Kamis, 16 Oktober 2008

HILANGNYA KEAGUNGAN MAHKAMAH AGUNG

Oleh Maman S Mahayana dan R Muhammad Mihradi
( Di Kirim Ke Kolom Teroka Harian Kompas)

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan UU Mahkamah Agung, saat ini sedang dalam proses penggodokan DPR dan Pemerintah. Tarik ulur, negosiasi, kompromi sambil main mata, dan berbagai kepentingan lain, niscara mewarnai pembahasan materi RUU itu. Salah satu isu sentral yang menimbulkan polemik adalah usulan adanya perpanjangan usia pensiun hakim agung hingga mencapai 70 (tujuh puluh) tahun. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 11 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA), dirumuskan bahwa batas usia pensiun hakim agung adalah 65 tahun dan dapat diperpanjang sampai umur 67 tahun dengan syarat “memiliki prestasi luar biasa” serta sehat jasmani dan rohani berdasarkan keterangan dokter.
Dalam Penjelasan Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 2004 tersebut dinyatakan bahwa “yang dimaksud dengan prestasi luar biasa dalam ketentuan ini, diatur dalam ketentuan MA sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Jelas, perumusan penjelasan Pasal 11 merupakan norma kabur dan cenderung dapat sewenang-wenang, karena penilaian mengenai “memiliki prestasi luar biasa” ternyata diserahkan kepada ketentuan yang dibuat MA sendiri. Ibarat pepatah “jeruk makan jeruk”, MA dinilai oleh dirinya sendiri.
Mengingat posisi MA –Mahkamah Agung—yang mengandaikan keagungan sebuah mahkamah, maka masalah usia pensiun hakim agung merupakan hal yang krusial dan rentan. Salah satu penyebabnya, menyangkut kualitas putusan dan kaderisasi di lingkungan peradilan. Bagi manusia, usia di atas 60 tahun adalah masa senja yang rawan. Secara fisik, ia tak lagi prima. Secara intelektual, ia umumnya tak cukup cakap lagi menghasilkan pemikiran cemerlang. Dan secara psikologis, ia kian dirundung kecemasan akan datangnya malaikat pencabut nyawa. Sebagai sunatullah, 80 % umat manusia di dunia ini, berakhir pada usia senja itu. Pada usia itu, manusia cenderung bersikap sangat subjektif, sekadar cari kemapanan, hidup tanpa gejolak, dan tak punya keberanian untuk segera memutuskan hal-hal penting yang mendesak. Segala gerakannya sudah makin lambat, karena berkecenderungan cari selamat. Itulah sebabnya, usia pensiun di negara mana pun di dunia, berkisar pada usia 60 tahun.
***
Persoalan yang lebih esensial dari usia pensiun hakim agung adalah bagaimana mensinergikan independensi peradilan dengan akuntabilitasnya plus integritas. Ketentuan Pasal 24, Ayat (1) UUD 1945 (Pasca-Perubahan) menegaskan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Konon, seperti ditulis Bagir Manan yang kini Ketua MA, kekuasaan kehakiman merupakan cabang pemerintahan negara terlemah dibandingkan cabang legislatif dan eksekutif. Legislatif memiliki hak anggaran, sedangkan eksekutif didukung sejumlah aparat pemerintah mulai dari polisi, jaksa hingga administrasi negara. Sedangkan kekuasaan kehakiman tidak memiliki itu. Bahkan, dalam melaksanakan putusannya pun, kekuasaan kehakiman tergantung pada pemerintah (eksekutif) (LelP, “Andai Saya Terpilih: Janji-Janji Calon Ketua MA dan Wakil Ketua MA,” 2002: 14).
Dengan konstruksi lemahnya kekuasaan kehakiman, sementara fungsinya begitu luhur dan mulia, yakni menegakkan hukum dan keadilan, maka MA perlu didukung sistem, manajemen dan kontrol kekuasaan kehakiman yang kokoh, berwibawa, dan segar. Di sinilah letak persoalannya. Hingga saat ini, kekuasaan kehakiman masih dinilai berpotensi korup dan mudah disuap.
Berbagai kasus suap mewarnai perjalanan kekuasaan kehakiman justru terjadi pada periode reformasi. Terakhir, kasus dugaan suap yang dilakukan Probosutedjo yang sempat menerpa Bagir Manan selaku Ketua MA, meski sampai kini belum terbukti secara yuridis. Belum lagi pelbagai putusan MA yang masih dianggap tidak saja mencederai keadilan masyarakat, bahkan boleh dikatakan, menistakan peraturan perundang-undangan. Ini dapat dilihat pada Putusan MA No. 02P/KPUD/2007 tentang perintah melakukan Pilkada ulang di Gowa, Bone, Bantaeng dan Tana Toraja, padahal berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, MA hanya berwenang menyelesaikan perselisihan hasil suara dengan kembali menghitung ulang hasil Pilkada dan bukan memerintahkan Pilkada ulang.
Ironisnya lagi, di tengah karut-marut dunia peradilan kita, beberapa hakim agung mengalami perpanjangan usia pensiun dari 65 tahun ke 67 tahun. Dengan begitu, semua hakim agung dianggap telah memiliki prestasi luar biasa. Lalu, prestasi apakah yang telah dihasilkan MA, kecuali merosotnya kepercayaan publik pada lembaga itu?
Di sisi lain, independensi peradilan dari pengaruh politik sudah semakin jauh berkurang dibandingkan masa Orde Baru. Kini, semua peradilan tunduk di bawah satu atap MA. Hakim bukan lagi pegawai negeri, melainkan pejabat negara di semua level. Gaji dinaikkan amat-sangat signifikan dan kesejahteraan makin membahagiakan.
Rupanya, kekuasaan kehakiman saat ini hanya berhasil merebut independensinya, tetapi gagal melembagakan akuntabilitas dan integritas. Dalam konteks peristiwa tragis ini, maka usulan perpanjangan usia pensiun menjadi 70 tahun di dalam RUU revisi UU MA semakin menggenapkan epistemologi problem kekuasaan kehakiman yang lebih absurd dari kehidupan alam gaib.
***
Bagi para wakil rakyat, inilah momentum yang baik untuk mengembalikan kepercayaan publik. Caranya, dengan memangkas usia pensiun hakim agung, kalau perlu maksimal hanya 60 tahun. Tentu saja itu didasari segudang syarat agar tercapai kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan.
Bagaimanapun, pembahasan RUU tentang Revisi UU MA harus dikembalikan pada karakteristik hukum yang sesungguhnya sebagai “produk proses pemaknaan akal budi dan hati nurani terhadap hasil persepsi manusia tentang situasi kemasyarakatan tertentu dalam kerangka pandangan hidup, keyakinan keagamaan dan keyakinan etis dengan berbagai nilainya yang dianut” (B Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, 1999: 186). Situasi kemasyarakatan kini menghendaki usia pensiun tak diperpanjang hingga 70 tahun, mengingat dari sudut pandang apa pun telah menyalahi kodrat alam.
Pembentukan hukum, tentu saja tak sekadar unjuk kepiawaian memanfaatkan kekuasaan parlemen yang diakhiri dengan voting, melainkan juga didasari kearifan (wisdom) dan kecerdasan penalaran yang disokong aspirasi dan harapann publik. Lewat langkah itu, satu klaim diuji terus-menerus hingga mencapai kesepakatan trans-kelompok yang tidak mempan dikotori uang, manipulasi, dan tekanan.
Jika akhirnya hukum produk DPR dan Pemerintah tetap memaksakan kehendak, menyangkal nalar publik dan melawan situasi psikologis masyarakat, maka produk hukum itu hanya berkadar yuridis, tanpa legitimasi sosiologis. Sekadar akal-akalan yang tak masuk akal. Tentu saja selain tidak sehat bagi perkembangan hukum, pola seperti ini juga mengancam demokrasi. Untuk itu, jeritan publik sepantasnya diperhatikan para legislator kita. Dan MA legowo menimbang sunatullah dan kondrat alam, agar tidak kehilangan keagungannya. (Maman S Mahayana dan R Muhammad Mihradi, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor)

2 komentar:

Stevie Marley mengatakan...

iya saya setuju disinilah harusnya publik dapat melihat dan meninjau bagaimana sebuah instansi pemerintah memonopoli suatu UU, dengan kata lain adanya "sisi politik"

tetapi perpanjangan umur seorang hakim atau pun penilaian dari suatu prestasi yang menjadi syarat pertambahan umur memang sudah di atur dan bersifat legitim atau dengan kata lain para hakim harus membuat kontrak hidup pada tuhan untuk memperpanjang umurnya

"jeruk makan jeruk"
menurut perspektif filasafat n ajaran rosul nabi muhammad saw musuh yang paling besar adalah dirinya sendiri, seseorang dikatakan bisa berorientasi dirinya sendiri atau menilai diri sendiri, menemukan potensi pada dirinya dan mengevaluasi kesalahannya.........

www.pikiran-mahasiswa.blogspot.com

Mihradi Cendikia mengatakan...

Dahsyat. Stevie bisa menukik pada letak persoalannya. Masalah esensial justru pada keinginan mengawetkan usia hakim sampai umur 70 tahun, dikala--sunnatullahnya--di usia tersebut produktivitas makin lamur.
Nah, dalam konteks dan persepsi begitu, Stevie bisa mengambil peran, bersama saya dan teman-teman se-ide, untuk terus "menggonggong", mengkritik ancaman bagi kristalisasi kekuasaan tanpa kontrol. Hal ini tentu dengan pola, potensi dan kapasitas kita masing-masing.
Dengan begitu, siapa tahu, masyarakat madani idaman kita bisa dipercepat progresnya. Setidaknya melembagakan dalam cara berpikir dan bertindak kita di dalam menegara. (Ntah kenapa saya kok banyak seide dengan stevie, mungkin hati kita sudah satu gelombang hehehe)