Rabu, 18 Juni 2008

Demonstrasi, Demokrasi dan Kekerasan

Pasca naiknya harga BBM, demonstrasi marak di mana-mana. Bahkan, di luar isu BBM, demonstrasi telah mengarah pada kekerasan. Ini yang terjadi pada insiden Monas yang melibatkan perseteruan Aliansi Kebangsaan Untuk Kemerdekaan dan Kebebasan Beragama (AKKBB) dan Front Pembela Islam (FPI). Jubir Istana, Andi Malarangeng mengatakan, demonstrasi adalah bunga-bunga demokrasi, tapi jika anarki maka harus ditindak.

Bagi penulis, bangsa ini memang sudah sakit. Ditengah cekaman krisis, kekerasan pun turut menyertai. Paling menyedihkan, bergesernya demonstrasi sebagai instrument demokrasi menuju praktik anarki dan kekerasan. Dan, yang memprihatinkan, pemerintah pun terlibat anarki melalui sejumlah kebijakan publik yang minus partisipasi publik. Sayangnya, untuk anarki model terakhir, tiada sanksi yang bisa menjeratnya.

Komunikasi Politik

Demonstrasi atau unjuk rasa, hakikatnya adalah bentuk komunikasi politik. Umumnya bisa dengan dialog. Namun bila dialog macet, maka demonstrasi seakan pilihan tak terelakan. Jika demonstrasi dilakukan dengan simpatik dan santun, tentu akan berpotensi membuka mata dan hati penguasa. Bila anarki, sulit penguasa bisa mengolahnya dengan jernih.

Dalam kasus demonstrasi kenaikan BBM, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah. Pertama, pesan mahasiswa melalui demonstrasi tidak cukup hanya ditampung dan diserap, namun lebih dari itu harus dibaca sebagai tuntutan untuk melahirkan kebijakan publik yang cerdas dan rendah resiko. Andaipun kebijakan public yang keliru telah berjalan, maka demonstrasi tadi harus juga dipahami sebagai dukungan untuk mengoreksi.

Kedua, demonstrasi harus dilihat sebagai sinyal dan bukan esensi. Artinya, kebijakan publik yang tidak pro pada rakyat itulah yang harus dijadikan esensi untuk diperbaiki. Andaipun demonstrasi berubah jadi anarki, maka itu tidak berarti esensi di atas kehilangan daya gugatnya.

1

Tentu akan timbul permasalahan. Darimana dan bagaimana menentukan mana kebijakan publik pro rakyat dan mana yang bukan. Sebab, umumnya, semua berbalut dan mengatasnamakan “demi kepentingan rakyat”. Menjawab permasalahan ini tidak mudah. Namun, sebaiknya, pemerintah dan masyarakat dapat menggunakan pemikiran John Rawls dalam Theory of Justice tentang original position. Menurut John Rawls, keadilan dapat didekati jika semua membuta dirikan dari kepentingan dan beranjak dari posisi asli tanpa kepentingan. Dengan begitu, komunikasi menjadi terbuka. Andaipun kepentingan harus ada dan hadir di sana, maka sebaiknya diarahkan pada satu tujuan yakni “kebaikan bersama” dengan saling terbuka.

Khittah Demokrasi

Demokrasi adalah cara sekaligus tujuan. Semua keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dibicarakan juga oleh orang banyak. Dengan demikian, keputusan yang diputus segelintir tanpa mengajak dan mempertimbangkan pendapat orang banyak merupakan pencideraan terhadap demokrasi. Model implementasi demokrasi sendiri bisa bermacam-macam, tapi hakikatnya satu. Kedaulatan pada orang banyak tanpa menafikan hak kaum marjinal.

Demokrasi membebaskan dan mengikatkan pada pertanggungjawaban. Apapun pilihan, resiko harus diemban. Melalui mekanisme demokrasi, semua alternatif, baik keunggulan maupun kelemahan dapat ditampilkan. Dengan begitu, dapat mengeliminir tingkat resiko dan menaikkan potensi ke arah kebaikan bersama.

Di dalam demokrasi, pasti banyak perdebatan dan perbedaan. Itu semua harus diselesaikan melalui dialog. Demokrasi mengharamkan kekerasan, melegalkan perbedaan juga keragaman. Untuk mengawetkan demokrasi, hukum menjadi instrumen pengikat dan eksekutor nilai-nilai demokrasi. Sebab, demokrasi membutuhkan kekuasaan yang telah mengalami proses peradaban (civilization) yakni melalui hukum. Dengan begitu, hukum menjadi wajah dari demokrasi yang terealisasi. Tentu saja, dengan syarat, hukumnya konsisten ditegakkan dan membawa esensi keadilan sekaligus ketertiban secara seimbang.

Dalam kasus kenaikan BBM maupun masalah insiden Monas, seharusnya dijadikan sarana kontrol koreksi bagi semua pihak. Jika demokrasi tidak dipatuhi rambu-rambunya yang telah mengalami legalisasi ke dalam bentuk hukum maka sulit sebagai bangsa dapat terekat kembali. Alternatif yang sehat pun akan terkubur. Dan, kekerasan tidak pernah menyelesaikan, kecuali mereproduksi kekerasan baru. Kembali ke khittah demokrasi nampak menjadi keharusan untuk menyelamatkan dari keterpurukan.

*Penulis, Anggota Pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta & Pengajar FH Universitas Pakuan, Bogor.

2

Tidak ada komentar: