembatasan Hak-Hak Dasar dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik”, Ceramah
Ilmiah, Lampung 2 Mei 1995, hlm.5
[5]Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara
Peradilan Administrasi, Surabaya: Airlangga University Press, 1997, hlm.39-41
[6]R Muhammad Mihradi, “Peradilan Tata Usaha
Negara Dalam Kerangka Otonomi Daerah”, Makalah Disampaikan pada Pendidikan
dan Pelatihan Hukum Pemerintahan dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
bagi Karyawan Pemkot Bogor, diselenggarakan Pemkot Bogor bekerja sama Forum
Kajian Hukum FH Universitas Pakuan, di Balai Kota Bogor 5-8 Agustus 2003,
hlm.4.
[7]Suparto Wijoyo, Op.Cit, hlm.42.
[8]Data-data melimpah mengenai shadow governance dapat dilihat dalam
Syarif Hidayat, “Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal Governance
Practices” dalam Maribeth Erb and Priyambudi Sulistiyanto, Deepening Democracy in Indonesia:
Direct Elections for Local Leaders, Singapore: ISEAS, 2009, page
132-133. Menurut Syarif Hidayat, shadow governance berkarakter aliansi
birokrais, pimpinan partai, pengusaha, militer dan kriminal untuk mengendalikan
pemerintahan di berbagai level. Kasus India merupakan model ekstrem shadow
governance. Bahkan bila merujuk I WIbowo, malah, Multi National Corporation
seringkali turut bermain dalam berbagai kebijakan mempengaruhi negara dengan
beragam cara termasuk suap. (model ini mengingatkan dugaan korupsi SKK Migas),
lihat I Wibowo, Negara Centeng: Negara dan Saudagar di Era Globalisasi,
Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm.105-106.
[9]Lihat R Muhammad Mihradi, “Partai Politik
Collapse”, Artikel, Harian Pelita, Selasa 26 Februari 2013.