Selasa, 06 Mei 2008

AKSES INFORMASI PUBLIK KENAIKAN BBM?

ADANYA kenaikan harga minyak dunia seakan memaksa pemerintah untuk memilih opsi harga BBM dalam negeri dinaikkan. Alasannya, bila harga BBM tidak naik, beban APBN parahnya mencapai klimaks. Untuk saat ini saja, beban APBN untuk subsidi BBM mencapai Rp. 200 triliun atau seperlima dari produk domestik bruto (PDB).

Masalahnya, tradisi kenaikan harga BBM akan diikuti kenaikan harga barang dan jasa sekaligus mendorong inflasi. Padahal, di sisi lain, kini kita tengah dilanda pula krisis pangan. Nampaknya pemerintah dihadapkan pilihan buah simalakama. Dinaikkan harga BBM, masyarakat terpukul perekonomiannya. Disisi lain, bila harga BBM tidak naik, laju pembiayaan pembangunan melalui APBN terguncang. Sekilas, tidak ada pilihan yang melegakan.

Akses Informasi

Penulis tidak berpretensi untuk terlibat polemik opsi menaikkan harga BBM atau tidak. Alasannya, penulis tidak memiliki keahlian dan kompetensi untuk itu. Namun begitu, penulis hendak menyoroti hal yang umumnya luput dari suatu polemik publik, yakni akses informasi publik. Sejauhmana publik dibanjiri oleh informasi yang jelas, bernas dan sehat dari otoritas resmi berkenaan dengan berbagai opsi menghadapi kenaikan harga minyak dunia. Apakah hanya opsi menaikkan harga BBM merupakan satu-satunya pilihan yang rasional. Atau, ada informasi lain yang disembunyikan sehingga luput untuk ditimbang ketika menentukan suatu kebijakan publik.

Akses informasi publik yang terbuka dan mudah adalah hak asasi yang dijamin oleh berbagai ketentuan kovenan internasional hingga UUD 1945. Hal ini yang mendorong akhir April 2008 lalu, DPR dan Pemerintah menyetujui RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) disahkan menjadi UU. Salah satu tujuan filosofis terbitnya undang-undang KIP adalah “menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan suatu keputusan publik” (Pasal 3).

Masalahnya, pembentukan legislasi dan regulasi saja tidak cukup untuk mendorong keterbukaan akses informasi publik. Perlu penyiapan infra dan supra struktur serta kultur politik yang terbiasa membuka informasi publik sebagai suatu keniscayaan. Dalam kasus pilihan opsi kenaikan harga BBM misalnya, pemerintah seharusnya menyampaikan informasi yang cukup pada publik mengenai berbagai kemungkinan dan alternatif selain menaikkan harga BBM. Selain itu, pemerintah juga harus akuntabel, membuka semua data berkenaan dengan dampak kenaikan harga BBM di masa lalu dan berbagai kebijakan kompensasinya, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), apakah mencapai sasaran atau tidak. Dengan begitu, publik dapat diajak berempati dan turut serta mencarikan solusi bagi penyelesaian krisis BBM ini. Sayangnya, yang terjadi praktik sebaliknya. Publik tidak pernah tahu persis, apakah BLT yang lalu sukses dan dapat mengkompensasi kenaikan harga BBM serta pengorbanan masyarakat untuk itu. Yang terjadi malah meluncurkan paket BLT Plus. Seakan-akan masyarakat dijadikan laboratorium trial and error dari suatu kebijakan publik tanpa mengevaluasi program serupa di masa lalu.

Daulat Publik

Secara teoritis, jaminan akses informasi publik merupakan hak konstitusional yang harus dihormati. Dengan demikian, melalui akses informasi publik, masyarakat dapat turut serta mengontrol kegiatan penyelenggara negara dan mengoreksi kebijakan publik yang merugikan mereka. Tanpa kecukupan informasi, masyarakat tak pernah dapat maksimal berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik.

Akses informasi publik harus terjamin oleh pemerintah tanpa memandang kaya atau miskin. Untuk itu, pemerintah tidak dapat membaca kemiskinan sebagai rendahnya pendapatan semata melainkan pula defisit kemampuan (Amartya Sen, 1999:87-88) sehingga si miskin harus dikatrol kemampuannya, termasuk dalam hal akses informasi publik.

Pada kasus opsi kenaikan harga BBM, bila akses informasi publik berjalan sebagaimana mestinya, maka ada beberapa hal yang harus tersedia di ruang publik. Pertama, data akurat mengenai jumlah penduduk miskin yang dapat diverivikasi, tidak saja oleh instansi pemerintah tapi juga badan internasional (World Bank misalnya). Kedua, berapa jumlah inefisiensi yang terjadi di tubuh instansi pemerintahan selama ini. Dipaparkan pula angka-angka kerugian negara akibat dikorupsi dan asumsi kemungkinan harta koruptor kembali setelah melalui proses hukum. Ketiga, adanya data yang komperhensip kebijakan kompensasi kenaikan harga BBM di masa lalu dan seberapa jauh dampaknya terhadap pengurangan angka kemiskinan.

Dengan ketiga data informasi publik minimal di atas, maka rasionalisasi kenaikan harga BBM dapat diuji. Termasuk pula menyusun berbagai model dan skenario bila harga BBM tidak dinaikkan. Implikasinya, masyarakat akan turut berkontribusi memikirkan strategi yang tepat untuk mengatasi krisis BBM.

Pada akhirnya, menurut penulis, tugas pemerintah tidak berhenti pada memutus kebijakan-kebijakan strategis menyangkut kenaikan harga BBM. Melainkan, lebih dari itu, pemerintah menstimulasi masyarakat untuk secara bersama-sama menangani krisis BBM. Itu hanya mungkin bila tersedia akses informasi publik yang cukup sehingga dapat digunakan untuk menilai kinerja apa yang telah dilakukan pemerintah. Tanpa itu, kebijakan pemerintah hanya akan dibaca sebagai sebuah bentuk prilaku yang cenderung menumbalkan rakyat di lapis paling bawah. Sebuah realitas yang amat berlawanan dengan semangat konstitusi, mensejahterakan kehidupan bangsa.

*R Muhammad Mihradi dikirim untuk Kompas
Printed 7 Mei 2008

Tidak ada komentar: