Oleh R Muhammad Mihradi
Dimuat 16 Agustus 2013 di Pelita Online
OPERASI tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) kembali mengejutkan. Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini terkena
dugaan suap (gratifikasi) dan ditahan oleh KPK. Dalam OTT tersebut, KPK menyita
ratusan ribu uang dollar dan moge merek BMW.
Menyeramkan fakta di
atas. Kasus gratifikasi Kepala SKK Migas menambah deretan luka korupsi, tidak
hanya menyentuh eksponen parpol besar, anggota parlemen dan aparatur penegak
hukum. Namun, sektor birokrasi migas-pun terkena pula. Tragisnya, sektor migas
merupakan andalan pendapatan negara kedua setelah pajak.
Kasus-kasus korupsi
semakin menampilkan wajah busuk pengelola dan pengelolaan republik ini. Korupsi
mengganas di semua sektor. Dan ironisnya, hal ini terjadi di tengah upaya
bangsa melembagakan demokrasi. Suatu sistem pemerintahan yang justru dibangun
untuk melawan korupsi. Menjadi paradoks sekaligus anomali bila korupsi subur di
negara demokrasi. Demokrasi disandera korupsi.
Asumsi
Demokrasi sering
dikatakan pilihan terbaik diantara terburuk yang sudah teruji diberbagai
negara. Sebab, demokrasi tidak sekedar dimaknai rakyat berdaulat. Melainkan
suatu sistem yang didalamnya telah mengakomodasi partisipasi, akuntabilitas dan
transparansi dalam pengelolaan negara sebagai satu denyut nafas karakter
demokrasi. Semua dibalut cermat dalam koridor negara hukum. Dengan begitu,
logikanya, korupsi seharusnya tidak “betah” di sistem demokrasi. Karena,
transparansi adalah musuh terbesar korupsi.
Sayangnya, logika
demokrasi di atas tidak terjadi dalam kasus Indonesia. Demokrasi ala kita
rupanya mengarah pada praktik pelembagaan kebebasan yang nihilistik, kebebasan
yang akan berujung pada malapetaka. Sebab, bangsa ini sebagai subyek dalam
demokrasi baru menikmati kebebasan tanpa menyadari bahwa kebebasan menuntut
pertanggungjawaban. Kebebasan berada di ranah---istilah filsuf
Zizek—“masyarakat risiko” yang bila kebebasan tidak diikuti kesadaran konsekuensinya,
maka akan membahayakan masyarakat itu sendiri (Robertus Robert, Manusia Politik,2010:35). Sinyal ini
nampak jelas dari tumbuh mekarnya radikalisme, kekerasan bahkan anti toleransi pada
sebagian masyarakat dengan memanfaatkan dan atas nama kebebasan berekspresi.
Padahal kebebasan demikian justru menghancurkan sendi kebebasan hakiki. Dengan
kata lain, kebebasan yang tidak teredukasi akan mematikan kebebasan itu
sendiri.
Boleh jadi, kita
terjebak demokrasi prosedural. Sebatas berpendapat bebas, pemilu dan pers
bebas. Belum menukik substansi. Misalnya, bagaimana transparansi digunakan sebagai
indikator memastikan pemilu bersih. Kasus penolakan partai demokrat (sebagai
bagian dari pilar demokrasi) terhadap permintaan Indonesian Corruption Watch
(ICW) dalam membuka laporan keuangan partainya setelah putusan adjudikasi
Komisi Informasi menunjukkan anomali demokrasi ala prosedural (Donal Fariz, Sengketa Keuangan Parpol, Kompas
14/8/2013:6).
Masa Depan
Kondisi demokrasi
disandera korupsi harus diubah. Tidak ada jalan lain, demokrasi mesti
dibebaskan dari korupsi. Caranya dengan memastikan seluruh instrumen demokrasi,
baik prosedural maupun substansial serta negara hukum melembaga secara otentik.
Pemilu---misalnya---sebagai arena demokrasi yang mendasar harus dipastikan
terkelola sesuai konsep demokrasi. Profil peserta pemilu, baik keuangan, rekam
jejak dan kredibilitasnya, harus dapat diakses publik. Demikian pula birokrasi
harus dipaksa untuk transparan sekaligus mengubah mental menuju service public excellent. Zona zero
toleransi terhadap korupsi menjadi kunci reformasi birokrasi. Ini diawali dari
rekrutmen birokrasi yang profesional, transparan dan akuntabel. Jauh dari
politik partisan.
Selain hal di atas,
peran publik kritis teredukasi wajib dioptimalkan. Pelibatan publik menjerakan
koruptor secara sosial merupakan keniscayaan. Seorang koruptor atau mantan
koruptor jangan diberi kesempatan lagi oleh publik untuk dipilih dalam pemilu.
Dengan begitu, kanker korupsi dapat diamputasi melalui efek jera secara sosial.
Kekuatan kolektivitas dan kebersamaan publik dapat mengembalikan demokrasi
sebagai alat perjuangan melawan korupsi. Bukan sebaliknya.
Penulis adalah Staf
Ahli Komite III Dewan Perwakilan Daerah RI dan Dosen Fakultas Hukum Universitas
Pakuan, Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar