Rabu, 18 Juni 2008

SUPERMARKET KEADILAN

ISU mafia peradilan sudah lama terdengar. Sejak Orde Baru, isu mafia peradilan selalu didengungkan. Banyak fihak yang menyangkal, tapi tidak sedikit pula mengakui. Kini, isu itu nampak mendekati kenyataan yang semakin vulgar. Rekaman percakapan Artalyta Suryani (Ayin) dengan petinggi Kejaksaan Agung beberapa saat setelah penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan semakin menegaskan hantu mafia peradilan itu memang ada. Suap menyuap rupanya telah mengakar lama pada lembaga penegak hukum, termasuk kejaksaan.

Semua pihak yang setia pada kebenaran tentu saja marah. Nasib bangsa yang terpuruk perekonomiannya, ternyata salah satunya disebabkan oleh menggilanya praktik korupsi dan suap menyuap. Keadilan sudah seperti supermarket. Siapa yang punya uang maka ia bisa membeli. Semua terlihat demikian kejam sekaligus memalukan.

Ekonomisasi Hukum

Bila berkaca pada doktrin ekonomi yang bernama permintaan (demand) dan penawaran (supply), maka mafia peradilan hadir karena pasar kriminal membutuhkan itu. Ketika kejahatan sudah sedemikian canggih dan berada di posisi penjahat berdasi (white collar crime), siklus pasar yang mempertemukan oknum aparat dan masyarakat pelaku kriminal bertemu di sebuah titik yang menyepakati transaksi melegitimasi kejahatan untuk diubah menjadi kebaikan. Seorang Ayin dicoba diselamatkan, selain sebagai sebuah komitmen transaksi kriminal tadi, juga untuk “diduga” menyelamatkan orang sejenis yang duduk di dalam maupun di luar lembaga penegak hukum. Untungnya, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) keburu menangkapnya. Namun, bukan berarti, KPK pun tidak perlu kita waspadai. Sebab, dalam percakapan telepon Ayin, Ketua KPK, Antasari pun disebut-sebut. Dalam konteks mafia peradilan, semua sinyalemen harus dijadikan petunjuk dengan tetap memegang asas praduga tak bersalah.

Berkenaan dengan konteks ekonomisasi hukum, ada pelajaran penting dari kasus Ayin. Pertama, korupsi sudah mengakar akut dan perlu terapi kejut yang dahsyat. Mungkin, bila pelaku koruptor terbukti di peradilan, kiranya perlu dipertimbangkan untuk dijatuhi pidana mati agar menimbulkan efek jera. Kedua, korupsi adalah hasil pertemuan antara supply dan demand. Jika yang kita tangkap dan serius adili hanya oknum aparat, maka rasanya itu jauh dari cukup. Yang mendesak pula adalah mendidik masyarakat agar tidak pernah mau bersahabat dalam bentuk korupsi sekecil apapun. Sebab, aparat dan negara ini merupakan produk dari masyarakatnya. Masyarakat korup melahirkan negara yang korup juga. Jika masyarakat anti korupsi, praktis oknum aparat korup pun tidak akan membuka praktek lagi.

Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terkuaknya kasus korupsi di level kejaksaan agung harus dimaknai tidak sekedar tamparan, melainkan juga dorongan untuk lebih ganas membasmi korupsi. Jika perlu, mencopot Jaksa Agung dan mengadopsi orang-orang bersih serta berintegritas untuk menggantinya. Lalu, diberikan batas waktu dan target-target kepada Jaksa Agung baru untuk memperbaiki dan mereformasi seluruh aparat kejaksaan agung. Bagi penulis, sudah tidak ada lagi toleransi untuk mempertahankan Jaksa Agung yang sekarang karena sudah di level orang-orang terdekatnya yang terlibat.

Darurat Korupsi dan Harapan

Sudah saatnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang menyatakan darurat korupsi. Dengan begitu menjadi sarana untuk secara total football membasmi korupsi. Komitmen amat dinantikan untuk itu. Cara yang paling strategis, di dalam Perpu di atas dicantumkan pula adanya beban pembuktian terbalik di awal penyidikan terhadap tersangka koruptor. Dengan begitu, beban pembuktian bukan ada di penyidik melainkan pada tersangka. Ini memudahkan di dalam proses pidana. Setelah itu menerbitkan pula aturan yang bersifat memaksa bagi aparat penegak hukum, yakni Jaksa maupun KPK untuk menuntut pidana mati bagi setiap pelaku koruptor yang angka korupsinya cukup tinggi. Diharapkan dampak “ketakutan” untuk korupsi dapat menjadi sarana efektif.

Terlepas dari semua itu, bagi penulis, kasus Ayin melahirkan harapan. Pertama, adanya keterbukaan informasi sehingga gerak gerik pelaku korupsi mudah dibongkar, diadili dan dipermalukan. Kedua, adanya gerakan publik yang akan semakin marah terhadap korupsi dan menjadikan indikator komitmen pemberantasan korupsi sebagai alat memilih pemimpin bangsa. Ketiga, adanya kalkulasi baru bagi koruptor yang nekad di dalam melakukan kejahatan sebab transparansi yang begitu kuat memudahkan untuk mematikan prilakunya.

Ketiga harapan di atas bagi penulis adalah modal sosial yang harus diambil oleh Presiden Susilo Bambang Yudhono. Sebab, diantara raport merah kebijakannya, tinggal pemberantasan korupsi yang berpeluang memperbaiki kredibilitasnya. Berbagai alternatif kebijakan yang penulis paparkan dapat dijadikan pertimbangan untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebab, 2009 (Pemilu) sudah semakin dekat.

*R Muhammad Mihradi,
Penulis, Anggota Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta dan Pengajar FH Universitas Pakuan, Bogor. (dikirim ke harian Kompas) 18 juni 2008

Tidak ada komentar: