Rabu, 06 Maret 2013


HARIAN PELITA
Partai Politik “Collapse
Selasa, 26 Februari 2013  
Oleh R Muhammad Mihradi
Penetapan  Anas  Urbaningrum,  Ketua Umum Partai Demokrat, sebagai tersangka oleh KPK merupakan antiklimaks citra negatif partai politik dimata publik.Sebelumnya, publik sudah dikejutkan dengan Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden Partai Keadilan Sejahtera,partai yang digadang-gadang bersih. Luthfi
dinyatakan tersangka oleh lembaga yang sama pada kasus impor sapi. Fakta buruk ini hanya menambah daftar pesakitan kader partai yang terjebak korupsi.
SEBUTLAH  antara  lain  Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Andi Alfian Mallarangeng (Partai  Demokrat),  Wa  Ode  Nurhayati  (Partai  Amanat  Nasional),  Zulkarnaen  Djabar (Partai Golkar), dan Emir Moeis (PDI
Perjuangan). Ironisnya, partai politik merupakan pilar  demokrasi.  Bima  Arya  Sugiarto (Anti Partai,  2010)  menulis  betapa  pentingnya partai politik sebagai bentuk pelembagaan  politik  dalam  demokrasi.  Sebab,  perluasan  partisipasi  politik tanpa pelembagaan  hanya  berbuah  pembusukan  politik  (political  decay).  Tragisnya, pelembagaan politik inilah titik terlemah demokrasi kita yang semakin menampakkan wajah bopeng.Bisa jadi, kita tengah mengalami ritual demokrasi bandit. Demokrasi yang diisi para bandit, menjarah sana-sini dengan sangat sadis. Memanfaatkan kuasa  publik  yang  jatuh  padanya  melalui  pemilu. Dalam perspektif I Wibowo (Negara dan  Bandit  Demokrasi,  2011), demokrasi bandit menggila di tubuh ketidaksempurnaan sistem demokrasi.  Demokrasi berinduk  pada  sistem  tidak  stabil  karena meniscayakan rotasi rutin kekuasaan yang pendek usia. Dampaknya,  siapapun yang terpilih di kekuasaan, ia akan mengoptimalkan penjarahan.
Konstitusionalitas Partai
Tidak ada yang membantah betapa strategis peran penting partai politik.       Secara konstitusionalitas,  Pasal 28 UUD 1945  tegas  menjamin  kebebasan  berserikat. Ini  bermakna pula kebebasan mendirikan partai. Begitu juga UUNomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik begitu memuliakan parpol. Betapa tidak pada Pasal 10 ayat (2) huruf c UU Partai, salah satu tujuan partai adalah “membangun etika  dan  budaya  politik  dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.  Begitu  luhur  tujuan  tadi,  sampai sulit diraih dalam realitas.
Dengan bangun dasar konstitusionalitas di atas, pikiran-pikiran anti partai dan
ingin membubarkan partai nyaris tidak mendapat tempat.              
Meskipun Mahkamah Konstitusi, berdasarkan Pasal 24 C UUD
1945 dan UU Partai, memiliki kewenangan  membubarkan  partai  bila  melanggar Konstitusi dan UU Partai. Namun, rasanya  itu  pun  tidak  mudah. Sebab, selain  menyangkut  rumitnya  konstruksi  yuridis,  MK dipastikan  tidak  gegabah dalam  memutus mengingat dampaknya bagi kesinambungan demokrasi.

Skenario Penyelamatan
MUDAH diduga, publik sangat muak dan marah atas maraknya korupsi kader
partai. Bagi publik, korupsi partai telah mencoreng demokrasi dan nilai luhur kebangsaan. Tak banyak skenario tersedia untuk menyelamatkan demokrasi dari  korupsi. Dalam pandangan penulis,ada tiga skenario yang wajib ditempuh. Pertama, memastikan  hukum  berjalan di atas bantal asas keadilan, kepastian,  ketertiban  dan  nilai-nilai  hukum itu sendiri. Bukan balas dendam, titipan
atau sinyal dari langit. Dalam konteks ini,  penegak  hukum  harus  bisa  meyakinkan dan membuktikan pada publik,hukum otentik di atas asas tadi.  Penanganan  bocornya  Sprindik  KPK  pada  kasus Anas menjadi batu uji atas tegaknya hukum otentik tadi. Kedua,  melakukan  audit  demokrasi
secara  mendasar,  seperti  mengamputasi mahalnya biaya politik dalam pemilu.
Menyederhanakan partai sesuai desain sistem presidensial. Mendorong transparansi dan kemandirian finansial partai. Semua tindakan ini harus dilakukan secara tepat, terukur, dan menghujam ke jantung permasalahan. Ketiga, memperbaiki sistem kepartaian dengan  lebih  mendekatkan  partai  pada
konstituen. Suara publik harus diperhatikan.  Generasi  muda  yang  berkualitas
dan bebas dari korupsi perlu diprioritas-kan di posisi strategis partai. Di sisi lain,
tokoh-tokoh senior partai sudah waktunya mendorong generasi baru untuk muncul  ke  depan.  Dengan  begitu,  publik  tidak lagi disodori muka-muka lama dengan kapasitas dan kualitas yang sudah diketahui rekam jejaknya di masa lalu. Tiga  hal  di  atas  bukan  resep  mujarab  sekali  sembuh.  Namun,  rasa-rasanya  tidak  ada  jalan  lain.  Anti partai  sudah begitu kuat. Elektabilitas parta-partai  besar  yang  tersandung  korupsi  dipastikan  makin  menurun.  Golput  bisa
jadi  menguat.  Tidak  ada  jalan  lain  kecuali melakukan pembenahan selagi bisa.
Dengan begitu demokrasi bisa diselamat-kan. (Penulis adalah Staf Ahli Komite
III  DPD  RI  dan  Dosen  FH  Universitas Pakuan Bogor)

Tidak ada komentar: