Selasa, 30 Desember 2008

Merenung Menuju 2009

2008 bila kita bermusahabah (mengevaluasi diri) pasti hidup penuh dinamika. Ada luka-suka. Ada cemas juga malas. Namun, 2008 ditutup datangnya zionis zalim Israel yang dengan mudah mematahkan kodrati kemanusiaan sebagai insan beradab. Palestina luka.
Luka serupa dalam kapasitas berbeda juga dialami PKL Jakarta. Ditertibkan dan dipaksa jika masih mau usaha di Blok M Square dengan ongkos sewa mahal.
Semua luka. Akses keadilan gelap.
Tapi, karena kita punya harapan. Karena Illahi menengok pada pihak termarjinal. Karena iman itu lebih mahal dari segalanya, maka doa dahsyat kita dengan kuat dihunjam, MOGA 2009 LEBIH BAIK DARI INI SEMUA.
Luka bertumbuh mekar dan berharap berubah menjadi suka. Seperti sukanya anak muda bertemu pasangan dicintanya. Seperti bahagianya Rabiah Al Adawiyah merindukan KekasihNya, Allah Taala, seperti tangis kita bersimpuh disajadah menyesali dosa yang kelewat banyak.
Allah Yang Tahu atas misteri di ruang gelap batin kita yang paling kelam dan terpojok sana. Wallahualam bis sawab

Minggu, 07 Desember 2008

Potensi PAD Bogor

Kemarin, Prof. Edi Mulyadi di depan DPRD Kota Bogor menggelontorkan gagasan bahwa PAD Bogor masih bisa didonkrak. Baginya, harusnya, kemacetan menjadi berkah bagi bogor. Sebab, dari parkir saja sudah berapa rupiah yang dapat ditangguk. Belum jika kebon raya dapatdirebut dari LIPI ke Pemda Bogor. Belum lagi, jumlah SPBU yang belum tentu laporan pajaknya benar-benar otentik karena harus diakurkan dengan D.O-nya yang dipesan dari pertamina.
Bahkan, yang lebih menarik dari pemikiran beliau, PKL jika dibuat tertib, diberi kios dan kemudahan, maka dengan retribusinya bisa melahirkan omzet PAD berlipat.
Sayang, nampaknya konservatisme masih menjamur. Kalangan dewan mengeluh, PAD bogor segitu-gitunya terus. Bagi saya, kita butuh terobosan agar PAD Bogor meningkat--kotanya yang saya maksud, dan diawasi penggunaannya untuk kepentingan publik yang luas.

Usaha Kecil dan Menengah

Pada 3 Desember lalu, saya mengikuti seminar tentang penerapan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN. Salah satu pembicara adalah dari departemen koperasi dan usaha kecil dan menengah, kalau tidak salah, pak priambodo namanya.
Ada hal menarik. (1) Usaha Kecil Menengah (UKM) secara statistik merupakan usaha yang mencapai hampir 90 persen dari total usaha yang ada di Indonesia. (2) asumsi statistik ini makin menarik ketika dalam praktik, UKM, seperti pedagang kaki lima (PKL) justru malah diberantas dimana-mana dengan alasan ketertiban tanpa disediakan alternatif untuk berdagang layak. Kita justru terlalu "mengabdi" pada 10 persen usaha besar yang kini sebagian besar nafasnya menanti ajal akibat serangan krisis finansial global. (3) tanpa disadari, pemda di seluruh Indonesia umumnya "khilaf" bahwa PKL tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika ia ditata, diberi kios layak dengan harga terjangkau lalu dikenakan retribusi, dijamin, mereka adalah potensi penghasilan asli daerah (PAD) yang paling dahsyat...melebihi mall-mall dan supermarket yang seringkali pandai memanipulasi pajak. (4) Keberpihakan memang mulai terasa dengan berbagai program pemberdayaan UKM seperti PNPM, PKBL, kredit lunak dan sebagainya tapi itu akan kontraprestasi dengan praktik pemberantasan PKL di atas. (4) manajemen kalbu yang arif dan sensitif terhadap masalah publik kiranya kunci sukses dari pemimpin yang ingin membangun kotanya tidak sekedar hanya "pekerjaan rutin" tanpa inovasi.
Dahsyat....andai semua bisa dibangun dengan mantra sim sala bim saja. Tapi, memang hidup adalah perjuangan....

Jumat, 21 November 2008

Corporate Social Responsibility dan BUMN

Terbitnya UU No.40 Thn 2007 tentang PT, membawa paradigma perubahan pengelolaan perusahaan. Salah satunya, di Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 tentang PT (selanjutnya disingkat UUPT 2007) terdapat kewajiban bagi PT yang mengelola sumber daya alam maka diwajibkan melakukan program model Corporate Social Responsilibilty (CSR) yang disebut tanggung jawab sosial dan lingkungan. Ketentuan ini memberikan sanksi bagi pelanggarnya dan program CSR harus dianggarkan dari komponen biaya perusahaan. Adapun teknisnya diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah (PP).
Timbul problem, bagaimana ketentuan UUPT 2007 diterapkan pada badan usaha milik negara (BUMN). Sebab, selama ini, sesuai dengan pelbagai ketentuan di BUMN, mulai dari UU No.19 Tahun 2003 hingga Permeneg BUMN No.05/2007, terdapat kebijakan untuk BUMN PT agar melakukan program kemitraan dan bina lingkungan yang anggarannya dikenakan dari laba perusahaan. Apakah program kemitraan dan bina lingkungan dapat dikategorisasikan ke dalam CSR.
Bagi penulis, meskipun ada perbedaan pengaturan dan sedikit konsepsi mengenai CSR dan program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL) di BUMN berbentuk PT, namun filosofinya terdapat kesamaan yakni adanya komitmen dan tanggung jawab sosial dari entitas bisnis PT untuk peduli pada masyarakat dan lingkungan hidup. Dengan begitu, seharusnya tidak menjadi problem yuridis, artinya BUMN yang berbentuk PT dapat tetap mempertahankan PKBL yang dapat diasosiasikan dengan CSR.
Terlepas dari pergumulan di atas, namun terdapat progresitivitas di dalam konsepsi pengelolaan PT yang tidak hanya berorientasi pada profit semata namun juga diberi tanggung jawab sosial untuk membangun dimensi kemasyarakatan dan lingkungan melalui serangkaian kegiatan konkrit dan terukur. Paling tidak, terdapat strategi komperhensip di mana keberadaan perusahaan besar juga mampu memberikan manfaat pada publik sekitarnya, karena dalam konteks statistik, usaha kecil menengah yang berjumlah sekitar 78 persen dari seluruh usaha yang ada, dipastikan mendapat manfaat dari program CSR atau PKBL,

Minggu, 16 November 2008

Destinasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan

Strategi maksimalitas potensi wisata merupakan wahana berpeluang untuk menjadi andalan dalam konteks ke-indonesia-an. Indonesia kaya objek wisata. Hampir setiap daerah memiliki sesuatu yang dapat diunggulkan.
Problem epistemologinya adalah kebutuhan grand design yang benar-benar komperhensip nampak masih belum memadai. Makassar, misalnya, masih berkonsentrasi bagaimana infra struktur pendukung destinasi pariwisata dibenahi dan diperkuat. Bandara diperbagus, jalan tol dibuat baik dan dukungan lainnya.
Hal lain lagi yang mendesak dalam konteks pariwisata adalah bagaimana mendorong regulasi komperhensip agar pariwisata juga memperhatikan dimensi sustainable dan berperspektif lingkungan. Untuk itu, sebuah komitmen dan koordinasi lintas intansi untuk menguatkan hal tadi merupakan keniscayaan.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, saya pikir, merupakan institusi yang memiliki tugas berat untuk mensinergikan pelbagai instansi terkait untuk mengkontruksi pariwisataberwawasan lingkungan. Sebab, terdapat beberapa kegiatan wisata yang tidak selalu dibawah otoritasnya. Misalnya, wisata alam yang dilakukan di hutan lindung yang dibawah otoritas institusi departemen kehutanan.
Mungkin ini persoalan waktu dan manajemen. Namun, juga bisa jadi, problem intergritas dan komitmen. Lepas dari itu, ikhtiar harus dirancang agar terjadi pembangunan pariwisata yang mampu memberikan kemakmuran sekaligus turut menyelamatkan lingkungan. Pemanfaatan yang seiring dengan konservasi bisa jadi menjadi alternatifnya.

Selasa, 11 November 2008

MAKASSAR

Dari minggu 9 nopember hingga rabu 12 nopember saya mendapat kesempatan berkunjung keduakalinya ke makassar dalam rangka studi kasus dari riset di bawah konsultan yang mendapat pekerjaan dari departemen kebudayaan dan pariwisata berkenaan dengan destinasi pariwisata berwawasan lingkungan. Pertama ke makassar dalam projek advokasi legislasi partisipatif sambil bulan madu...hehehe (sembari mengerjakan projek satu pulau terlampaui). Kali ini, sambil riset, juga tour ke objek wisata dan mengkaji kebijakan pemerintahan makassar. Pada saat ini, saya menulis blognya rabu 12 nopember dari makasar. Beruntung, riset kali ini saya berpatner dengan seorang ahli wisata dan lingkungan lulusan S2 geografi lingkungan UGM, dan s1nya dari NHI Pariwisata namanya Lintang Ayu.
Ada beberapa hal yang menarik. (1) Makassar kini bandar udaranya oke banget, mewah dengan memadukan unsur adat dan masih terus membangun. Infrastruktur tolnya berjalan baik sehingga tidak macet. (2) destinasi pariwisata dalam konteks obyek wisata di kota makassar masih belum terbenahi memadai, meski potensi ada, seperti pantai losari, benteng roterdam, benteng sombo opu dan ada 12 pulau yang menarik seperti pulau khayangan. Dari wawancara dengan pihak Bappeda, Makassar tengah konsentrasi membangun infrastruktur dan menciptakan suasana nyaman bagi wisman dulu dan memadukan pusat-pusat ekonomi terlengkap seperti mall untuk mengcover masyarakat Indonesia timur untuk tidak perlu ke jakarta dalam berbelanja. Mereka juga ternyata memiliki ketentuan menarik berkenaan dengan anak jalanan dan gelandangan dimana terdapat larangan mengemis dan pidana bagi yang memberi pengemis namun pengemis dibolehkan mengemis hanya ditempat ibadah. Selain itu, pemerintah pro aktif memberikan dana bergulir di kelurahan untuk mengurangi kemiskinan dengan mendorong pemberdayaan masyarakat dalam berusaha kreatif. (3) pantai losari tengah dibangun berbagai dak dermaga untuk menjadi ruang publik terbuka yang tidak boleh dibuat bangunan namun untuk masyarakan bercengkrama, sementara PKL ditertibkan dengan berkonsentrasi disatu tempat. Tentu saja, kebijakan ini juga menimbulkan pro kontra. Saya ngobrol dengan aktivis LSM anti kemiskinan yang tengah menegosiasikan dengan pemerintah untuk membangun kawasan pemukiman di kota untuk masyarakat miskin namun tertata. Tentu dalam demokrasi, hal ini penting untuk terjadi sebuah keseimbangan paradigma di dalam aliran developmentalisme.
Bagi saya, Makassar punya magnet. Belum kulinernya, saya coba hampir beberapa yang top :conro, sop saudara, iga bakar, ikan kakap bakar, pokoknya asik. Kulinernya sangat didominasi rempah-rempah dan minim bumbu, entah itu garam atau terasi untuk sambal, dan ini merupakan karakteristik kuliner makassar.
Makassar terus membangun dan tengah menjadi tujuan berbagai kegiatan politik sehingga infrastruktur dibangun terus menerus percepatannya.
Sayang, jam 3 sore saya harus berpisah hari rabu ini dari makassar yang indah....hehehe.....
(satu lagi tanah dan jalan lebar-lebar di makasar dan tertib, kendaraan dan orang kalah luas dengan lahan jadi asik lihat dimata hehehe)

Kamis, 06 November 2008

Eksplorasi Cinta

Bogor lagi diterkam hujan. Tak heran, jika larut dalam kenangan sehingga menggores sedikit ujaran bebas soal eksplorasi cinta.
Bagi saya, cinta adalah himpunan dari totalitas otentik kita untuk mengapresiasi "orang lain" hingga ke "ruang terdalam" dan menyerahkan emosi kita dan dia dalam perikatan yang menakjubkan. Cinta model ini tentu tidak ada urusan dengan "birahi' yang dilarang uu pornografi. Cinta seperti ini adalah cinta membebaskan, yang satu sama lain saling merindukan dan berbagi, baik di pengalaman manis maupun asin.
Tentu, setiap orang dalam konteks cinta pasti punya "soulmate"-nya. Tapi itu tidak berarti menegasikan dan meneguhkan bahwa cinta dengan begitu mudah dipahami. Mungkin, bagi saya, cinta seperti lagu jazz, enak dinikmati, sulit dijelasi. Kalaupun saya mencoba mereka-reka definisi, hanya usaha kecil dari kaum the man in the street agar cinta mudah dibedah dan diotak-atik.
Sayangnya,cinta sejati, apapun dan pada siapapun, seringkali mampirnya langka. Ia seperti meteor yang melejit sana-sini. Dan, ketika menikah pun, mungkin idolalisasi cinta sejati bisa jadi mulai muram. Namun, apapun dan pada siapapun juga bagaimanapun, berusaha mencintai dengan apa adanya, dengan putih kapas jiwa kita "kayaknya" lebih menarik dan harus dipahatkan dalam prasasti kemanusiaan kita. Karena kita tidak sempurna maka mencinta dalam ketidaksempurnaan adalah pengalaman paling ajaib yang mungkin sejarah bagi kita semua. Who Knows....

Jumat, 31 Oktober 2008

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

Kali ini, DPRD Kota Bogor berencana mendorong raperda prakarsa tentang kesejahteraan sosial. Didalamnya mengatur pembinaan dan penyelenggaraan penanganan masalah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) seperti anak jalan, gelandangan dan pengemis dan sebagainya.
Seperti biasa, dengan sedikit narsis---hehehe---saya dan senior saya, Edi Rohaedi, diminta membantu menjadi tenaga ahli perancangan dan kemarin rapat di puncak dengan Panleg DPRD dan disnakersos.
Ternyata terdapat masalah yang menuntut penanganan segera. (1) Kota Bogor yang berlimpah anak jalanan dan gelandangan serta pengemis--ditambah PSK, ternyata tidak memiliki satu pun panti, sementara banyuwangi memiliki tujuh panti. (2) Akibat ketiadaan panti, maka penanganan cenderung represif dan tidak menyelesaikan problem dan akar permasalahan. (3) tidak ada payung hukum---selevel perda---untuk menangani permasalahan PMKS. (4) adanya problem pengemis dan gelandangan yang bukan warga bogor (seperti dari indramayu) yang turut membuat kompleks permasalahan.
Dan masih ada timbunan problem. Tentu, kami dengan gelisah dan mencoba berikhtiar, untuk membantu memberikan payung hukum agar persoalan PMKS segera beres dan kita sesuai dengan komitmen Millenium Development Goals tahun 2015 terbebas dari kemiskinan. Doa dan ikhtiar kiranya perlu dimaksimalkan.

kesejahteraan dosen

Sekali-kali curhat menarik juga. Topik kini soal kesejahteraan dosen. Dalam suatu seminar, seorang pembicara buat plesetan "dosen itu singkatan: kerjanya satu dos (duz) tapi gajinya se-sen". Sebuah plesetan miris, tapi kenyataan. Apalagi, dosen perguruan tinggi swasta di daerah.
Sekilas memang, dari tampilan, seringkali publik tertipu. Seakan-akan penghasilan dosen tinggi dan layak. Namun, itu sisi gaib yang sebenarnya tidak demikian.
Bagi saya, ada bahaya besar ketika kesejahteraan dosen tidak dipostulasikan dan diberdayakan lebih baik. Pertama, mempengaruhi kualitas pengajaran dan konsentrasi dalam memberikan pengajaran. Kedua, membahayakan di dalam profesi, artinya, akan semakin banyak orang yang tidak memilih profesi dosen sebagai pekerjaan mulia. Meski uang bukan segalanya, tapi juga bukan berarti tiada guna.
Memang miris bila membanding negara-negara maju. Semua memproteksi pendidikan, memuliakan pengajarnya, menunjang kesejahteraan dan mendukung peningkatan kapasitas keilmuan. Tapi, Indonesia--semua seperti kena "kutuk". Pendidikan direndahkan, koruptor disanjung puja.
Tapi saya yakin, itu tidak lama. Sebab, seperti Vietnam, China dan India yang mengejar ketinggalan dengan mendorong kualitas pendidikan, maka kita--Indonesia--akan didesak hal serupa. Jika tidak akan musnah dari peta bangsa. Dan, itu terlihat oleh rencana-rencana sertifikasi dosen dan tunjangan dari pemerintah terhadap pekerjaan dosen. Namun, itu harus dengan percepatan--sebab dunia terlanjur lari tunggang langgang.
Yang lebih mesti berbenah adalah perguruan tinggi swasta di daerah. Mesti di isi oleh pengurus yayasan yang profesional (bukan pensiunan yang numpang hidup misalnya), mesti ada audit terbuka dengan stake holders dan mesti terbaca pula oleh konsumen---berapa sebenarnya dosen yang dikelas bicara hebat-hebat itu digaji oleh mereka. Jika perlu, yayasan yang hanya pengeksploitasi mungkin mesti ditimbang ulang untuk dikriminalisasikan.
Tentu apa yang saya tulis merupakan problem yang melanda perguruan tinggi swasta di mana-mana. Kembang kempis.
Entahlah....seperti angin lalu.....kadang semua perlu proses dengan tanda seru tiada henti......

Sabtu, 18 Oktober 2008

Pancasila, Masih Adakah?

Pancasila--yang dirumuskan 1 juni 1945--oleh Soekarno dan disepakati menjadi ideologi dan cita hukum bangsa Indonesia, hari-hari ini dalam kondisi kesepian. Ia seperti ditinggalkan di panti, jarang ditengok dan megap-megap. Mungkin, kita sebagai bangsa, lebih tertarik menggunakan kemeja dan jas orang lain, bisa itu neo liberal-kapitalistik, sosialisme atau sedikit agak komunis dan sebagainya. Tapi, kalau Pancasila? Muram.
Padahal, Pancasila merupakan common platform atau istilah Cak Nurcholis, kalimatun sawa, titik temu pelbagai kepentingan dari bangsa ini yang plural. Pancasila juga menjadi cita hukum di mana kalau mengikuti pendapat A Hamid S Attamimi, ia bisa menjadi bintang pemandu (leittern) bagi tegaknya hukum di tanah air. Sebab, Pancasila merupakan guiding principle dan kaidah evaluasi dan kritik baik bagi pembentukan hukum maupun penegakan hukum.
Mungkin, kita harus kembali mengingat sila-sila Pancasila. Merefleksikan dan mempraktikan dalam perkembangan bangsa ini. Untuk itu, setback ke jati diri merupakan keniscayaan. Sebab, bangsa yang abai pada ideologinya sendiri hanya akan menjadi "santapan' bangsa lain di dunia. Ia kehilangan identitas, seperti kehilangan KTP. Bisa sesat dibelantara globalisasi.
Bagaimana mempraktikan lagi falsafah Pancasila. Pertama, kita harus berwawasan terbuka, berfikir global dan bertindak lokal. Kedua, merenungi semua prilaku dan praktik bernegara apakah bersenyawa dengan Pancasilan. Ketiga, membangun iptek dan perekonomian dengan dasar Pancasila sehingga tercipta semangat kesejahteraan bersama dan keutuhan bangsa.
Mungkin, pelbagai statement di atas terasa klise. Tapi, tidak ada jalan lain untuk menuju perubahan lebih baik.

Jumat, 17 Oktober 2008

Maman S Mahayana

Kali ini saya ingin menulis tentang sosok kritikus sastra Indonesia tergolong wahid yakni Maman S Mahayana dari perspektif subjektif seorang mantan mahasiswanya dan pengagumnya. Bisa jadi ini menjadi profil yang bisa ditafsir dan dipetik nilai-nilai manfaat.
Saya mengenal Pa Maman, begitu saya menyebutnya, ketika kuliah di fakultas hukum universitas pakuan. Semula, saya tidak begitu kagum dan kurang peduli. Pertama, karena tampilannya yang cuek---agak sedikit lusuh waktu itu--dengan tas selendangnya. Kedua, gaya mengajarnya yang tidak dahsyat amat.
Saya pun tidak terlalu dekat Pa Maman.
Kalau tidak salah, saya mulai dekat beliau saat di suatu senja di akhir studi saya di fakultas hukum, beliau mendekati saya. Ia menanyakan tulisan saya yang dimuat di buletin hukum unpak. Beliau memuji saya dan menyemangati menulis. Sebagai info dan sedikit narsis, saya boleh dibilang satu-satunya waktu itu mahasiswa yang bisa lolos menulis di buletin hukum unpak yang selain saya, semua penulisnya berstatus dosen.
Dari situ kami akrab dan saya mulai menggali info, siapakah beliau.
Akhirnya, dari pelbagai sumber dan dokumen, saya terpukau. Ternyata, puluhan buku telah ia tulis di bidang sastra dan diterbitkan pelbagai penerbit besar seperti gramedia, grasindo dan sebagainya. pelbagai penghargaan diraih, terakhir di pemerintah Malaysia dan Indonesia.Pernah pada saya diperlihatkan sekitar 3 kotak besar rak yang isinya kliping tulisan sastra beliau yang dimuat di semua media nasional besar (kompas, media indonesia, suara pembaruan dan sebagainya) belum yang lokal. Pa maman selalu menghasut saya, kapan nulis, mana artikelnya kok sudah lama tidak terbit di kompas, ayo buku khan tulisanmu, berkaryalah! Pemikiran Pa maman tanpa beliau sadari mungkin, mewarnai sastra Indonesia. Saya akhirnya tahu, bahwa beliau menyelesaikan studi S1 dan S2 di UI dan dosen sastra UI (selain di univ.pakuan) yang amat bersahaja.
hampir semua sastrawan besar kawannya. Rumahnya adalah markas bagi calon penulis ataupun para penulis sohor dari pelbagai lingkungan.
Meski begitu, pa maman tetap bersahaja. Candanya khas, menggelitik dan sambil menyeruput kopi dan rokok, ia selalu memprovokasi anak-anak muda dan dosen junior seperti saya untuk berkarya. Tidak ada batas.
Pa Maman tetap bersahaja hingga kini. Tidak nampak gurat sedikit pun keangkuhan. Gaya santai dan cuek, namun pikiran kritis dan menukik dalam persoalan sastra dan bahasa Indonesia, sebuah ruang yang lama memudar ditikam zaman. Moga saya dapat mengikuti jejaknya.

Kamis, 16 Oktober 2008

HILANGNYA KEAGUNGAN MAHKAMAH AGUNG

Oleh Maman S Mahayana dan R Muhammad Mihradi
( Di Kirim Ke Kolom Teroka Harian Kompas)

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan UU Mahkamah Agung, saat ini sedang dalam proses penggodokan DPR dan Pemerintah. Tarik ulur, negosiasi, kompromi sambil main mata, dan berbagai kepentingan lain, niscara mewarnai pembahasan materi RUU itu. Salah satu isu sentral yang menimbulkan polemik adalah usulan adanya perpanjangan usia pensiun hakim agung hingga mencapai 70 (tujuh puluh) tahun. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 11 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA), dirumuskan bahwa batas usia pensiun hakim agung adalah 65 tahun dan dapat diperpanjang sampai umur 67 tahun dengan syarat “memiliki prestasi luar biasa” serta sehat jasmani dan rohani berdasarkan keterangan dokter.
Dalam Penjelasan Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 2004 tersebut dinyatakan bahwa “yang dimaksud dengan prestasi luar biasa dalam ketentuan ini, diatur dalam ketentuan MA sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Jelas, perumusan penjelasan Pasal 11 merupakan norma kabur dan cenderung dapat sewenang-wenang, karena penilaian mengenai “memiliki prestasi luar biasa” ternyata diserahkan kepada ketentuan yang dibuat MA sendiri. Ibarat pepatah “jeruk makan jeruk”, MA dinilai oleh dirinya sendiri.
Mengingat posisi MA –Mahkamah Agung—yang mengandaikan keagungan sebuah mahkamah, maka masalah usia pensiun hakim agung merupakan hal yang krusial dan rentan. Salah satu penyebabnya, menyangkut kualitas putusan dan kaderisasi di lingkungan peradilan. Bagi manusia, usia di atas 60 tahun adalah masa senja yang rawan. Secara fisik, ia tak lagi prima. Secara intelektual, ia umumnya tak cukup cakap lagi menghasilkan pemikiran cemerlang. Dan secara psikologis, ia kian dirundung kecemasan akan datangnya malaikat pencabut nyawa. Sebagai sunatullah, 80 % umat manusia di dunia ini, berakhir pada usia senja itu. Pada usia itu, manusia cenderung bersikap sangat subjektif, sekadar cari kemapanan, hidup tanpa gejolak, dan tak punya keberanian untuk segera memutuskan hal-hal penting yang mendesak. Segala gerakannya sudah makin lambat, karena berkecenderungan cari selamat. Itulah sebabnya, usia pensiun di negara mana pun di dunia, berkisar pada usia 60 tahun.
***
Persoalan yang lebih esensial dari usia pensiun hakim agung adalah bagaimana mensinergikan independensi peradilan dengan akuntabilitasnya plus integritas. Ketentuan Pasal 24, Ayat (1) UUD 1945 (Pasca-Perubahan) menegaskan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Konon, seperti ditulis Bagir Manan yang kini Ketua MA, kekuasaan kehakiman merupakan cabang pemerintahan negara terlemah dibandingkan cabang legislatif dan eksekutif. Legislatif memiliki hak anggaran, sedangkan eksekutif didukung sejumlah aparat pemerintah mulai dari polisi, jaksa hingga administrasi negara. Sedangkan kekuasaan kehakiman tidak memiliki itu. Bahkan, dalam melaksanakan putusannya pun, kekuasaan kehakiman tergantung pada pemerintah (eksekutif) (LelP, “Andai Saya Terpilih: Janji-Janji Calon Ketua MA dan Wakil Ketua MA,” 2002: 14).
Dengan konstruksi lemahnya kekuasaan kehakiman, sementara fungsinya begitu luhur dan mulia, yakni menegakkan hukum dan keadilan, maka MA perlu didukung sistem, manajemen dan kontrol kekuasaan kehakiman yang kokoh, berwibawa, dan segar. Di sinilah letak persoalannya. Hingga saat ini, kekuasaan kehakiman masih dinilai berpotensi korup dan mudah disuap.
Berbagai kasus suap mewarnai perjalanan kekuasaan kehakiman justru terjadi pada periode reformasi. Terakhir, kasus dugaan suap yang dilakukan Probosutedjo yang sempat menerpa Bagir Manan selaku Ketua MA, meski sampai kini belum terbukti secara yuridis. Belum lagi pelbagai putusan MA yang masih dianggap tidak saja mencederai keadilan masyarakat, bahkan boleh dikatakan, menistakan peraturan perundang-undangan. Ini dapat dilihat pada Putusan MA No. 02P/KPUD/2007 tentang perintah melakukan Pilkada ulang di Gowa, Bone, Bantaeng dan Tana Toraja, padahal berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, MA hanya berwenang menyelesaikan perselisihan hasil suara dengan kembali menghitung ulang hasil Pilkada dan bukan memerintahkan Pilkada ulang.
Ironisnya lagi, di tengah karut-marut dunia peradilan kita, beberapa hakim agung mengalami perpanjangan usia pensiun dari 65 tahun ke 67 tahun. Dengan begitu, semua hakim agung dianggap telah memiliki prestasi luar biasa. Lalu, prestasi apakah yang telah dihasilkan MA, kecuali merosotnya kepercayaan publik pada lembaga itu?
Di sisi lain, independensi peradilan dari pengaruh politik sudah semakin jauh berkurang dibandingkan masa Orde Baru. Kini, semua peradilan tunduk di bawah satu atap MA. Hakim bukan lagi pegawai negeri, melainkan pejabat negara di semua level. Gaji dinaikkan amat-sangat signifikan dan kesejahteraan makin membahagiakan.
Rupanya, kekuasaan kehakiman saat ini hanya berhasil merebut independensinya, tetapi gagal melembagakan akuntabilitas dan integritas. Dalam konteks peristiwa tragis ini, maka usulan perpanjangan usia pensiun menjadi 70 tahun di dalam RUU revisi UU MA semakin menggenapkan epistemologi problem kekuasaan kehakiman yang lebih absurd dari kehidupan alam gaib.
***
Bagi para wakil rakyat, inilah momentum yang baik untuk mengembalikan kepercayaan publik. Caranya, dengan memangkas usia pensiun hakim agung, kalau perlu maksimal hanya 60 tahun. Tentu saja itu didasari segudang syarat agar tercapai kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan.
Bagaimanapun, pembahasan RUU tentang Revisi UU MA harus dikembalikan pada karakteristik hukum yang sesungguhnya sebagai “produk proses pemaknaan akal budi dan hati nurani terhadap hasil persepsi manusia tentang situasi kemasyarakatan tertentu dalam kerangka pandangan hidup, keyakinan keagamaan dan keyakinan etis dengan berbagai nilainya yang dianut” (B Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, 1999: 186). Situasi kemasyarakatan kini menghendaki usia pensiun tak diperpanjang hingga 70 tahun, mengingat dari sudut pandang apa pun telah menyalahi kodrat alam.
Pembentukan hukum, tentu saja tak sekadar unjuk kepiawaian memanfaatkan kekuasaan parlemen yang diakhiri dengan voting, melainkan juga didasari kearifan (wisdom) dan kecerdasan penalaran yang disokong aspirasi dan harapann publik. Lewat langkah itu, satu klaim diuji terus-menerus hingga mencapai kesepakatan trans-kelompok yang tidak mempan dikotori uang, manipulasi, dan tekanan.
Jika akhirnya hukum produk DPR dan Pemerintah tetap memaksakan kehendak, menyangkal nalar publik dan melawan situasi psikologis masyarakat, maka produk hukum itu hanya berkadar yuridis, tanpa legitimasi sosiologis. Sekadar akal-akalan yang tak masuk akal. Tentu saja selain tidak sehat bagi perkembangan hukum, pola seperti ini juga mengancam demokrasi. Untuk itu, jeritan publik sepantasnya diperhatikan para legislator kita. Dan MA legowo menimbang sunatullah dan kondrat alam, agar tidak kehilangan keagungannya. (Maman S Mahayana dan R Muhammad Mihradi, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor)

persepsi

dalam membaca teks pasti timbul persepsi. Misal, ada seonggok berita gosip, paramitha rusady selingkuh...ini adalah teks, lalu dipersepsikan lain-lain. Bisa timbul persepsi, wah itu sensasi biar artis yang sudah lama karatan ini muncul lagi ke publik. Bisa juga timbul komment lain, kenapa paramitha selingkuh, suami sudah keren begitu dan sebagainya.
Dalam tradisi filsafat, keragaman persepsi tadi lumrah. Cuman, biar manfaat bagi publik maka mesti dicari (1) teks apa yang pantas masuk dan dikomentari publik dan (2) alur argumentasi ketika berpersepsi bagaimana.
Nah, kiranya keterampilan kita memilih dan memilah dan menajamkan argumentasi harus menjadi tradisi kuat di bangsa ini. Sebab, virus infotaintment seringkali meledakkan ruang akal sehat kita ketika memilih dan memilah tadi. Sehingga, tanpa terasa kita beku, terhegemoni oleh wacana media yang dibangun dan dikontrol atas nama ruang emosional tanpa reserve.
Ikhtiar untuk terus jernih seharusnya menjadi "tradisi peradaban" bangsa sakit ini.

Jumat, 26 September 2008

KEKERASAN

Dunia adalah sejarah kekerasan. Sejak Magna Charta tahun 1215 dikumandangkan dan hak asasi manusia ditempatkan, maka darah ternyata tak berhenti tertumpah. Revolusi Perancis memakan korban. Perang Dunia I dan II yang memusnahkan kemanusiaan mendasar. Perang Vietnam, Irak, kejahatan kemanusiaan di Serbia dan Rwanda. Bahkan, jauh sebelum itu, suku Indian di Amerika Serikat di awal kemerdekaannya dimusnahkan dan suku Aborigin di Australia juga ditindas. Dan kini, dipenghujung 2008, semua sepakat untuk kembali ingin menegakkan HAM dan menjaminnya---tanpa ada kepastian apakah itu akan terealisasi konsisten.
Dengan begitu, kita---Indonesia---bukan satu-satunya bangsa yang punya sejarah kekerasan. Semua sejarah dunia penuh kekerasan. Makanya, kasih Tuhan menghampiri manusia dengan mengirim para Nabi mengingatkan bahwa kekerasan bukan hakikat manusia sebenarnya. Manusia diciptakan baik adanya.
Masa depan harus dikontruksi kembali sebagai masa tanpa kekerasan. Kekerasan dalam bentuk apapun, sikap, kata-kata atau tindakan. Untuk itu, damai sungguh indah.
Tapi itu tentu perlu proses. Perlu waktu dan sistem yang sanggup membuat sinyal menangkal kekerasan dan melembagakan perdamaian. Demokrasi, saya pikir, bisa jadi alternatif. Sebab, jika demokrasi melembaga, semua perbedaan yang biasanya berujung dengan kekerasan dapat diselesaikan di meja makan dengan penuh damai serta cinta kasih. Demokrasi mengasumsikan pilar kebebasan, kesetaraan dan keadilan yang dibingkai oleh hukum yang progresif dan mampu menyalurkan potensi kekerasan ke arah perbaikan kualitas kehidupan yang lebih baik. Harapan senantiasa terbuka bagi insan yang percaya bahwa perdamaian sebuah kata yang bisa menjadi nyata.

Kampus

Kampus atau sering disebut universitas, bisa dimaknai tempat orang menggali keuniversalan ilmu. Kampus memiliki tradisi, empati pada rakyat kecil, menjadi jembatan antara penguasa dan rakyat serta tempat ilmu pengetahuan berkembang. Dari zaman Yunani Kuno hingga kini, ilmu pengetahuan selalu ditakuti. Sebab, sejatinya, bila ia direalisasikan dengan otentik, maka kebenaran akan hadir bersamanya. Kita ingat bagaimana tragedi Socrates meminum racun hanya untuk mempertahankan komitmennya bahwa sejelek apapun negara, ia tetap dijunjung tanpa mau menukar dengan kebenaran yang ditakuti oleh negara.
Kampus tentu memiliki kebiasaan. Salah satunya, kekuatan bahasa dan ekspresi dalam menyampaikan pikiran serta kebenaran. Dan seperti pelbagai komunitas yang ada di muka bumi, kekuatan tadilah yang mencitrakan kampus berbeda dengan yang lain.
Dengan demikian, jika kampus tidak lagi memproduksi ilmuwan dan cendikia, terjebak kekerasan dan ketidaksantunan, terlibat perselingkuhan nafsu kekuasaan, maka dapat diprediksi itulah awal kehancuran suatu bangsa. Sebab, kampus adalah lambang pendidikan tertinggi yang tentu memiliki tabiat dan karakter dengan pendidikan di luar kampus maupun di bawah level kampus.
Kesemua citraan kampus di atas tidak berarti kampus menjadi menara gading. Sebab, sumber dan mata air kampus adalah rakyat yang tertindas dan kampus berjuang bersama mereka yang tertindas dengan bahasa dan tradisi serta senjata argumentasi yang telah mengakar sehingga mengidentifikasi dirinya. Inilah tugas berat kita semua.

Selasa, 23 September 2008

merajut peradaban

Bagi saya, peradaban sangat erat terkait dengan bagaimana kita meletakkan sebuah kedisiplinan untuk merasionalitaskan cara berpikir, mengakomodasi agama dan etika serta terbuka terhadap perubahan juga perbedaan. Untuk itu, ada ikhtiar agar peradaban terbentuk dengan semakin berkualitas.
Indonesia, sayangnya, masih belum memaksimalkan diri untuk merajut peradaban. Banyak cacat epistemologi sana-sini dan sering dijadikan justifikasi sehingga tumpul ketika berhadapan dengan tantangan masa depan. Mungkin, kita perlu berbicara serius tentang visi masa depan sehingga memberi arah dan ruang untuk semakin lebih baik.
Memang, kehidupan amat kompleks dan tidak sederhana. Tapi harapan selalu terbuka dan cara terbaik menghadapi semua adalah dengan "menghadapinya" dan bukan menghindar. Semua butuh proses---rangkuman manifestasi antara sabar dan bekal cukup berupa wawasan. Sehingga masa datang bukan lagi zombie tapi justru peluang untuk menampilkan yang terbaik.

etika

Sejak blog ini dibuka untuk publik, rasanya ada kebanggaan juga meski sedikit-sedikit, terdapat tanggapan sana-sini. Dari riset pribadi, pembaca blog ini nampaknya lebih banyak yang pasif daripada yang aktif memberikan komentar.
Namun begitu, rasanya kita perlu juga membuat aturan etika berblogger ria. Pertama, saya amat terbuka kritik dan apapun curhat, namun baiknya dituturkan dengan santun. Ini untuk merawat tradisi intelektualitas yang mendasarkan diri pada saling menghormati dalam pluralisme. Kedua, sebaiknya menghindari topik SARA yang bisa menjadi bahan peledak konflik. Misalnya, identifikasi teroris dengan Islam, tentu akan membuka keran-keran percekcokan besar. Sebab, terorisme adalah penyimpangan yang tidak pernah dilegitimasi oleh satu agama-pun. Dan, perdefinisi terorisme juga tergantung sudut pandang. Pertanyaan dasar misalnya, mengapa hanya Islam yang diidentikan dengan teroris, lalu Amerika Serikat bagaimana?Padahal senyatanya telah membumi hanguskan Irak tanpa izin PBB dengan alasan adanya pemusnah massal di Irak dan itupun tidak ditemukan. Bukankah semua perang tanpa legalitas adalah teroris? Demikian juga Israel, sebuah negara yang main bajak negara Palestina yang telah eksis sebelumnya. Dengan begitu, topik SARA seperti ini akan memancing kemarahan dan perdebatan tiada habisnya. Untuk itu, saya rasa kita cukupkan.
Ketiga, saya amat terbuka terhadap inovasi, gagasan yang mampu saling dishare untuk menajamkan peradaban bangsa ini.
Semoga aturan main sederhana ini dapat kita jalani bersama.
salam
Mihradi

Minggu, 07 September 2008

rahasia infaq 2,5 persen

Islam bagi saya agama rahmatan lil alamin dan memiliki sejuta misteri luput dari kalkulator. Yang teralami misalnya rahasia infaq 2,5 persen dari rizki kita, entah honor, pendapatan atau apapun. Dahysat, banyak pintu rizki terbuka ketika 2,5 persen dikeluarkan karena itu hak orang miskin.
Logika sederhana saya, jika Allah ingin memperhatikan kita, maka kita juga perlu merawat dan memperhatikan ciptaannya sehingga terjadi hubungan timbal balik sinergis. Manakala itu dilakukan, kita bisa berbisnis atau berkontrak dengan Allah dan meminta sepenuh hati dengan ikhlas. Dahsyat, semua misteri yang tak bisa diraba akal.
Saya kira, itulah yang rupanya yang dijalani Ustadz Yusuf Mansyur. Misteri infaq

Selasa, 02 September 2008

puasa

Puasa bagi saya adalah instrumen refleksi, menghitung dosa dan berusaha merenung untuk masa depan lebih baik.
Memang, manusia adalah helai daun yang lemah, hanya bergantung pada ILLAHI, potensi kita mengada.
Puasa adalah proses memelihara kesitegangan antara transedensi dan imanensi, antara cemas dan harapan, dan puasa belajar menjadi otentik.
begitu, puasa menurutku.

Senin, 01 September 2008

dari pelatihan hak asasi

27-28 Agustus 2008, saya dapat kepercayaan dari pemda kota bogor untuk menjadi peserta sosialisasi panitia rencana aksi hak asasi manusia tingkat provinsi jawa barat. Nginep di hotel naripan bandung dan bersama diriku dari kota bogor pak wasyanto dari LP Pledang.
Acara padat. Malam tanggal 27, pembukaan oleh asisten tata pemerintahan. Pagi tanggal 28 dari 7.30 sampai jam 18.00 materi. Ada kajian mengenai kaitan hukum dan demokrasi dalam perspektif ham yang dibahas oleh Prof. I Gede Pantja Astawa dari Unpad, diikuti materi hak ekosob dari Yesmil Anwar SH MH Unpad dan masalah penyusunan Perda oleh Biro Hukum Setda prop. Jawa Barat serta dari anggota panitia perlindungan saksi memberikan materi hak sipol.
Kesimpulan pentingnya bahwa HAM tidak berada di ruang tertutup. Ia berinteraksi dengan semua elemen. Ia mesti dipastikan eksistensinya dijamin dalam konteks negara hukum dan sekaligus kehadirannya juga melibatkan partisipasi publik. Nilai-nilai yang terkandang didalam berbagai instrumen ham baik Deklarasi HAM PBB, berbagai kovenan, konstitusi hingga perundang-undangan harus ditegakkan secara konsisten. Panitia Ranham memiliki peran strategis untuk itu.
Lepas dari yang serius diatas, di daerah dekat naripan hotel, kalau malam hari ada tempat hebat makanan yang oke punya. Makanan rumahan tapi dipinggir jalan dengan 20 ribu saja dapet daging, tempe orek, telor dan jeruk hangat, asik banget dan enak. Hak asasi juga khan untuk makan ditempat enak.

Pengalaman Mengajar di Atma Jaya

Seperti biasa, dosen seperti pasukan perang, siap ditempatkan dimanapun dan kreatif "mengokang senjata". Kali ini, saya dapat satu kelas matakuliah hukum otonomi daerah di fakultas hukum unika atma jaya sebagai asisten Dr. Hj Dwi Andayani BS, SH MH.
Menarik, mengajar di atma jaya jakarta. Pertama, masuk kuliahnya jam 7 pagi, praktis seusai bedug shubuh (jam limaan) pagi, saya meluncur ke atma. Kedua, mahasiswanya plural dan beraneka prilaku. Ada yang serius. Ada yang kadang becanda dengan temannya, yang sering kusindir dengan autis. Tapi, wajar, di semua kampus, mahasiswa model seperti itu selalu ada.
Bagi saya, mengajar adalah berbagi dan menimba ilmu. Berbagi, karena berbagai pengetahuan yang diolah berdasarkan literatur dan pengalaman berjumpa realitas kemudian dibagi pada mahasiswa. Menimba ilmu karena setiap pertanyaan mahasiswa adalah ruang untuk diolah dan direfleksikan sehingga kita selalu gemetar pada sesuatu yang baru.
Seperti biasa juga, mahasiswi cantik selalu juga ada. Namun yang esensial adalah bagaimana mahasiswa Indonesia mampu---bukan hanya tampang keren---tapi juga mengabdikan diri pada negeri ini dengan amat berkualitas keilmuannya.
Demikian curhat hari ini.

Jumat, 08 Agustus 2008

MERAWAT KORUPSI 2?

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) membuat terobosan kreatif. Koruptor akan diborgol dan diberi kaos bertuliskan “tersangka atau terdakwa korupsi”. Gagasan brilyan ini didukung pula oleh Komnas HAM. Nampak semua pihak sudah sangat marah dan mual terhadap praktik korupsi. Cara-cara mempermalukan koruptor merupakan strategi jitu untuk itu.

Hampir semua lini diserang korupsi. Dalam jargon trias politica, baik itu legislatif, eksekutif hingga yudikatif diduga terdapat oknum yang mengidap penyakit korup. Kompas, malah, dengan sangat sarkatis menurunkan sebuah peta Indonesia dengan nuansa hitam di semua propinsi tanah air yang terserang korupsi.

Bagi penulis, korupsi merupakan problem kompleks. Tidak cukup shock terapi dengan cara mempermalukan koruptor saja. Lebih dari itu, pembenahan radikal terhadap sistem yang merawat dan melestarikan korupsi perlu dilakukan. Tanpa itu, niscaya penyakit korupsi tetap bersarang.

Diagnosa Korupsi

Menurut penulis, kita kini menghadapi petaka berupa korupsi karena sistem. Sebab, korupsi sistemik model itu, tidak bisa disembuhkan hanya dengan menghukum pelaku seberat-beratnya. Harus ada satu kerja keras untuk mengevaluasi semua komponen di mana korupsi hidup. Mulai dari perundang-undangan, manajemen birokrasi, mekanisme akuntabilitas hingga berbagai bentuk penerapan sanksi. Korupsi sistemik merepotkan, sebab menjadi pekerjaan besar melacak berbagai virus yang mengidap diberbagai sektor, sendi dan elemen penyelenggaraan negara.

Ambil misal, adakah jaminan semua departemen yang ada di republik ini bersih dari tender yang sudah disiasati, proyek diwarnai amplop pelicin hingga lemahnya kompetensi pengawasan dalam pengerjaan suatu program pemerintah. Bila itu disadari, maka sungguh sangat tidak bijak bila penegak hukum hanya konsentrasi di sektor represip. Menghukum koruptor tanpa memberikan penyelesaian berupa pemutusan dan penghapusan sistem yang memberi peluang siapapun untuk korup.

Repotnya lagi kita berada di zaman transisi yang dibayangi rezim orde baru dan semangat reformasi tanpa jelas kapan transisi usai. Warisan korup yang mengidap akut masa orde baru apakah sudah diputus rantainya? Bila tidak, maka wajar korupsi makin menggila. Apalagi menjadi pertanyaan esensial, seberapa jauh seluruh penegak hukum kita mampu membasmi korupsi. Jangan-jangan malah terjebak praktik tebang pilih yang lebih parah dari korupsi itu sendiri.

Pemutihan Korupsi

Mungkin ini ide penulis yang pasti dihujat beramai-ramai. Namun bila rasionalitas digunakan, bisa jadi hanya ide ini yang moderat. Bagi penulis, melawan korupsi harus dilakukan dengan terlebih dahulu membuat aturan transisi. Di dalam aturan transisi dinyatakan tegas “semua praktik korupsi sebelum aturan ini berlaku dikonversi berupa pengampunan massal namun dengan syarat harta hasil korupsi disita”. Lalu, dibuat pasal dimana bahwa aturan atau undang-undang transisi akan berlaku sekian tahun lagi, dan selama itu diadakan pembenahan sistem serta peningkatan kesejahteraan bagi penyelenggara negara. Setelah itu, barulah saat undang-undang transisi korupsi diberlakukan, maka semua orang yang korupsi dihukum berat, kalau perlu pidana mati.

Tentu perlu juga dibuat pasal-pasal lain misalnya semua pejabat yang korup tidak boleh lagi mencalonkan diri dalam jabatan publik. Selain itu, diadakan kampanye anti korupsi dan pembentukan sistem monitoring korupsi. Dengan begitu, terjadi proses percepatan di mana korupsi akan hilang di Indonesia pada tahun sekian.

Kamis, 07 Agustus 2008

Merawat Korupsi?

Korupsi, kanker ganas menyerang sendi bangsa. Salah satu sektor yang diserang, kehutanan. Kemarin, Rabu 6 Agustus 2008, Forum Kajian Hukum FH Universitas Pakuan bekerja sama Bagian Hukum Pidana FH Universitas Pakuan di The Eksekutif Club, Gemini Room, Hotel Sultan Jakarta menggelar Diskusi Publik Nasional "Evaluasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sektor Kehutanan". Hadir dalam diskusi, Bapak Soeharto (Staf Ahli menhut), Bapak Rahardja (Deputi Penindakan KPK), Prof. Indriyanto Seno Adji (Ahli Pidana), Firman Wijaya (Praktisi Hukum) dan Edi Rohaedi (ahli hukum administrasi). Dari diskusi, tenyata ada masalah pelik berkenaan korupsi kehutanan. Pertama, korupsi di kehutanan ternyata dapat didekati dari sisi hukum administrasi dan hukum pidana. Menjadi problema, apakah praktik penyimpangan selama ini (misalnya penyalahgunaan izin HPH) merupakan ranah tindak pidana korupsi atau pelanggaran hukum administrasi atau bahkan pelanggaran ketentuan pidana UU Kehutanan (UU 44/1999). Kedua, penyimpangan di sektor kehutanan ternyata juga dirawat dan dilembagakan oleh sistem pengawasan yang lemah serta perizinan yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Menjadi problema, apakah penerapan sanksi pidana semata (yang kerap disebut ultimum remidium/sarana akhir) telah dianggap cukup? Atau mesti berkesinambungan dengan perbaikan sistem. Bagaimana pula dengan masalah kerusakan lingkungan di satu sisi dan investasi di sisi lain di sektor kehutanan.
Diskusi di atas memang tidak bertujuan melahirkan rumusan final. Namun merupakan ikhtiar bahwa persoalan korupsi tidak bisa dianggap sederhana. Banyak faset dan kompleks serta dimensi hak asasi pun tampil disana-sini. Untuk itu, kajian akademis yang dalam serta cara pandang yang bijak harus mampu mendorong penegakan hukum otentik yang berkualitas di sektor kehutanan agar semakin baik di masa depan.

Jumat, 01 Agustus 2008

AFGHAN

Afghan, fenomena. Nyanyi dengan suara unik--seperti mau abis tapi terus dengan melankolik. Syairnya oke. Tampilannya dendy, kaca mata dan berlapis kemeja juga sweter. Lagi di gila-gilai.
Semua tentang cinta.
Ada lagu yang memikat saya, judulnya Sadis. Bertutur tentang gadis yang mempermainkan pria untuk manasin agar bisa kembali ke pacarnya. Si pria yang dipermainkan tidak bisa apa-apa. Hanya berdoa: "semoga Tuhan membalas".
Begitu juga sepertinya korupsi. Kita benar-benar dikurung olehnya dengan sadis. Ga bisa apa-apa. Hanya berharap agar Tuhan membalas.
Terlepas dari semua, Afghan menarik. Memikat dan memberikan pada kita sesuatu bahwa hidup harus otentik. Tidak mesti jadi siapa dan apa, namun jadi apa yang kita bisa dan inginkan.
Hidup afghan. Hidup cinta yang sejati tak pernah mati.

meledak bersama korupsi

Kompas, agak lupa tanggalnya, menurunkan headline berupa peta indonesia warna hitam tentang wilayah seluruh negeri ini yang setiap propinsinya ditemukan praktik korupsi dari aceh sampai papua. Memalukan, menyedihkan dan kalau pake lagu Afghan, "Sadis". Tapi itulah wajah negeri ini. Sebagai akademisi yang hanya orat-oret dari kejauhan, maka korupsi yang sudah parah hanya mungkin dijawab dengan tiga alternatif. Pertama, meneruskan model pemberantasan seperti sekarang, dimana KPK dengan garang menyerang semua sisi, sesuai kemampuan dan kekuasaannya. Kelemahannya, dipastikan akan tebang pilih, sebab bila konsisten penuh, dipastikan akan terjadi seperti "ngantri BLT" dimana mungkin ribuan orang berduyun-duyun menanti giliran diadili. Kedua, model pemutihan dan konteks transisi. Artinya, dibenahi sistem, dibuat aturan transisi selama lima tahun misalnya, semua koruptor tidak dipidana namun hartanya disita setengahnya. Lalu, lewat dari lima tahun, bila ada praktik korupsi, dipidana mati. Itupun dengan syarat sistem dibenahi dan kesejahteraan memadai untuk semua elemen penyelenggara negara, dari rendah hingga atas. Alternatif ketiga, dan ini seram bin sadis, revolusi dengan mengumpulkan semua orang terlibat di dalam satu pulau lalu dibom mati.
Nah, diluar itu, belum nampak solusi yang lebih cantik. Semua mencekam, murung, bopeng, banyak jerawat dan korengan sana-sini.

Rabu, 16 Juli 2008

narsis---bicara tentang saya

saya merasa kaya, bukan harta tapi sahabat. Dimanapun, sahabat selalu tempat berbagi. Kawan saya, Merry, misalnya seringkali nampak merindukan keabadian persahabatan. Semua oksigen menyehatkan.
Saya orang biasa, lahir dari keluarga sederhana. Studi di kota kecil, Bogor. Tanpa ada sesuatu yang istimewa banget. Tapi, saya merasa memiliki sekian potensi dan minat. Filsafat, marketing, politik dan hukum, merupakan bidang yang menggairahkan saya.
Sehari-hari mengajar di almamater, fakultas hukum universitas pakuan. Sesekali menjadi konsultan, baik di kementerian pendayagunaan aparatur pemerintah, departemen kelautan dan perikanan dan beberapa lembaga swadaya masyarakat yang disupport oleh uni eropa, UNDP maupun Yayasan Tifa.
Bagi saya, sebagai seseorang yang bergerak di bidang hukum, hukum merupakan gejala sosial yang amat luas. Minat mengkaji diluar hukum akan memperkaya perspektif kita. Dan, sebagai pengajar, kita tidak bisa hanya asyik mengajar dunia cita di kelas tanpa melihat realisme. Karena, saya juga pernah menjadi konsultan di DPRD dan instansi pemerintahan, maka saya bisa melihat dengan terang jarak antara teori dan praktik. Semua tidak berarti saling menafikan, malah harusnya justru menyempurnakan.
Beberapa buku saya diterbitkan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat. Saya bahagia, bisa hidup dan berkarier di dunia akademis dan praktik, karena semua sanggup membuka perspektif. Untuk dunia sastra, minat saya yang lain, saya amat berhutang budi pada Maman S Mahayana, Goenawan Mohamad dan Ayu Utami yang memberi horizon menikmati eksotiknya dunia tadi.
Impian saya, saya menjadi makhluk tanpa definisi yang ada dimanapun dan bekerja dengan cara apapun yang positif untuk mengabdi pada publik yang tertindas.

Senin, 14 Juli 2008

berperspektif positif

beberapa teguk soft drink coca cola dingin kuteguk. Perlahan, kutengok cahaya sore yang mulai memudar sembari berpikir: mengapa hidup harus bertemu orang yang menyebalkan. Prestasinya minim, hanya pandai "menjilat", lalu ia dapat membungkus apapun yang dimaui. Sayangnya, kita harus terbiasa hidup dengan kutu busuk model itu.
Lamat-lamat, setelah merenung dalam, kupastikan, dikehidupan dunia manapun, kutu busuk dan kupret model itu selalu ada. Ia hinggap di kemeja rapih parlente dan tertidur nyenyak di "pantat" orang yang memiliki "power". Ia terampil memuji, juga gesit mendepak orang.
Nah, lalu seperti biasa, kita harus mendarat dalam perspektif positif. Mungkin, hadirnya kutu kupret busuk tadi merupakan sejawat kompetitor agar akhlak kita bisa dibina lebih mulia dan sabar. Untuk itu, di Indonesia, semangat "diam-diam" berprestasi dan selalu berpikir ke depan, memang harus digalakkan. Semoga---Tuhan yang Maha Bijak---bisa mengurangi populasi kutu busuk, kupret, penjilat dan tidak punya harga diri tadi.
salam
dalam kemarahan sejenak
2008

Kamis, 10 Juli 2008

Memandulkan DPD

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)yang terakhir tentang DPD telah menggenapkan ke-impotensian DPD. Menurut MK, DPD pengisian anggotanya selain perorangan, dibolehkan juga dari partai politik. Akibatnya, menurut penulis, sistem bikameral kita hancur. Pertama, dari awal konstitusi UUD 1945 telah memandulkan DPD dengan kewenangan legislatif minim, sekedar pemberi pertimbangan. Kedua, dengan anggota dari parpol masuk maka DPD hanya menjadi DPR plus saja. Dikotak-katik menjadi unikameral lagi dengan sistem tidak jelas.
Indonesia--demokrasi--legislasi, ke depan makin murung.

Senin, 30 Juni 2008

Dinamika Perkembangan Keppres Pasca UU No.10/2004

Secara umum, produk hukum terbagi tiga yakni peraturan perundang-undangan (regeling), peraturan kebijakan (beleidsregel) dan keputusan atau penetapan pemerintah (bechikking). Peraturan perundang-undangan adalah “peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum” (Pasal 1 ayat (1) UU No.10/2004). Cirinya, norma umum-abstrak. Artinya, berlaku pada siapa saja dan masih berupa rumusan yang tidak mengacu pada kasus-kasus konkrit tertentu. Di dalam UU No. 10/2004, peraturan perundang-undangan terdiri dari UUD, UU/Perpu, PP, Perpres hingga Perda dan Perdes. Selain itu, ada peraturan lain yang bila mendapat delegasi dari peraturan perundang-undangan diatasnya, maka tergolong pula peraturan perundang-undangan, misalnya Peraturan Bank Indonesia (BI) yang merupakan delegasian dari UU BI.

Peraturan kebijakan (beleidsregel) bukan peraturan perundang-undangan namun mirip peraturan perundang-undangan (pseudo wetgeving). Ia hadir karena adanya kewenangan diskresi atau freies ermessen atau wewenang bebas dari pemerintah untuk menerbitkan aturan bila dirasakan perlu meski tidak ada perintah dari peraturan perundang-undangan. Ia ditujukan sebenarnya sebagai peraturan atau petunjuk internal (interne richtlijnen) yang mengikat kalangan pejabat ke dalam namun krena dipublikasi keluar maka bak atau seperti kaidah peraturan perundang-undangan. Bentuknya dapat bermacam-macam, dapat berup surat edaran, pengumuman, juklak-juknis, dan bisa juga berformat Keppres yang mengandung hakikat ciri ini. Menurut Philipus M Hadjon, peraturan kebijakan lebih bersifat memiliki relevansi yuridis yakni sepanjang tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang ada, ia dapat diacu namun bila bertentangan, maka dapat dikesampingkan. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak dapat mengadili peraturan kebijakanm karena sifatnya bukan yuridis (rechtmatigheid) melainkan lebih pada segi kemanfaatan (doelmatigheid).

Sedangkan keputusan atau penetapan pemerintah (beschiking) bila berupa penetapan tertulis di lapangan hukum pemerintahan (dan bukan hukum tata negara) maka ia menjadi obyek dari sengketa di peradilan tata usaha negara dengan disertai ciri lain sesuai Pasal 1 angka 3 UU No.5/1986 jo UU No.9 Tahun 2004 tentang PTUN. Pasal 1 angka 3 menegskan “Keputusan Tata Usaha Negara (atau Keputusan Pemerintah/Beschikking---pen) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Contoh dari beschikking antara lain : izin-izin, SK-SK Pengangkatan dan Pemberhentian Pegawai, KTP, Akta Kelahiran, sertifikat dan lain-lain.

Diluar ciri-ciri Pasal 1 angka 3 UU PTUN diatas, dimungkinkan adanya beschikking namun tidak ada lembaga yang mengujinya (terjadi kekosongan hukum/vacuum rechts) misalnya Keppres-Keppres tentang Pengangkatan Menteri atau Duta Besar yang merupakan hak prerogatif Presiden dan menjadi tindakan hukum tata negara.

Yang jelas, ciri utama beschiking adalah penetapan tertulis yang sifat normanya individual konkrit, artinya tertuju pada individu tertentu, jelas apa yang ditentukan di dalam beschikking dimaksud dan tidak bersifat mengatur melainkan menetapkan yang umumnya sekali selesai (einmahlig).

Di masa lalu, dengan adanya Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 maupun Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang semuanya berkaitan dengan hirarki perundang-undangan maka materi muatan dari Keppres memiliki tiga kemungkinan, ia merupakan peraturan perundang-undangan (regeling), peraturan kebijakan (beleidsregel) dan bisa juga keputusan atau penetapan pemerintah (beschikking yang berciri individual konkrit tadi). Dari segi bentuk luar sulit membedakannya karena bertitelkan (nomenklatur) Keppres. Bahkan, dapat juga satu Keppres memiliki dua materi, yakni selain peraturan perundang-undangan juga didalamnya berisi penetapan misalnya berkaitan dengan pembentukan dan pengaturan suatu fungsi dan tugas kelembagaan sekaligus pengangkatan pejabat kelembagaan dimaksud. Hal ini yang mendorong---salah satunya motivasi--terbitnya UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kini, Presiden secara mandiri bila akan mengatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka dapat berupa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Sedangkan kini Keppres tidak lagi menjadi peraturan perundang-undangan. Hanya ada dua kemungkinan bagi Keppres, ia merupakan peraturan kebijakan (beleidsregels) atau penetapan pemerintah (beschikking).

Jumat, 27 Juni 2008

mengendap

waktu lindap. mengendap.
ada renung...hening
lalu banyak hal yang ajaib: "karena antara samar dan nyata adalah misteri abadi"
bagi kita atau dia
entah
mihradi 2008

Jumat, 20 Juni 2008

SMA Budi Mulia---Memory

Saya bersekolah di SMA Budi Mulia Bogor yang berciri khas agama "katolik" dalam pendidikannya. sebuah pergumulan keras awalnya, bagi saya yang Muslim, belajar di sekolah katolik. Diluar SMA, saya saat itu, saya ikut pesantren Al Ghazaly di Bogor (yang diasuh oleh Ustandz Toto putra Ulama Besar Mama KH Abdulllah Bin Nuh). Dengan begitu, saya sanggup menempatkan sesuatu secara proporsional. Ada hal baik yang saya dapat sekolahSMA Budi Mulia dimaksud, saya bisa belajar banyak hal. Pertama, toleransi antar umat beragama. Sebab, semua bersepakat, tidaK ada paksaan dalam beragama. Kedua, disiplin sekolah dan penghargaan terhadap kemanusiaan. Saya sempat menyaksikan seorang siswa diperintahkan oleh Kepala Sekolah meminta maaf pada pesuruh karena telah menghinanya. Disana sebuah nilai kemanusiaan dihargai. Ketiga, saya memiliki banyak kawan berbagai lintas agama dan kebudayaan sehingga mengayakan pandangan kita ke masa depan.
Demikian kenangan kecil bersekolah di SMA Budi Mulia.

Rabu, 18 Juni 2008

Demonstrasi, Demokrasi dan Kekerasan

Pasca naiknya harga BBM, demonstrasi marak di mana-mana. Bahkan, di luar isu BBM, demonstrasi telah mengarah pada kekerasan. Ini yang terjadi pada insiden Monas yang melibatkan perseteruan Aliansi Kebangsaan Untuk Kemerdekaan dan Kebebasan Beragama (AKKBB) dan Front Pembela Islam (FPI). Jubir Istana, Andi Malarangeng mengatakan, demonstrasi adalah bunga-bunga demokrasi, tapi jika anarki maka harus ditindak.

Bagi penulis, bangsa ini memang sudah sakit. Ditengah cekaman krisis, kekerasan pun turut menyertai. Paling menyedihkan, bergesernya demonstrasi sebagai instrument demokrasi menuju praktik anarki dan kekerasan. Dan, yang memprihatinkan, pemerintah pun terlibat anarki melalui sejumlah kebijakan publik yang minus partisipasi publik. Sayangnya, untuk anarki model terakhir, tiada sanksi yang bisa menjeratnya.

Komunikasi Politik

Demonstrasi atau unjuk rasa, hakikatnya adalah bentuk komunikasi politik. Umumnya bisa dengan dialog. Namun bila dialog macet, maka demonstrasi seakan pilihan tak terelakan. Jika demonstrasi dilakukan dengan simpatik dan santun, tentu akan berpotensi membuka mata dan hati penguasa. Bila anarki, sulit penguasa bisa mengolahnya dengan jernih.

Dalam kasus demonstrasi kenaikan BBM, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah. Pertama, pesan mahasiswa melalui demonstrasi tidak cukup hanya ditampung dan diserap, namun lebih dari itu harus dibaca sebagai tuntutan untuk melahirkan kebijakan publik yang cerdas dan rendah resiko. Andaipun kebijakan public yang keliru telah berjalan, maka demonstrasi tadi harus juga dipahami sebagai dukungan untuk mengoreksi.

Kedua, demonstrasi harus dilihat sebagai sinyal dan bukan esensi. Artinya, kebijakan publik yang tidak pro pada rakyat itulah yang harus dijadikan esensi untuk diperbaiki. Andaipun demonstrasi berubah jadi anarki, maka itu tidak berarti esensi di atas kehilangan daya gugatnya.

1

Tentu akan timbul permasalahan. Darimana dan bagaimana menentukan mana kebijakan publik pro rakyat dan mana yang bukan. Sebab, umumnya, semua berbalut dan mengatasnamakan “demi kepentingan rakyat”. Menjawab permasalahan ini tidak mudah. Namun, sebaiknya, pemerintah dan masyarakat dapat menggunakan pemikiran John Rawls dalam Theory of Justice tentang original position. Menurut John Rawls, keadilan dapat didekati jika semua membuta dirikan dari kepentingan dan beranjak dari posisi asli tanpa kepentingan. Dengan begitu, komunikasi menjadi terbuka. Andaipun kepentingan harus ada dan hadir di sana, maka sebaiknya diarahkan pada satu tujuan yakni “kebaikan bersama” dengan saling terbuka.

Khittah Demokrasi

Demokrasi adalah cara sekaligus tujuan. Semua keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dibicarakan juga oleh orang banyak. Dengan demikian, keputusan yang diputus segelintir tanpa mengajak dan mempertimbangkan pendapat orang banyak merupakan pencideraan terhadap demokrasi. Model implementasi demokrasi sendiri bisa bermacam-macam, tapi hakikatnya satu. Kedaulatan pada orang banyak tanpa menafikan hak kaum marjinal.

Demokrasi membebaskan dan mengikatkan pada pertanggungjawaban. Apapun pilihan, resiko harus diemban. Melalui mekanisme demokrasi, semua alternatif, baik keunggulan maupun kelemahan dapat ditampilkan. Dengan begitu, dapat mengeliminir tingkat resiko dan menaikkan potensi ke arah kebaikan bersama.

Di dalam demokrasi, pasti banyak perdebatan dan perbedaan. Itu semua harus diselesaikan melalui dialog. Demokrasi mengharamkan kekerasan, melegalkan perbedaan juga keragaman. Untuk mengawetkan demokrasi, hukum menjadi instrumen pengikat dan eksekutor nilai-nilai demokrasi. Sebab, demokrasi membutuhkan kekuasaan yang telah mengalami proses peradaban (civilization) yakni melalui hukum. Dengan begitu, hukum menjadi wajah dari demokrasi yang terealisasi. Tentu saja, dengan syarat, hukumnya konsisten ditegakkan dan membawa esensi keadilan sekaligus ketertiban secara seimbang.

Dalam kasus kenaikan BBM maupun masalah insiden Monas, seharusnya dijadikan sarana kontrol koreksi bagi semua pihak. Jika demokrasi tidak dipatuhi rambu-rambunya yang telah mengalami legalisasi ke dalam bentuk hukum maka sulit sebagai bangsa dapat terekat kembali. Alternatif yang sehat pun akan terkubur. Dan, kekerasan tidak pernah menyelesaikan, kecuali mereproduksi kekerasan baru. Kembali ke khittah demokrasi nampak menjadi keharusan untuk menyelamatkan dari keterpurukan.

*Penulis, Anggota Pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta & Pengajar FH Universitas Pakuan, Bogor.

2

SUPERMARKET KEADILAN

ISU mafia peradilan sudah lama terdengar. Sejak Orde Baru, isu mafia peradilan selalu didengungkan. Banyak fihak yang menyangkal, tapi tidak sedikit pula mengakui. Kini, isu itu nampak mendekati kenyataan yang semakin vulgar. Rekaman percakapan Artalyta Suryani (Ayin) dengan petinggi Kejaksaan Agung beberapa saat setelah penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan semakin menegaskan hantu mafia peradilan itu memang ada. Suap menyuap rupanya telah mengakar lama pada lembaga penegak hukum, termasuk kejaksaan.

Semua pihak yang setia pada kebenaran tentu saja marah. Nasib bangsa yang terpuruk perekonomiannya, ternyata salah satunya disebabkan oleh menggilanya praktik korupsi dan suap menyuap. Keadilan sudah seperti supermarket. Siapa yang punya uang maka ia bisa membeli. Semua terlihat demikian kejam sekaligus memalukan.

Ekonomisasi Hukum

Bila berkaca pada doktrin ekonomi yang bernama permintaan (demand) dan penawaran (supply), maka mafia peradilan hadir karena pasar kriminal membutuhkan itu. Ketika kejahatan sudah sedemikian canggih dan berada di posisi penjahat berdasi (white collar crime), siklus pasar yang mempertemukan oknum aparat dan masyarakat pelaku kriminal bertemu di sebuah titik yang menyepakati transaksi melegitimasi kejahatan untuk diubah menjadi kebaikan. Seorang Ayin dicoba diselamatkan, selain sebagai sebuah komitmen transaksi kriminal tadi, juga untuk “diduga” menyelamatkan orang sejenis yang duduk di dalam maupun di luar lembaga penegak hukum. Untungnya, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) keburu menangkapnya. Namun, bukan berarti, KPK pun tidak perlu kita waspadai. Sebab, dalam percakapan telepon Ayin, Ketua KPK, Antasari pun disebut-sebut. Dalam konteks mafia peradilan, semua sinyalemen harus dijadikan petunjuk dengan tetap memegang asas praduga tak bersalah.

Berkenaan dengan konteks ekonomisasi hukum, ada pelajaran penting dari kasus Ayin. Pertama, korupsi sudah mengakar akut dan perlu terapi kejut yang dahsyat. Mungkin, bila pelaku koruptor terbukti di peradilan, kiranya perlu dipertimbangkan untuk dijatuhi pidana mati agar menimbulkan efek jera. Kedua, korupsi adalah hasil pertemuan antara supply dan demand. Jika yang kita tangkap dan serius adili hanya oknum aparat, maka rasanya itu jauh dari cukup. Yang mendesak pula adalah mendidik masyarakat agar tidak pernah mau bersahabat dalam bentuk korupsi sekecil apapun. Sebab, aparat dan negara ini merupakan produk dari masyarakatnya. Masyarakat korup melahirkan negara yang korup juga. Jika masyarakat anti korupsi, praktis oknum aparat korup pun tidak akan membuka praktek lagi.

Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terkuaknya kasus korupsi di level kejaksaan agung harus dimaknai tidak sekedar tamparan, melainkan juga dorongan untuk lebih ganas membasmi korupsi. Jika perlu, mencopot Jaksa Agung dan mengadopsi orang-orang bersih serta berintegritas untuk menggantinya. Lalu, diberikan batas waktu dan target-target kepada Jaksa Agung baru untuk memperbaiki dan mereformasi seluruh aparat kejaksaan agung. Bagi penulis, sudah tidak ada lagi toleransi untuk mempertahankan Jaksa Agung yang sekarang karena sudah di level orang-orang terdekatnya yang terlibat.

Darurat Korupsi dan Harapan

Sudah saatnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang menyatakan darurat korupsi. Dengan begitu menjadi sarana untuk secara total football membasmi korupsi. Komitmen amat dinantikan untuk itu. Cara yang paling strategis, di dalam Perpu di atas dicantumkan pula adanya beban pembuktian terbalik di awal penyidikan terhadap tersangka koruptor. Dengan begitu, beban pembuktian bukan ada di penyidik melainkan pada tersangka. Ini memudahkan di dalam proses pidana. Setelah itu menerbitkan pula aturan yang bersifat memaksa bagi aparat penegak hukum, yakni Jaksa maupun KPK untuk menuntut pidana mati bagi setiap pelaku koruptor yang angka korupsinya cukup tinggi. Diharapkan dampak “ketakutan” untuk korupsi dapat menjadi sarana efektif.

Terlepas dari semua itu, bagi penulis, kasus Ayin melahirkan harapan. Pertama, adanya keterbukaan informasi sehingga gerak gerik pelaku korupsi mudah dibongkar, diadili dan dipermalukan. Kedua, adanya gerakan publik yang akan semakin marah terhadap korupsi dan menjadikan indikator komitmen pemberantasan korupsi sebagai alat memilih pemimpin bangsa. Ketiga, adanya kalkulasi baru bagi koruptor yang nekad di dalam melakukan kejahatan sebab transparansi yang begitu kuat memudahkan untuk mematikan prilakunya.

Ketiga harapan di atas bagi penulis adalah modal sosial yang harus diambil oleh Presiden Susilo Bambang Yudhono. Sebab, diantara raport merah kebijakannya, tinggal pemberantasan korupsi yang berpeluang memperbaiki kredibilitasnya. Berbagai alternatif kebijakan yang penulis paparkan dapat dijadikan pertimbangan untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebab, 2009 (Pemilu) sudah semakin dekat.

*R Muhammad Mihradi,
Penulis, Anggota Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta dan Pengajar FH Universitas Pakuan, Bogor. (dikirim ke harian Kompas) 18 juni 2008

Sabtu, 14 Juni 2008

Pelatihan Group Artha Graha

Artha Graha mungkin sudah banyak dikenal dan juga ini tidak lepas keterkaitannya dengan eksistensi Tommy Winata. Banyak khabar miring sana-sini. Kemarin, selama tiga hari, 11-13 Juni 2008, saya mendapat kesempatan untuk memberikan pembekalan materi mengenai Pancasila-UUD 1945 dan Wawasan Kebangsaan. Undangan kepada saya untuk pembekalan, bagi saya, mengejutkan. Pertama, karena berbagai gosip dan khabar miring tadi, yang tingkat benar dan kelirunya relatif, namun yang riil, adanya keberanian dari suatu kelompok usaha sekelas Artha Graha mengadakan pembekalan berupa pelatihan untuk meningkatkan nasionalisme dengan pembekalan Pancasila-UUD 1945 dan Wawasan Kebangsaan. Kedua, bagi saya, ini merupakan momentum untuk mendorong reformasi dengan proses-proses kecil tapi berarti menuju kembalinya identitas bangsa yakni kita berfalsafahkan Pancasila dan berkonstitusikan UUD 1945. Ketiga, kita harus senantiasa menularkan berbagai hal baik dan positif untuk membangun identitas bangsa, tanpa prasangka, karena tidak pernah ada di dunia ini yang absolut benar maupun kelirunya. Dan, ketiga, dahsyatnya, peserta pelatihan yakni para pejabat muda bank artha graha, memiliki wawasan nasional yang kuat, cinta terhadap negeri melalui sumbangan ide-ide untuk mendorong ke arah negara yang lebih baik dan cerdas-cerdas. Jika nanti, mereka akan masuk ke kancah yang lebih semarak di Indonesia ditambah dengan integritas moral yang konsisten, bukan mustahil menjadi harapan Indonesia masa depan.
Bagi saya, sebuah "keganjilan" sekaligus "mutiara harapan", kelompok bank artha graha yang sebagai institusi bisnis murni, mau peduli terhadap nilai-nilai kebangsaan, merenungkan basis Pancasila dan berkomitmen terhadap integrasi bangsa. Tentu, nanti peduli ini akan diuji di dalam realitas praksis untuk konsisten tidak terjebak semangat suap-menyuap, meningkatkan kapasitas moralitas, peduli lingkungan dan mengamalkan nilai Pancasila yang tengah krisis. Dan bukan mustahil, program seperti ini ditiru lembaga lain dan mampu membawa Indonesia ke jenjang lebih baik. Sekaligus, membuktikan bahwa perubahan menuju lebih baik masih dapat ditempelkan harapan.

Rabu, 04 Juni 2008

Kekerasan

Demokrasi terancam. Kemarin, Koalisi Kebebasan Beragama diserang FPI. Kehancuran demokrasi diawali dengan ketiadaan dialog, diganti otot. Saya memahami, di satu sisi, saya sependapat, berdasarkan Aqidah Islam yang saya yakini, Ahmadiyah memang sesat.Sebab, ia mengakui ada Nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Tapi, di sisi lain, kekerasan juga bukan ajaran Nabi. Nabi hanya melakukan peperangan (seperti Badar dan Uhud) karena muslim terancam. Ini beda dengan Indonesia. Muslim mayoritas.
Jadi, atas nama apapun, kekerasan tidak pernah bisa dilegalisasi dan dilegitimasi. Dalam demokrasi, berbeda biasa. Demonstrasi hak konstitusional, tapi memukuli orang yang berbeda keyakinan dan pendapat, pasti itu kriminal.
Dengan begitu, kita kembali mundur. Tidak lagi demokrasi--tapi mulai mobokrasi, barbar dan juga primitif. Bagaimana masa depan?

Jumat, 23 Mei 2008

DOSEN

Bagi saya, dosen pekerjaan unik. Kerjanya tidak jelas. Artinya, waktu adalah sesuatu yang absurd. Kadang ada di kampus pagi. Kadang sore. Atau Malam. Jam kerja tidak jelas juga. Di rumah ketika semua pekerja biasa larut dalam mimpi, sang dosen masih asik meriksa berkas ujian, menulis artikel untuk koran, membaca buku buat persiapan ngajar atau buat proposal mencari proyek sampingan.
Dosen, bukan guru biasa. Ia motivator dan fasilitator. Mahasiswa aktif mencari ilmu. Bahkan, bukan tidak mungkin, mahasiswanya lebih pandai dari dosen bila ia aktif mengakses segala hal.
Bagi saya, seorang dosen dengan tri dharma perguran tingginya tidak boleh puas hanya karena bisa ngajar di depan kelas tapi miskin menjadi pembicara, miskin menganalisis masalah, miskin akses data dan miskin menulis juga membaca. Yang paling berbahaya, dosen terjebak oleh perasaan narsis merasa paling pintar dan lupa menggali ilmu. Dan lebih berbahaya lagi jika hanya puas dengan gelarnya, entah master atau doktor, tanpa terus menggali ilmu.
Bahaya-bahaya itu yang harus dihindari. Disadari atau tidak.
(NB: dan kesejahteraan yang terlalu kecil adalah bahaya lain yang mengancam seperti syetan)

KRHN

Bagi saya, KRHN adalah sekolah kedua. KRHN singkatan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional didirikan oleh AJI, YLBHI, ICEL dan IKADIN DKI Jakarta kalau tidak salah. Ketua pertamanya kalau tidak salah adalah Irianto Subiakto.
Saya, seorang sarjana hukum baru lulus di tahun 1998-an mencoba bersekolah aktivis di KRHN. Awal kenalnya dengan seorang staf KRHN Mas Firmansyah Arifin (yang kini menjadi Ketua KRHN). Dilibatkanlah diri ini yang biasa-biasa saja sebagai orang yang turut serta mengkaji berbagai hal tentang konstitusi dan demokrasi.
KRHN adalah LSM tapi ia mampu mereproduksi seperti sekolah, insan-insan kritis yang mau mereformasi hukum. Muda-muda anggotanya namun giat mengkritisi perubahan.
Hingga kini KRHN tetap menjadi pendorong. Dengan dinamikanya. Lokomotif demokrasi dan hukum. Dan saya bersyukur menjadi bagian dari itu semua dengan keterbukaan dan sharing tanpa henti dari semua stake holders KRHN.
(Spesial untuk Mas Firman, terima kasih saya ucapkan tanpa bisa berbuat lebih)

Komunitas Budaya Radar (KBR)

Di awal reformasi, harian Radar Bogor terbit. Saya, termasuk penulis pertama yang menulis di harian tersebut. Kalau tidak salah, judul tulisan saat itu adalah mengenai reformasi politik. Saya banyak kemudahan menulis pada harian itu, karena senior saya dari fakultas hukum universitas pakuan menjadi wartawannya. Salah satunya akan saya abadikan disini yakni Herly Hermawan Moenara (dimana dikau kini?). Saking maniak menulis, hampir setiap bulan, tulisan saya beredar di harian radar bogor.
Nah. suatu ketika, saudara Riefky Setiady (alumni IKIP Bandung Seni Rupa dan Wartawan pertama juga radar bogor) menawari saya untuk turut serta mengembangkan komunitas budaya radar (KBR). Saya tertarik, karena dua hal. Pertama, saya senang kajian-kajian budaya mengingat latar saya dari rumpun kajian kebudayaan, khususnya ilmu hukum. Kedua, konsep KBR mencoba merangkul seluruh siswa SMA se Bogor untuk disalurkan bakatnya, baik jadi model, mengkaji kebudayaan maupun berkegiatan seni. Salah satu yang berhasil melejit, yang saya ingat, antara lain: Okie (istri Pasha Ungu), Ufara (artis sinetron), Margie (model) dan lainnya.
Ada banyak kenangan di KBR. Selain kami aktif membuat kegiatan, baik kajian kebudayaan, fashion show, pagelaran musik, kami juga membangun rasa solidaritas yang kuat. Ketika sama-sama tidak memiliki uang, kami patungan untuk makan-makan bersama. Saya, biasanya, menyumbang dari honor-honor tulisan (saat itu saya dosen baru, gaji masih kecil, jadi honor menulis hal luar biasa), temanku yang lain, yang wartawan, dari honor pekerjaannya dan sebagainya. Kami menjadi keluarga yang kuat.
Seperti biasa, pernak-pernik selalu ada. Biasanya konflik kecil selalu hadir karena salah satunya rebutan perempuan yang ditaksir. Tapi, itu kemudian diselesaikan dengan baik, karena kita semua bersaudara.
Bagi saya, mendadak masuk KBR seperti orang top. Karena membina SMA seBogor, jadi banyak kenalan anak SMA di Bogor. Hal ini menyenangkan karena bisa berbagi. Mungkin sebuah kemewahan tersendiri. Entahlah...
(disajikan untuk kawan-kawan KBR antara lain yang diingat: Awal, Idfi cs (anak-anak Mamih yang dulu di Pacilong),temen-temen SRC (Selebritis Radar Club), Margie Cs, Korry cs dan lainnya)

Patroli Keamanan Sekolah Polresta Bogor di tahun 1988-an

Di tahun 1988an, kalau tidak salah, saya duduk di bangku SD, saya ikut Patroli Keamanan Sekolah (PKS) sebuah kegiatan ekstra kurikuler yang dibina oleh Polresta Bogor. Hingga akhir SMP, saya menjadi anggota PKS dimaksud.
Bagi saya, PKS menarik. Pertama, memberikan materi dan pengayaan bagaimana tertib berlalu lintas. Kedua, menjadi agen bagi siswa-siswa untuk tertib berlalu lintas. Ketiga, membangun jaringan persahabatan dengan semua pelajar se Bogor.
Tentu, suka duka selalu ada. Dukanya kalau upacara terlalu lama pada hari peringatan nasional. Badan pegal-pegal, tapi tetap semangat. Sukanya, kalau turun ke jalan, ikut mengatur lalu lintas. Ada kebanggaan, dengan seragam lengkap, memberhentikan kendaraan dan menyebrangkan pelintas jalan.
Tentu, diberbagai sisi-sisi ada romantismenya juga. Naksir-naksiran khas cinta monyet anak sekolahan. Dan, semangat berkegiatan karena ada yang ditaksir. Suatu bumbu yang pasti ada diberbagai kegiatan.
Ohya, saya akhirnya berhenti dengan pangkat akhir Taruna Muda Madya Penuh.
(Tersaji sebagai kenangan buat kawan-kawan PKS di tahun 1988-an, saya saat itu, SD Pengadilan II Bogor dan SMPN II Bogor)

Lingkar Study Budaya (LsB)

Kali ini cerita agak mengenang silam. Mungkin suatu kekenesan, tapi kita tidak pernah bisa lepas dari masa silam. Suatu kali, di tahun 2000, kami dosen-dosen muda di fakultas hukum universitas pakuan mendirikan organisasi lintas batas (usia, ideologi, agama maupun ras) namanya Lingkar Studi Budaya (LsB). Sengaja kami memakai kata "budaya" sebab untuk dapat menjangkau publik dari berbagai kalangan yang ingin merajut budaya sebagai identitas dan kebutuhan.
LsB dimulai dengan gebrakan mengadakan acara Talk Show "Hukum dan Politik Kata Orang Biasa", kami undang di tahun 2000 itu, narasumber Kang Harry Roesli (Almarhum), Hamid Djabar (almarhum), Datuk Sulaeman (Aktivis dan Budayawan Bogor) serta Bintatar Sinaga (Saat itu dekan FH Unpak). Kami membuat kegiatan dengan model gaya tradisional dengan makanan panganan dan minuman bandrek serta umbi-umbian. Acara sukses, diadakan di malam hari, dan gratisan (memang biasanya kalo gratisan laku hehehe).
Nah, kemudian beragam kegiatan diadakan. Diskusi, Musik hingga kajian-kajian budaya maupun filsafat. Yang menarik, mayoritas anggota adalah mahasiswa dan pembinanya ada dari kalangan dosen seperti kami, wartawan hingga aktivis LSM. Semua bercampur dan berdinamika membuat beragam kegiatan dengan kesadaran penuh berkebudayaan.
Kami profesional. Mahasiswa anggota LsB nilainya bagus-bagus dengan daya juang sendiri. Meski dosen ada di dalam lembaga ini tapi kami memiliki etika untuk tidak mencampuradukan status dan kegiatan LsB.
Sayang, lembaga laboratorium model ini tidak terlalu lama berkiprah. Kaderisasi tidak sukses berjalan lancar. Ada perpecahan kecil-kecil akibat fenomena bercinta antar sesama anggota yang sering mengganggu kinerja. Namun, sebagai sebuah kenangan, LsB berhasil melahirkan sebuah laboratorium kecil bagaimana sebuah organisasi pluralistik dapat bertahan memperjuangkan inovasi dengan profesional.

Jumat, 16 Mei 2008

demokratisasi demokrasi

demokrasi adalah cara dan sekaligus tujuan di mana daulat publik pemilik republik ini bisa menentukan kehendak dan cara kehendak diwujudkan. Demokrasi bukan sesuatu yang tabu dikoreksi. Sebab, justru demokrasi akan ampuh dengan kritik dan koreksi.
Bagi saya, demokrasi perlu didemokratisasi--khususnya berkaca pengalaman Indonesia. Mengapa? Pertama, kita terjebak demokrasi prosedural. Artinya, ketika ada pemilu bebas, pers bebas dan parlemen kritis lalu demokrasi selesai. Nyatanya, semua dibajak oleh elite yang justru mendulang ikan di air keruh. Bagi saya, demokrasi harus disempurnakan dengan demokrasi substansial yakni menjadikan rakyat sebagai pemilik sejati. Rakyat diajak dialog dan partisipasi untuk membumikan demokrasi. Kedua, demokrasi kita tidak mengimplikasikan kesejahteraan karena keliru paradigma. Demokrasi yang kita bangun hanya mengejar bagaimana tersedia akses untuk semua terhadap pilar demokrasi tapi lupa untuk mengkantrol warga miskin misalnya, yang tidak memiliki akses setara terhadap pilar demokrasi. Dengan begitu, demokrasi harusnya mampu memperbaiki defisit kemampuan warga untuk memperjuangkan nasib kesejahteraan hidupnya. Untuk itu, pemberdayaan menjadi hal yang niscaya.
Demokrasi memang proses tapi harus di track yang benar. Selama kita masih menuhankan demokrasi prosedural, maka demokrasi bisa jadi memakan anak kandungnya sendiri. Naudzubillah min zalik.

Selasa, 06 Mei 2008

AKSES INFORMASI PUBLIK KENAIKAN BBM?

ADANYA kenaikan harga minyak dunia seakan memaksa pemerintah untuk memilih opsi harga BBM dalam negeri dinaikkan. Alasannya, bila harga BBM tidak naik, beban APBN parahnya mencapai klimaks. Untuk saat ini saja, beban APBN untuk subsidi BBM mencapai Rp. 200 triliun atau seperlima dari produk domestik bruto (PDB).

Masalahnya, tradisi kenaikan harga BBM akan diikuti kenaikan harga barang dan jasa sekaligus mendorong inflasi. Padahal, di sisi lain, kini kita tengah dilanda pula krisis pangan. Nampaknya pemerintah dihadapkan pilihan buah simalakama. Dinaikkan harga BBM, masyarakat terpukul perekonomiannya. Disisi lain, bila harga BBM tidak naik, laju pembiayaan pembangunan melalui APBN terguncang. Sekilas, tidak ada pilihan yang melegakan.

Akses Informasi

Penulis tidak berpretensi untuk terlibat polemik opsi menaikkan harga BBM atau tidak. Alasannya, penulis tidak memiliki keahlian dan kompetensi untuk itu. Namun begitu, penulis hendak menyoroti hal yang umumnya luput dari suatu polemik publik, yakni akses informasi publik. Sejauhmana publik dibanjiri oleh informasi yang jelas, bernas dan sehat dari otoritas resmi berkenaan dengan berbagai opsi menghadapi kenaikan harga minyak dunia. Apakah hanya opsi menaikkan harga BBM merupakan satu-satunya pilihan yang rasional. Atau, ada informasi lain yang disembunyikan sehingga luput untuk ditimbang ketika menentukan suatu kebijakan publik.

Akses informasi publik yang terbuka dan mudah adalah hak asasi yang dijamin oleh berbagai ketentuan kovenan internasional hingga UUD 1945. Hal ini yang mendorong akhir April 2008 lalu, DPR dan Pemerintah menyetujui RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) disahkan menjadi UU. Salah satu tujuan filosofis terbitnya undang-undang KIP adalah “menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan suatu keputusan publik” (Pasal 3).

Masalahnya, pembentukan legislasi dan regulasi saja tidak cukup untuk mendorong keterbukaan akses informasi publik. Perlu penyiapan infra dan supra struktur serta kultur politik yang terbiasa membuka informasi publik sebagai suatu keniscayaan. Dalam kasus pilihan opsi kenaikan harga BBM misalnya, pemerintah seharusnya menyampaikan informasi yang cukup pada publik mengenai berbagai kemungkinan dan alternatif selain menaikkan harga BBM. Selain itu, pemerintah juga harus akuntabel, membuka semua data berkenaan dengan dampak kenaikan harga BBM di masa lalu dan berbagai kebijakan kompensasinya, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), apakah mencapai sasaran atau tidak. Dengan begitu, publik dapat diajak berempati dan turut serta mencarikan solusi bagi penyelesaian krisis BBM ini. Sayangnya, yang terjadi praktik sebaliknya. Publik tidak pernah tahu persis, apakah BLT yang lalu sukses dan dapat mengkompensasi kenaikan harga BBM serta pengorbanan masyarakat untuk itu. Yang terjadi malah meluncurkan paket BLT Plus. Seakan-akan masyarakat dijadikan laboratorium trial and error dari suatu kebijakan publik tanpa mengevaluasi program serupa di masa lalu.

Daulat Publik

Secara teoritis, jaminan akses informasi publik merupakan hak konstitusional yang harus dihormati. Dengan demikian, melalui akses informasi publik, masyarakat dapat turut serta mengontrol kegiatan penyelenggara negara dan mengoreksi kebijakan publik yang merugikan mereka. Tanpa kecukupan informasi, masyarakat tak pernah dapat maksimal berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik.

Akses informasi publik harus terjamin oleh pemerintah tanpa memandang kaya atau miskin. Untuk itu, pemerintah tidak dapat membaca kemiskinan sebagai rendahnya pendapatan semata melainkan pula defisit kemampuan (Amartya Sen, 1999:87-88) sehingga si miskin harus dikatrol kemampuannya, termasuk dalam hal akses informasi publik.

Pada kasus opsi kenaikan harga BBM, bila akses informasi publik berjalan sebagaimana mestinya, maka ada beberapa hal yang harus tersedia di ruang publik. Pertama, data akurat mengenai jumlah penduduk miskin yang dapat diverivikasi, tidak saja oleh instansi pemerintah tapi juga badan internasional (World Bank misalnya). Kedua, berapa jumlah inefisiensi yang terjadi di tubuh instansi pemerintahan selama ini. Dipaparkan pula angka-angka kerugian negara akibat dikorupsi dan asumsi kemungkinan harta koruptor kembali setelah melalui proses hukum. Ketiga, adanya data yang komperhensip kebijakan kompensasi kenaikan harga BBM di masa lalu dan seberapa jauh dampaknya terhadap pengurangan angka kemiskinan.

Dengan ketiga data informasi publik minimal di atas, maka rasionalisasi kenaikan harga BBM dapat diuji. Termasuk pula menyusun berbagai model dan skenario bila harga BBM tidak dinaikkan. Implikasinya, masyarakat akan turut berkontribusi memikirkan strategi yang tepat untuk mengatasi krisis BBM.

Pada akhirnya, menurut penulis, tugas pemerintah tidak berhenti pada memutus kebijakan-kebijakan strategis menyangkut kenaikan harga BBM. Melainkan, lebih dari itu, pemerintah menstimulasi masyarakat untuk secara bersama-sama menangani krisis BBM. Itu hanya mungkin bila tersedia akses informasi publik yang cukup sehingga dapat digunakan untuk menilai kinerja apa yang telah dilakukan pemerintah. Tanpa itu, kebijakan pemerintah hanya akan dibaca sebagai sebuah bentuk prilaku yang cenderung menumbalkan rakyat di lapis paling bawah. Sebuah realitas yang amat berlawanan dengan semangat konstitusi, mensejahterakan kehidupan bangsa.

*R Muhammad Mihradi dikirim untuk Kompas
Printed 7 Mei 2008

Jumat, 02 Mei 2008

berdiskursus

diskursus sebuah model pembentukan wacana yang terus menerus, menggali dan mengendapkan apapun yang ingin ditemukan sembari tidak lekas puas dengan jawaban. dalam diskursus, yang dihargai adalah proses dan perumusan argumentasi. sayang, kita bukan bangsa yang doyan berdiskursus sehat. sebab, dalam berdiskursus, hanya argumen yang paling rasional dan tahan uji, yang berhak untuk senantiasa dipertahankan. sisanya, harus dikesampingkan. nah, problem bagi bangsa yang emosional dan tidak tahan untuk berdialog. dengan begitu, diskursus juga sekaligus menghargai pluralisme dalam melakukan apa yang disebut searching of truth.

Kamis, 24 April 2008

UJIAN NASIONAL (UN) : ANCAMAN BAGI KECERDASAN

Ujian Nasional (UN) adalah bentuk kebijakan publik pemerintah yang paling tidak populer dan memakan banyak korban. Tiga hari ini saya menjadi pemantau Tim Independen yang mengawasi ujian di suatu sekolah. Setelah berdialog dengan intens dengan guru-guru, maka nampak bahwa UN adalah sebuah bentuk proyek yang berbasiskan kelinci percobaannya adalah peserta didik. Coba kita lihat asumsi-asumsi berikut untuk membuktikannya.
Pertama, UN kata pemerintah adalah sebuah bentuk pemetaan kualitas pendidikan. Pertanyaannya, jika pemetaan, kenapa tidak pakai riset saja yang tanpa menggunakan instrumen ujian. Secara sederhana bisa dilakukan penelitian yang validitasnya tinggi tanpa UN. Misalnya, bila gedung sekolahnya jelek, gurunya banyak ngobyek (gajinya kecil), buku tidak tersedia, maka praktiks kualitas pendidikan buruk. Jika, dalam kondisi seperti ini, diterapkan UN lalu nilainya bagus dan lulus semua pasti ada dua kemungkinan: (1) manipulasi atau (2) keajaiban Tuhan pada saat itu mahluk manusia pintar mendadak.
Kedua, UN adalah output dari proses belajar. Pertanyaan mendasar, mengapa proses tidak distandarisasikan sehingga bisa direview pada output. Jika gedung sekolah jelek dan mau ambruk, gurunya banyak ngobyek dan pendidikannya payah, lalu buku tidak tersedia maka harusnya pemerintah mendorong percepatan untuk memfasilitasi agar kondisi ini diubah sehingga bila proses sarana dan prasarana di atas diperbaiki dan mencapai standar maka diterapkan UN menjadi sangat logis dan bijak.
Ketiga, apakah bila UN pesertanya lulus 90 persen maka pendidikan kita bagus? Ini logika buruk yang paling payah untuk kelas profesor sekalipun. Menurut saya, amat janggal bila UN lulus 90 persen lalu dikatakan pendidikan kita oke punya, sementara ada gedung ambruk, guru ngojek, buku tidak tersedia dan prasarana lain buruk tidak memadai. Jadi, UN gagal dijadikan alat menilai kualitas pendidikan.
Keempat, para petinggi di diknas, sadarkah bahwa UN menjadi sarana pelecehan psikologis. Bayangkan, banyak anak-anak siswa yang selama belajar payah dan nilainya jelek, lalu pas UN ajaib bagus semua. Akibatnya, pernah di satu sekolah, peraih nilai UN tertinggi, ditepuktangan dan dilecehkan kawan-kawannya sekelas karena mereka tahu bahwa siswa tersebut adalah siswa yang paling rendah nilainnya selama ini di SMA tersebut. Ini akibat UN menjadi Tuhan yang terus menerus disembah oleh pejabat kita yang amat hobby dengan proyek ujian.
Kelima, tahukah semuanya bahwa dengan UN, kecerdasan manusia lainnya direduksi. Karena, meskipun pandai sastra, jago volli, cerdas untuk menulis, tapi bila fisika dan kimianya jelek, maka ia menjadi makhluk terbodoh di Indonesia.
Nah, pertanyaannya, masih logiskah UN dipertahankan?

Rabu, 16 April 2008

CURHAT

Ketika waktu terasa tersendat, ketika luka terlalu menganga, ketika masa lalu dan sekarang hanya seperti kita terbangun dari tidur dan mimpi maka mungkin sudah saatnya kita curhat. Menatap bahwa kita adalah hasil konstruksi sekaligus dekontruski masa lalu, sekarang dan pengennya nanti. Memang, kesempurnaan seperti bayang-bayang tapi tidak berarti juga bayang-bayang selalu kemustahilan. Kita mungkin hanya seperti puzzle, pecah-pecah, retak sana sini tapi tidak bisa utuh mendefinisikan inilah kita.
Saya teringat, di masa lalu, saya memiliki teman mahasiswi yang kini sudah ngetop, riyanni namanya. pikiran-pikirannya, tertawanya bahkan kegelisahannya sangat inspiring dan mengejutkan. Kadang, sekat dosen-mahasiswa, begitu terbuka dihadapannya. Dengan meminjam media dunia maya, saya dapat menjumpai gagasannya yang tekstual maupun kontekstual. isu-isu sensitif seperti liberalisme dalam gagasan perempuan ataupun perasaan-perasaan murung terhadap dunia yang sangat berbau maskulin, dibedah dengan santai, dengan tekanan emosi datar sana-sini.
Bagi saya, semua kekayaan yang tak pernah habis dieksploitasi. Saya rindu masa silam seperti itu karena kini, rasanya hidup demikian kering dengan lautan rutinitas.
entahlah

Minggu, 13 April 2008

Pelestarian Hutan Rawa Gambut & Kayu Ramin

SAAT INI, krisis hutan rawa gambut dan kayu ramin memasuki babak yang cukup tragis. Pemerintah memasukkan dalam CITES Appendix III untuk kayu ramin sebagai species pohon yang mulai langka. Kayu ramin sendiri dihasilkan oleh hutan rawa gambut yang makin mengalami deforestasi meluas. Pembalakan liar semakin meneguhkan bencana ekologis ini. Pemerintah sendiri, untuk merespon hal dimaksud telah menerbitkan Kepmenhut No.127/Kpts-V/2001 tentang Moratorium Penebangan dan Perdagangan Kayu Ramin.
Problematikanya yakni, kebijakan pemerintah tidaklah komperhensip. Sebab, belum dilakukan kajian komperhensip berkenaan dengan ancaman kelangkaan kayu ramin, kondisi hutan rawa gambut dan seberapa besar kontribusi kerusakan diakibatkan oleh pembalakan liar atau juga oleh yang memiliki izin namun overeksploitasi. Akibat tidak utuhnya kajia komperhensip maka penerbitan keputusannya pun terkesan simptom belaka.
Memang, ada beberapa ketentuan terkait yang merumuskan untuk hutan rawa gambut dengan ketebalan tiga meter lebih merupakan kawasan lindung (Keppres 32/1990) yang tidak diperkenankan eksploitasi. Namun praktiknya, sering diterobos juga hal ini. Disisi lain, menurut M Faiz Barchia (2005) potensi lahan gambut untuk pertanian masih dimungkinkan namun harus diperhatikan karakteristik gambut sebagai lahan yang marjinal dan mudah terdegrafasi (fragile land).
Di masa depan, perlu ada komperhensip kajian yang kemudian dituangkan dalam kebijakan hukum spesifik mengenai hutan rawa gambut dan perlindungan terhadap kayu ramin. Hal ini untuk mewujudkan konsistensi kebijakan pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan yang memadukan antara pemanfaatan ekonomi dan pelestarian lingkungan sebagaimana roh dari UU Lingkungan Hidup (23/1997) dan UU Kehutanan (43/1999).
(Renungan dari program kajian hutan rawa gambut proyek ITTO Bogor, Maret-April 2008).

Selasa, 08 April 2008

Reproduksi Harapan

Saya Pikir, harapan harus direproduksi. Sebab, ia bukan barang statis. Ia juga tergantung ikhtiar dan doa. Selama dunia ada dan nafas ada maka harapan bisa merealitas. Nah untuk itu, perlu juga sekali-kali membongkar dan mendefinisi ulang, apakah harapan kita ke depan, jika gagal, buat lagi yang baru dan maju terus. Hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti kata dewa demikian. benar juga sih.

Selasa, 01 April 2008

Transisi Tak Pernah Konsolidasi Demokrasi

Kita tentu ingin marah, semua harga naik, pemerintah seperti libur bekerja, semua tidak ada yang berpihak pada publik. Namun, apa daya, kekuatan dan kualitas demokrasi kita begitu rapuh sehingga sulit untuk mencari peluang memperbaiki kondisi ekonomi yang buruk. Akses satu-satunya bisa jadi pemilu tapi susahnya dengan minimnya relasi dan pemahaman kita pada track record wakil kita maka sulit melahirkan wakil publik yang otentik.
Demokrasi nampak tertatih-tatih. Harapan memang selalu ada, namun realistis dan upaya juga perlu ditimbang dan diikhtiarkan agar demokrasi melembaga. Sekarang atau nanti.

Jumat, 28 Maret 2008

KENANGAN

Bagi saya kenangan adalah sinyal bahwa kita manusia. Mahluk lain tidak punya kenangan. Kenangan berceceran di cetak di lantai. Harapan pun saling rajut dengan awan. Kenangan membuat kita terasa makin ada. Kenangan jangan kau pergi, sebab tanpa itu, aku tiada.

Selasa, 25 Maret 2008

Perspektif Wimar ANTV Hadir Lagi

Khabar penting bagi saya, pa wimar hadir lagi di perspektif an tv. Sebagai mantan tamunya pa wimar di acara perspektif sctv, tanggal 17 juni 1995, saya merasakan banget kedahsyatan perspektif wimar yakni pada kelugasan, kritis dan tidak pernah mau menggunakan bahasa terselubung. Nah, saya teringat, saat syuting, pa wimar saat itu menegaskan, "mihradi, anda tentukan saat sekarang, anda mau jalan terus atau tidak untuk syuting perspektif, sebab meski direkam, tidak ada editan untuk setiap paparan". Dengan begitu, luar biasa, karena zaman orde baru, editan di program tv biasa khususnya bila menyinggung penguasa dan pak wimar dikenal anti edit yang akhirnya berujung pada penutupan program perspektif sctv setelah mewawancarai gus dur kalau tidak salah. Kini, ia hadir lagi, pagi-pagi berbagai sesuatu ditengah menguapnya kita dan igauan yang terus menerus. dahyat deh.

CURICULUM VITAE Fresh banget

Nama Lengkap : RADEN MUHAMMAD MIHRADI, S.H., M.H.
Tempat/Tanggal Lahir : Bogor, 12 Agustus 1974
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum
Universitas Pakuan, Bogor.
Gol/Jab.Fungsional : IIIb/Asisten Ahli
Alamat Kantor : Jl. Pakuan, Po Box 452 Bogor
Alamat Rumah : Perumahan Cimanggu Permai
Jl. Gajah Mada I, Blok BVIII No. 4
Bogor
Telp Rumah : (0251) 338743
Hand Phone : 081 599 48 101
Blog : http://www.mihradi.blogspot.com
E-mail : discourse@telkom.net/
Lawyer93@plasa.com

Pendidikan

- S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor (Lulus 1997).
- S2 Ilmu Hukum, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Tarumanagara
Jakarta (Lulus 2008).

Penghargaan

- Mahasiswa Teladan Universitas Pakuan, Bogor (1995)
- Wakil Mahasiswa Indonesia pada Program Perspektif-SCTV (Host Wimar Witoelar) (17 Juni 1995).
- Sarjana Berprestasi Universitas Pakuan, Bogor (1997).
- Lulusan “Dengan Pujian” Program Magister Ilmu Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta (2008).









Pengalaman Akademis

- Anggota Tim Juri Lomba Karya Tulis Ilmiah Bidang Hukum Lingkar Diskusi Ilmiah Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Bulan Karya Ilmiah 2006, di Depok, 19 Mei 2006.

- Anggota Tim Juri Lomba Karya Tulis Ilmiah Bidang Hukum Lingkar Diskusi Ilmiah Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Bulan Karya Ilmiah 2007, di Depok, 2 Maret 2007.


Riwayat Pekerjaan Mengajar

- Staf Pengajar (Tetap) Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor (1998-sekarang) dengan mata kuliah: Hukum Administrasi Negara, Hukum Administrasi Negara Dalam Yurisprudensi, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Hukum Konstitusi, Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Antropologi Budaya.

- Staf Pengajar (Tidak Tetap) Akademi Teknologi Bogor (2002-sekarang) dengan mata kuliah: Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan.

- Staf Pengajar (Tidak Tetap) Universitas 17 Agustus Jakarta, Kampus II dengan mata kuliah Hukum Administrasi Daerah.



Riwayat Pekerjaan Konsultan

1. Konsultan, Tenaga Ahli dan Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi versi Non Governmental Organization dengan support Partnership-UNDP dibawah kontrak Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Jakarta, Tahun 2002-2003.

2. Konsultan dan Tenaga Ahli Penyusunan Rancangan Undang-Undang Batas Wilayah, dibawah kontrak Badan Legislasi DPR, Setjen DPR dan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor dengan support Parliamentary Support UNDP (Maret-Juni 2003).




3. Konsultan, Peneliti dan Tim Penyusun Cetak Biru (Blue Print) Mahkamah Konstitusi RI, Program Kemitraan Mahkamah Konstitusi RI dan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Jakarta dengan support Yayasan Tifa dengan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan dari Ketua Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2004-2005.

4. Konsultan, Tim Peneliti dan Koordinator Riset “Penguatan Kapasitas Legislasi Yang Partisipatif” dibawah kontrak Forum Kajian Hukum Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor dan Yayasan Tifa dengan Lokasi Riset DPR Pusat di Jakarta, DPRD Propinsi Sulawesi Selatan, DPRD Provinsi Jawa Tengah, DPRD Kota Malang dan DPRD Kota Pekalongan (2004-2006).

5. Konsultan dan Tenaga Ahli Penyusunan Draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Retribusi Rumah Sakit Malingping Banten dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengarusutamaan Gender dan Rancangan Draft Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daera (DPRD) Provinsi Banten dibawah kontrak PT Palupuh Consulindo dan Sekretariat DPRD Provinsi Banten (2005-2006).

6. Konsultan dan Tenaga Ahli Pendamping Panitia Khusus (Pansus) DPRD Provinsi Banten dalam Seleksi Panitia Pengawas (Panwas) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi Banten (2006).

7. Konsultan dan Tim Peneliti Studi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB) dikontrak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Jakarta denga support Uni Eropa (European Union) (2006).

8. Tim Peneliti Eksaminasi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dalam kasus suap Harini, dikontrak Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Jakarta dengan support Uni Eropa (European Union) (2006).

9. Konsultan dan Tenaga Ahli Tidak Tetap di DPRD Kota Bogor dibawah kontrak Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN) Jakarta untuk Draft Raperda Retribusi Bangunan (10-31 Mei 2006), Raperda Ketertiban Umum (12-24 Mei 2006), Raperda Bangunan (8 Maret-8 Mei 2006) dan Naskah Akademik serta Pasal-Pasal Raperda Penyelenggaraan Pendidikan (5-22 Desember 2006).

10. Konsultan dan Tenaga Ahli Hukum Naskah Akademis dan Draft Review Perda IMB dan Perda Izin Peruntukan Tanah dengan kontrak Dinas Tata Kota Pemda Kota Tangerang (Oktober 2007-Januari 2008).

11. Konsultan dan Tenaga Ahli Hukum untuk Pengkajian Penyusunan Peta Jalur Penangkapan Ikan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat dengan kontrak PT Sinar Sakti Nusaraya dan Direktorat Sumber Daya Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan RI (November 2007-Januari 2008).

11. Anggota Tim Kajian Review Kebijakan Hutan Rawa Gambut dan Kayu Ramin dengan program dari International Tropical Timber Organization (ITTO) (Februari-Maret 2008).


Pelatihan dan Penataran Yang Diikuti

1. Peserta, Pelatihan Nasional Dosen Pendidikan dan Filsafat Pancasila PTN/PTS Se-Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten, diselenggarakan oleh Ditjen Dikti Depdiknas dan Pusat P5 UPT Bidang Studi Universitas Padjajaran Bandung (9-13 Juli 2001).

2. Narasumber (Speaker), Pendidikan dan Pelatihan Hukum Pemerintahan dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) (I) untuk kalangan Karyawan Pemda Kota Bogor, diselenggarakan oleh Forum Kajian Hukum Fakultas Hukum Universitas Pakuan dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Bogor (Agustus 2003).

3. Peserta, Training Operator Data Entry Penghitungan Suara Pemilu 2004 di DKI Jakarta, diselenggarakan oleh Konsorsium Data Entry Penghitungan Suara dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Hotel Nikko Jakarta (12-26 Februari 2004).

4. Narasumber(Speaker), Pendidikan dan Pelatihan Hukum Pemerintahan dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) (II) untuk kalangan Karyawan Pemda Kota Bogor, diselenggarakan oleh Forum Kajian Hukum Fakultas Hukum Universitas Pakuan dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Bogor (11-14 Oktober 2004).





Seminar/Lokakarya/Diskusi Ilmiah
(Yang Diikuti/Antara Lain)

- Fasilitator, Dialog Pemuda Nasional “Aktualisasi Semangat Politik Kaum Muda”, Presidium Mahasiswa Universitas Islam Bandung, 26-27 Juli 1995.

- Narasumber, Arountable Discussion, “Amandment of 1945 Constitution”
diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) di Wisma PKBI, Jakarta 22 Maret 2001.

- Fasilitator, Diskusi Draft III RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik diselenggarakan oleh Koalisi Kebebasan Informasi Publik, Dempo Kebayoran Baru Jakarta, 4 Juli 2001.

- Narasumber, Diskusi Publik “Urgensi Konstitusi Baru”, diselenggarakan oleh Koalisi Untuk Konstitusi Baru, Hotel Kempinsky Jakarta, 25 Juli 2001.

- Undangan Aktif, Konferensi Internasional “Review of Constitution Institution to Promote Suistanable Democracy in Indonesia” diselenggarakan oleh IDEA, Hotel Kempinsky, Jakarta 16-17 Oktober 2001.

- Peserta Expert Meeting, Koalisi Konstitusi Baru, Di Jakarta, 13-14 Februari 2002.

- Peserta Diskusi Kebijakan Negara dan Hukum, Penyelenggara Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Wisata Jakarta, 22 April 2002.

- Tim Perumus, Finalisasi Critical Review Hasil Amandemen UUD 1945, Penyelenggara Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Jl Mendut Jakarta, 18 Agustus 2002.

- Fasilitator dan Tim Perumus, Expert Meeting Program Memfasilitasi Partisipasi Publik Dalam Pembuatan RUU Mahkamah Konstitusi, Penyelenggara Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Logos dan Patnership UNDP, Hotel Pangrango 2 Bogor, 1-3 Nopember 2002.




- Fasilitator dan Tim Perumus, Expert Meeting II Program Memfasilitasi Partisipasi Publik Dalam Pembuatan RUU Mahkamah Konstitusi, Penyelenggara Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Logos dan Patnership UNDP, Hotel Treva Jakarta 21 Nopember 2002.

- Fasilitator dan Tim Perumus, Seminar dan Lokakarya RUU Mahkamah Konstitusi Program Memfasilitasi Partisipasi Publik Dalam Pembuatan RUU Mahkamah Konstitusi, Penyelenggara Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Logos dan Patnership UNDP, di Wisma Nusantara Pontianak Kalimantan, 6-7 Januari 2003.

- Fasilitator dan Tim Perumus, Diskusi Terbatas Tim Perumus II RUU Mahkamah Konstitusi Program Memfasilitasi Partisipasi Publik Dalam Pembuatan RUU Mahkamah Konstitusi, Penyelenggara Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Logos dan Patnership UNDP, di Hotel Cemara Jakarta, 17-19 Januari 2003.

- Narasumber, Expert Meeting I RUU Mahkamah Konstitusi Program Memfasilitasi Partisipasi Publik Dalam Pembuatan RUU Mahkamah Konstitusi, Penyelenggara Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Logos dan Patnership UNDP, di Jakarta, 3-4 Juni 2003.

- Peserta Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pansus RUU Mahkamah Konstitusi Program Memfasilitasi Partisipasi Publik Dalam Pembuatan RUU Mahkamah Konstitusi, DPR RI 5 Juni 2003.

- Narasumber, Talkshow Radio Interaktif, Program Mendorong Terbentuknya Mahkamah Konstitusi, Kantor Berita Radio 68 H Jakarta, 9 Juni 2003.

- Fasilitator dan Tim Perumus, Diskusi Publik RUU Mahkamah Konstitusi Program Memfasilitasi Partisipasi Publik Dalam Pembuatan RUU Mahkamah Konstitusi, Penyelenggara Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Logos dan Patnership UNDP, di Hotel Indonesia Jakarta, 3 Juli 2003.

- Konsultan dan Tim Perumus Meeting Penyusunan Blue Print Mahkamah Konstitusi, Penyelenggara Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Yayasan Tifa dan Mahkamah Konstitusi RI, Hotel Cemara Jakarta, 10 Agustus 2004.


- Konsultan dan Tim Perumus Meeting Konsultasi Ahli Penyusunan Blue Print Mahkamah Konstitusi, Penyelenggara Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Yayasan Tifa dan Mahkamah Konstitusi RI, Hotel Maharadja Jakarta, 26 Agustus 2004.

- Koordinator Pertemuan Hearing dengan Ketua Baleg DPR RI untuk Program Penguatan Kapasitas Legislasi di DPR RI 23 November 2004.

- Narasumber Focus Group Discussion, “Partisipasi Dalam Legislasi Nasional” penyelenggara Koalisi Balegdanas dengan sponsor Yayasan Tifa, Restoran Nelayan Jakarta, 13 September 2005.

- Narasumber Seminar “Partisipasi Dalam Legislasi Nasional” penyelenggara Koalisi Balegdanas dengan sponsor Yayasan Tifa, Semarang, 15 September 2005.

- Narasumber, Diskusi Interaktif Radio El Shinta Jakarta,kasus amandemen UUD 1945 (Oktober 2005) dan Kasus Baasyir (Desember 2005).

- Narasumber Seminar “Memimpikan Legislasi Nasional yang Partisipatif” penyelenggara Koalisi Balegdanas dengan sponsor Yayasan Tifa, Hotel Harris Jakarta, 16 Februari 2006.

- Narasumber, Diskusi Sosialisasi Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, diselenggarakan oleh Pemda Kota Bogor, di Balaikota Bogor, Kamis, 31 Mei 2007.

- Narasumber, Diskusi Terbatas Kajian Perubahan UUD 1945 versi DPD, Kamis, 28 Februari 2008, di Jakarta dan diselenggarakan oleh Indonesian Legal Rountable (ILR).

- Narasumber, Focus Group Discussion, RUU Pengadilan Tipikor, Hotel Sofjan Betawi, 13 Maret 2008 diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional.

- Narasumber, Diskusi Terbatas “Mengkaji Perda Pajak dan Retribusi Daerah: Antara Rezim Hukum Pemda dan Hukum Pajak”, diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara dan MAP Law Firm, di Gedung LPP-HAN Martapura Jakarta, 18 Maret 2008.



Karya Tulis

Puluhan artikel tersebar di mass media lokal dan nasional (Radar Bogor, Terbit, Suara Pembaruan dan Kompas) serta Jurnal Keadilan.

Publikasi Buku

No.
Judul Buku
Penerbit
Tahun
Keterangan
1
Perspektif Bersama Wimar Witoelar
Yayasan Obor Indonesia Jakarta
1995
Kontributor Interview
2
Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen
Pustaka Sinar Harapan bekerja sama dengan Koalisi Konstitusi Baru
2002
Sumbang Tulisan
3
Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan UU Mahkamah Konstitusi
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Patnership
2003
Tim Penulis
4
Hukum dan Kuasa Konstitusi: Catatan-Catatan Untuk Pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan The Asia Foundation
2004
Sumbang Tulisan
5
Cetak Biru Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi RI, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Yayasan Tifa
2004
Tim Penulis
6
Menimbang Kapasitas Legislasi: Studi Penguatan Kapasitas Legislasi Yang Partisipatif
Forum Kajian Hukum FH Univ. Pakuan, Pusat Telaah dan Informasi Regional dan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional
2006
Editor dan Tim Penulis






7
Pegangan Ringkas Pemenuhan HAM Pendidikan dan Kesehatan di Daerah
Pusat Telaah dan Informasi Regional dan European Initiative for Democracy and Human Rights (EIDHR) European Union
2006
Tim Penulis bersama Mimin Rukmini dan Editor Buni Yani
8
Pengantar Memahami Hak Ekosob
Pusat Telaah dan Informasi Regional dan European Initiative for Democracy and Human Rights (EIDHR) European Union
2006
Tim Penulis
Dengan Editor Buni Yani
9
Memahami Dasar-Dasar
Hukum Administrasi Negara Dalam Yurisprudensi
Forum Kajian Hukum FH Univ. Pakuan
2006
Penulis