Selasa, 20 Agustus 2013

Kolom Makalah Perizinan



SENGKARUT PERIZINAN KOTA BOGOR[1]
Oleh R Muhammad Mihradi[2]


MEMPRIHATINKAN, satu kata untuk melukiskan perizinan di Kota Bogor. Pertama, publik di Bogor mendapat kesan kuat, perizinan seringkali tidak memiliki kompatibel kuat dengan penataan ruang yang mampu mewadahi ruang publik dan karakter budaya. Kasus kontroversi Hotel Amarosa merupakan contohnya. Kedua, keluhan memproses perizinan berbelit-belit seringkali terungkap di media lokal. Dampaknya, kultur jalan pintas kerap terjadi. Di didirikan dulu bangunannya, izin menyusul.[3] Ketiga, adanya kecenderungan (tren) menggunakan instrumen izin sebagai alat pemasukan ekonomi untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal, hakikat izin adalah pengendalian aktivitas masyarakat agar terkelola ketertiban dan kenyamanan.[4]
***
Secara konseptual, perizinan merupakan wewenang publik dari pemerintah (bestuurs) untuk mengatur (sturen) dan menata pemerintahan dalam kerangka melayani publik secara optimal. Perizinan sebagai tindakan pemerintahan (bestuurs handeling) harus pula dilandaskan pada prinsip-prinsip negara hukum (rechtsstaat), prinsip-prinsip demokrasi dan sesuai konsep dasar yang dikenal dalam hukum administrasi, maka mengakomodasi pula prinsip instrumental. Prinsip negara hukum misalnya, menghendaki adanya skema kekuasaan pemerintah yang bersifat aktif di mana dimensi kontinyuitas menjadi karakternya. Seperti kekuasaan pemerintahan dalam menerbitkan izin mendirikan bangunan tidak berhenti dengan terbitnya izin mendirikan bangunan. Melainkan senantiasa mengawasi agar izin tadi digunakan dan ditaati. Bila tidak sesuai maka pemerintah akan menggunakan kekuasaan penegak hukum berupa penertiban. Prinsip umum negara hukum itu sendiri menginginkan adanya implementasi dari empat ciri khasnya yakni (a) adanya asas legalitas dalam pelaksanaan pemerintahan; (b) perlindungan hak-hak dasar (grondrechten); (c) pembagian kekuasaan di bidang pemerintahan dan (d) pengawasan oleh pengadilan.[5]
Prinsip atau asas demokrasi berkenaan dengan prosedur dan substansi dalam penyelenggaraan pemerintahan, termasuk perizinan, baik berupa pengambilan keputusan maupun berupa perbuatan-perbuatan nyata.  Salah satu kriterianya adanya keterbukaan dan peran serta (inspraak) publik dalam pengambilan keputusan. Pengalaman Belanda melalui Algemene Wet Bestuursrecht (UU Hukum Administrasi Umum) pada Pasal 3:11 (3.4.2) mewajibkan “organ pemerintahan untuk memberikan kesempatan melihat (inzage) dalam jangka waktu sekurang-kurangnya empat minggu dan memberikan kesempatan mengemukakan pendapat bagi pihak-pihak yang akan terkena suatu keputusan pemerintah”. Jadi, ketentuan ini memberikan dasar bagi masyarakat berpartisipasi baik aktif maupun pasif sekaligus mendorong pemerintah membuka ruang bagi publik mengkritisi kebijakannya.[6] Sedangkan prinsip atau asas instrumental menekankan pencapaian tujuan pemerintahan harus memastikan agar asas efisiensi dan efektivitas diadopsi secara memadai.[7]
***

Paparan konsep perizinan di atas adalah idealisasi dan teoritis yang sepatutnya menjadi arah dan pencerah pada proses penyelenggaraan pemerintahan. Namun, praktiknya tidak demikian. Ada aroma politisasi dalam perizinan. Kompas, 18 April 2012 menurunkan berita bahwa kasus Hutan Sumatera ternyata menjadi ajang obral perizinan. Penulis menduga, kasus demikian tentu tidak hanya terjadi di Sumatera. Korelasi perizinan dan politisasi ini berangkat dari pilkada yang mahal. Akibatnya, para kandidat kepala daerah diduga melakukan setidaknya dua hal: (1)mencari sumber dana tidak halal atau (2) mengundang investor dengan iming-iming obral perizinan tadi. Akibatnya, begitu kepala daerah tadi terpilih. Maka, timbul perizinan yang semrawut akibat investasi investor dalam pilkada tadi. Bahkan, tidak hanya itu, pengalaman Sierra Leone Afrika menunjukkan, antara pengusaha dan penguasa bersenyawa membangun shadow state network untuk mengendalikan negara. Inilah yang sering disebut praktik “shadow governance”.[8]
Tidak ada jalan lain, memperbaiki sengkarut perizinan harus dilakukan secara komperhensif. Seperti, bagaimana membangun sistem pilkada berbiaya murah namun kaya konsep. Perlu dilakukan audit demokrasi menyangkut biaya politik pilkada.[9] Dengan begitu tidak ada lagi kepala daerah yang harus melakukan praktik “ijon” perizinan yang merusak daerahnya. Selain itu, reformasi birokrasi berkelanjutan menjadi “harga mati”. Bila birokrasi hanya  diperbaiki renumerasi tanpa revolusi mentalitas. Sulit rasanya keluar dari kubangan perizinan sebagai siluman cost. Hal ini bukan agenda mudah sebab berada di ranah psikologi dan tegaknya sistem hukum dalam koridor reward and punishment. Tentu di dalam konteks ini pula, kelembagaan perizinan satu atap wajib diberdayakan sehingga tidak menjadi asesoris dalam sistem perizinan.
Pada akhirnya, berbagai tebaran pemikiran di atas bisa jadi tidak terlalu solutif. Namun, pemakalah percaya, bila kita mampu melakukan identifikasi yang tepat terhadap peta persoalan dan memiliki arah konseptual, maka perbaikan dapat dilakukan. Makalah ini sekedar kontribusi kecil untuk memotret peta tadi.


[1]Sumbang Pikir Diskusi Di P4W IPB Dalam Rangka Masukan Bagi Cawalkot Bogor Pasangan Bimar Arya-Usmar,  Bogor, 15 Agustus 2013.
[2]Wakil Dekan Bidang Akademik FH Universitas Pakuan, Pengajar Hukum Administrasi FH Universitas Pakuan, Staf Ahli Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Senayan Jakarta dan Staf  Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor
[3]Kasus peletakan batu pertama Universitas Bakrie di Bogor Nirwana Residence, Pen dirian Pasar Modern Cilendek Barat dan Mc Donald Jl. Ir H Juanda di Bogor contoh aktual mendirikan bangunan sembari izin mendirikan bangunan di urus, padahal Perda Bangunan jelas menegaskan dilarang membangun tanpa izin. Lihat pemberitaan Radar Bogor 21 April 2011, 30 Agustus 2010, dalam situs http://www.radarbogor.com.
[4]Philipus M Hadjon menulis, instrumen perizinan digunakan untuk (a) mengarahkan atau mengendalikan (sturen) aktivitas tertentu; (b) mencegah bahaya yang ditimbulkan oleh aktivitas tertentu; (c) melindungi obyek-obyek tertenutu; (d) mengatur distribusi benda langka dan (e) seleksi orang dan/atau aktivitas tertentu, lihat Philipus M Hadjon, “Fungsi Izin Pembatasan Hak-Hak Dasar dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik”, Ceramah Ilmiah, Lampung 2 Mei 1995, hlm.5
[5]Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Surabaya: Airlangga University  Press, 1997, hlm.39-41
[6]R Muhammad Mihradi, “Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Kerangka Otonomi Daerah”, Makalah Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Hukum Pemerintahan dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara bagi Karyawan Pemkot Bogor, diselenggarakan Pemkot Bogor bekerja sama Forum Kajian Hukum FH Universitas Pakuan, di Balai Kota Bogor 5-8 Agustus 2003, hlm.4.
[7]Suparto Wijoyo, Op.Cit, hlm.42.
[8]Data-data melimpah mengenai shadow governance dapat dilihat dalam Syarif Hidayat, “Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal Governance Practices” dalam Maribeth Erb and Priyambudi Sulistiyanto, Deepening Democracy in Indonesia: Direct Elections for Local Leaders, Singapore: ISEAS, 2009, page 132-133. Menurut Syarif Hidayat, shadow governance berkarakter aliansi birokrais, pimpinan partai, pengusaha, militer dan kriminal untuk mengendalikan pemerintahan di berbagai level. Kasus India merupakan model ekstrem shadow governance. Bahkan bila merujuk I WIbowo, malah, Multi National Corporation seringkali turut bermain dalam berbagai kebijakan mempengaruhi negara dengan beragam cara termasuk suap. (model ini mengingatkan dugaan korupsi SKK Migas), lihat I Wibowo, Negara Centeng: Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm.105-106.
[9]Lihat R Muhammad Mihradi, “Partai Politik Collapse”, Artikel, Harian Pelita, Selasa 26 Februari 2013.

1 komentar:

Ste De Montesquieu mengatakan...

betul pak, terlepas dari proses izin dan indikasi "politik" terkadang masyarakat pun tidak tahu tentang Perencanaan tata ruang baik dari tingkat wilayah nasional sampai kota, padahal perencanaan tata ruang tersebut ada yang dalam jangka panjang atau pendek dan golongan - golongan zona .. berangkat dari situ UU tata ruang no 26/2007 sudah dimasukannya aspek pidana bagi perangkat pemerintah dan pengusaha yang telah menyalahi aturan tsb ... bisa dilihat kedepannya apakah UU ini efektif atau hanya lembaran - lembaran kertas yang tidak berguna