Selasa, 20 Agustus 2013

Demokrasi Disantra Korupsi




Oleh R Muhammad Mihradi
Dimuat 16 Agustus 2013 di Pelita Online

OPERASI tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengejutkan. Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini terkena dugaan suap (gratifikasi) dan ditahan oleh KPK. Dalam OTT tersebut, KPK menyita ratusan ribu uang dollar dan moge merek BMW.
Menyeramkan fakta di atas. Kasus gratifikasi Kepala SKK Migas menambah deretan luka korupsi, tidak hanya menyentuh eksponen parpol besar, anggota parlemen dan aparatur penegak hukum. Namun, sektor birokrasi migas-pun terkena pula. Tragisnya, sektor migas merupakan andalan pendapatan negara kedua setelah pajak.
Kasus-kasus korupsi semakin menampilkan wajah busuk pengelola dan pengelolaan republik ini. Korupsi mengganas di semua sektor. Dan ironisnya, hal ini terjadi di tengah upaya bangsa melembagakan demokrasi. Suatu sistem pemerintahan yang justru dibangun untuk melawan korupsi. Menjadi paradoks sekaligus anomali bila korupsi subur di negara demokrasi. Demokrasi disandera korupsi.
Asumsi
Demokrasi sering dikatakan pilihan terbaik diantara terburuk yang sudah teruji diberbagai negara. Sebab, demokrasi tidak sekedar dimaknai rakyat berdaulat. Melainkan suatu sistem yang didalamnya telah mengakomodasi partisipasi, akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan negara sebagai satu denyut nafas karakter demokrasi. Semua dibalut cermat dalam koridor negara hukum. Dengan begitu, logikanya, korupsi seharusnya tidak “betah” di sistem demokrasi. Karena, transparansi adalah musuh terbesar korupsi.
Sayangnya, logika demokrasi di atas tidak terjadi dalam kasus Indonesia. Demokrasi ala kita rupanya mengarah pada praktik pelembagaan kebebasan yang nihilistik, kebebasan yang akan berujung pada malapetaka. Sebab, bangsa ini sebagai subyek dalam demokrasi baru menikmati kebebasan tanpa menyadari bahwa kebebasan menuntut pertanggungjawaban. Kebebasan berada di ranah---istilah filsuf Zizek—“masyarakat risiko” yang bila kebebasan tidak diikuti kesadaran konsekuensinya, maka akan membahayakan masyarakat itu sendiri (Robertus Robert, Manusia Politik,2010:35). Sinyal ini nampak jelas dari tumbuh mekarnya radikalisme, kekerasan bahkan anti toleransi pada sebagian masyarakat dengan memanfaatkan dan atas nama kebebasan berekspresi. Padahal kebebasan demikian justru menghancurkan sendi kebebasan hakiki. Dengan kata lain, kebebasan yang tidak teredukasi akan mematikan kebebasan itu sendiri.
Boleh jadi, kita terjebak demokrasi prosedural. Sebatas berpendapat bebas, pemilu dan pers bebas. Belum menukik substansi. Misalnya, bagaimana transparansi digunakan sebagai indikator memastikan pemilu bersih. Kasus penolakan partai demokrat (sebagai bagian dari pilar demokrasi) terhadap permintaan Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam membuka laporan keuangan partainya setelah putusan adjudikasi Komisi Informasi menunjukkan anomali demokrasi ala prosedural (Donal Fariz, Sengketa Keuangan Parpol, Kompas 14/8/2013:6).
Masa Depan
Kondisi demokrasi disandera korupsi harus diubah. Tidak ada jalan lain, demokrasi mesti dibebaskan dari korupsi. Caranya dengan memastikan seluruh instrumen demokrasi, baik prosedural maupun substansial serta negara hukum melembaga secara otentik. Pemilu---misalnya---sebagai arena demokrasi yang mendasar harus dipastikan terkelola sesuai konsep demokrasi. Profil peserta pemilu, baik keuangan, rekam jejak dan kredibilitasnya, harus dapat diakses publik. Demikian pula birokrasi harus dipaksa untuk transparan sekaligus mengubah mental menuju service public excellent. Zona zero toleransi terhadap korupsi menjadi kunci reformasi birokrasi. Ini diawali dari rekrutmen birokrasi yang profesional, transparan dan akuntabel. Jauh dari politik partisan.
Selain hal di atas, peran publik kritis teredukasi wajib dioptimalkan. Pelibatan publik menjerakan koruptor secara sosial merupakan keniscayaan. Seorang koruptor atau mantan koruptor jangan diberi kesempatan lagi oleh publik untuk dipilih dalam pemilu. Dengan begitu, kanker korupsi dapat diamputasi melalui efek jera secara sosial. Kekuatan kolektivitas dan kebersamaan publik dapat mengembalikan demokrasi sebagai alat perjuangan melawan korupsi. Bukan sebaliknya.
Penulis adalah Staf Ahli Komite III Dewan Perwakilan Daerah RI dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor


Tidak ada komentar: