Kamis, 16 Oktober 2008

persepsi

dalam membaca teks pasti timbul persepsi. Misal, ada seonggok berita gosip, paramitha rusady selingkuh...ini adalah teks, lalu dipersepsikan lain-lain. Bisa timbul persepsi, wah itu sensasi biar artis yang sudah lama karatan ini muncul lagi ke publik. Bisa juga timbul komment lain, kenapa paramitha selingkuh, suami sudah keren begitu dan sebagainya.
Dalam tradisi filsafat, keragaman persepsi tadi lumrah. Cuman, biar manfaat bagi publik maka mesti dicari (1) teks apa yang pantas masuk dan dikomentari publik dan (2) alur argumentasi ketika berpersepsi bagaimana.
Nah, kiranya keterampilan kita memilih dan memilah dan menajamkan argumentasi harus menjadi tradisi kuat di bangsa ini. Sebab, virus infotaintment seringkali meledakkan ruang akal sehat kita ketika memilih dan memilah tadi. Sehingga, tanpa terasa kita beku, terhegemoni oleh wacana media yang dibangun dan dikontrol atas nama ruang emosional tanpa reserve.
Ikhtiar untuk terus jernih seharusnya menjadi "tradisi peradaban" bangsa sakit ini.

Tidak ada komentar: