HARIAN
PELITA
Partai Politik “Collapse”
Selasa, 26 Februari 2013
Oleh R Muhammad Mihradi
Penetapan Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, sebagai tersangka
oleh KPK merupakan antiklimaks citra negatif partai politik dimata
publik.Sebelumnya, publik sudah dikejutkan dengan Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden
Partai Keadilan Sejahtera,partai yang digadang-gadang bersih. Luthfi
dinyatakan tersangka oleh lembaga yang sama pada kasus impor sapi. Fakta buruk ini hanya menambah daftar pesakitan kader partai yang terjebak korupsi.
dinyatakan tersangka oleh lembaga yang sama pada kasus impor sapi. Fakta buruk ini hanya menambah daftar pesakitan kader partai yang terjebak korupsi.
SEBUTLAH
antara lain Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Andi Alfian
Mallarangeng (Partai Demokrat), Wa Ode Nurhayati
(Partai Amanat Nasional), Zulkarnaen Djabar (Partai
Golkar), dan Emir Moeis (PDI
Perjuangan). Ironisnya, partai politik merupakan pilar demokrasi. Bima Arya Sugiarto (Anti Partai, 2010) menulis betapa pentingnya partai politik sebagai bentuk pelembagaan politik dalam demokrasi. Sebab, perluasan partisipasi politik tanpa pelembagaan hanya berbuah pembusukan politik (political decay). Tragisnya, pelembagaan politik inilah titik terlemah demokrasi kita yang semakin menampakkan wajah bopeng.Bisa jadi, kita tengah mengalami ritual demokrasi bandit. Demokrasi yang diisi para bandit, menjarah sana-sini dengan sangat sadis. Memanfaatkan kuasa publik yang jatuh padanya melalui pemilu. Dalam perspektif I Wibowo (Negara dan Bandit Demokrasi, 2011), demokrasi bandit menggila di tubuh ketidaksempurnaan sistem demokrasi. Demokrasi berinduk pada sistem tidak stabil karena meniscayakan rotasi rutin kekuasaan yang pendek usia. Dampaknya, siapapun yang terpilih di kekuasaan, ia akan mengoptimalkan penjarahan.
Perjuangan). Ironisnya, partai politik merupakan pilar demokrasi. Bima Arya Sugiarto (Anti Partai, 2010) menulis betapa pentingnya partai politik sebagai bentuk pelembagaan politik dalam demokrasi. Sebab, perluasan partisipasi politik tanpa pelembagaan hanya berbuah pembusukan politik (political decay). Tragisnya, pelembagaan politik inilah titik terlemah demokrasi kita yang semakin menampakkan wajah bopeng.Bisa jadi, kita tengah mengalami ritual demokrasi bandit. Demokrasi yang diisi para bandit, menjarah sana-sini dengan sangat sadis. Memanfaatkan kuasa publik yang jatuh padanya melalui pemilu. Dalam perspektif I Wibowo (Negara dan Bandit Demokrasi, 2011), demokrasi bandit menggila di tubuh ketidaksempurnaan sistem demokrasi. Demokrasi berinduk pada sistem tidak stabil karena meniscayakan rotasi rutin kekuasaan yang pendek usia. Dampaknya, siapapun yang terpilih di kekuasaan, ia akan mengoptimalkan penjarahan.
Konstitusionalitas Partai
Tidak ada yang membantah betapa
strategis peran penting partai politik. Secara konstitusionalitas,
Pasal 28 UUD 1945 tegas menjamin kebebasan
berserikat. Ini bermakna pula kebebasan mendirikan partai.
Begitu juga UUNomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik begitu memuliakan
parpol. Betapa tidak pada Pasal 10 ayat (2) huruf c UU Partai, salah
satu tujuan partai adalah “membangun etika dan
budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara”. Begitu luhur tujuan tadi, sampai
sulit diraih dalam realitas.
Dengan bangun dasar konstitusionalitas di atas, pikiran-pikiran anti partai dan
ingin membubarkan partai nyaris tidak mendapat tempat.
Dengan bangun dasar konstitusionalitas di atas, pikiran-pikiran anti partai dan
ingin membubarkan partai nyaris tidak mendapat tempat.
Meskipun
Mahkamah Konstitusi, berdasarkan Pasal 24 C UUD
1945 dan UU Partai, memiliki kewenangan membubarkan partai bila melanggar Konstitusi dan UU Partai. Namun, rasanya itu pun tidak mudah. Sebab, selain menyangkut rumitnya konstruksi yuridis, MK dipastikan tidak gegabah dalam memutus mengingat dampaknya bagi kesinambungan demokrasi.
1945 dan UU Partai, memiliki kewenangan membubarkan partai bila melanggar Konstitusi dan UU Partai. Namun, rasanya itu pun tidak mudah. Sebab, selain menyangkut rumitnya konstruksi yuridis, MK dipastikan tidak gegabah dalam memutus mengingat dampaknya bagi kesinambungan demokrasi.
Skenario Penyelamatan
MUDAH diduga, publik sangat muak
dan marah atas maraknya korupsi kader
partai. Bagi publik, korupsi partai telah mencoreng demokrasi dan nilai luhur kebangsaan. Tak banyak skenario tersedia untuk menyelamatkan demokrasi dari korupsi. Dalam pandangan penulis,ada tiga skenario yang wajib ditempuh. Pertama, memastikan hukum berjalan di atas bantal asas keadilan, kepastian, ketertiban dan nilai-nilai hukum itu sendiri. Bukan balas dendam, titipan
atau sinyal dari langit. Dalam konteks ini, penegak hukum harus bisa meyakinkan dan membuktikan pada publik,hukum otentik di atas asas tadi. Penanganan bocornya Sprindik KPK pada kasus Anas menjadi batu uji atas tegaknya hukum otentik tadi. Kedua, melakukan audit demokrasi
secara mendasar, seperti mengamputasi mahalnya biaya politik dalam pemilu.
Menyederhanakan partai sesuai desain sistem presidensial. Mendorong transparansi dan kemandirian finansial partai. Semua tindakan ini harus dilakukan secara tepat, terukur, dan menghujam ke jantung permasalahan. Ketiga, memperbaiki sistem kepartaian dengan lebih mendekatkan partai pada
konstituen. Suara publik harus diperhatikan. Generasi muda yang berkualitas
dan bebas dari korupsi perlu diprioritas-kan di posisi strategis partai. Di sisi lain,
tokoh-tokoh senior partai sudah waktunya mendorong generasi baru untuk muncul ke depan. Dengan begitu, publik tidak lagi disodori muka-muka lama dengan kapasitas dan kualitas yang sudah diketahui rekam jejaknya di masa lalu. Tiga hal di atas bukan resep mujarab sekali sembuh. Namun, rasa-rasanya tidak ada jalan lain. Anti partai sudah begitu kuat. Elektabilitas parta-partai besar yang tersandung korupsi dipastikan makin menurun. Golput bisa
jadi menguat. Tidak ada jalan lain kecuali melakukan pembenahan selagi bisa.
Dengan begitu demokrasi bisa diselamat-kan. (Penulis adalah Staf Ahli Komite
III DPD RI dan Dosen FH Universitas Pakuan Bogor)
partai. Bagi publik, korupsi partai telah mencoreng demokrasi dan nilai luhur kebangsaan. Tak banyak skenario tersedia untuk menyelamatkan demokrasi dari korupsi. Dalam pandangan penulis,ada tiga skenario yang wajib ditempuh. Pertama, memastikan hukum berjalan di atas bantal asas keadilan, kepastian, ketertiban dan nilai-nilai hukum itu sendiri. Bukan balas dendam, titipan
atau sinyal dari langit. Dalam konteks ini, penegak hukum harus bisa meyakinkan dan membuktikan pada publik,hukum otentik di atas asas tadi. Penanganan bocornya Sprindik KPK pada kasus Anas menjadi batu uji atas tegaknya hukum otentik tadi. Kedua, melakukan audit demokrasi
secara mendasar, seperti mengamputasi mahalnya biaya politik dalam pemilu.
Menyederhanakan partai sesuai desain sistem presidensial. Mendorong transparansi dan kemandirian finansial partai. Semua tindakan ini harus dilakukan secara tepat, terukur, dan menghujam ke jantung permasalahan. Ketiga, memperbaiki sistem kepartaian dengan lebih mendekatkan partai pada
konstituen. Suara publik harus diperhatikan. Generasi muda yang berkualitas
dan bebas dari korupsi perlu diprioritas-kan di posisi strategis partai. Di sisi lain,
tokoh-tokoh senior partai sudah waktunya mendorong generasi baru untuk muncul ke depan. Dengan begitu, publik tidak lagi disodori muka-muka lama dengan kapasitas dan kualitas yang sudah diketahui rekam jejaknya di masa lalu. Tiga hal di atas bukan resep mujarab sekali sembuh. Namun, rasa-rasanya tidak ada jalan lain. Anti partai sudah begitu kuat. Elektabilitas parta-partai besar yang tersandung korupsi dipastikan makin menurun. Golput bisa
jadi menguat. Tidak ada jalan lain kecuali melakukan pembenahan selagi bisa.
Dengan begitu demokrasi bisa diselamat-kan. (Penulis adalah Staf Ahli Komite
III DPD RI dan Dosen FH Universitas Pakuan Bogor)