Kamis, 24 April 2008

UJIAN NASIONAL (UN) : ANCAMAN BAGI KECERDASAN

Ujian Nasional (UN) adalah bentuk kebijakan publik pemerintah yang paling tidak populer dan memakan banyak korban. Tiga hari ini saya menjadi pemantau Tim Independen yang mengawasi ujian di suatu sekolah. Setelah berdialog dengan intens dengan guru-guru, maka nampak bahwa UN adalah sebuah bentuk proyek yang berbasiskan kelinci percobaannya adalah peserta didik. Coba kita lihat asumsi-asumsi berikut untuk membuktikannya.
Pertama, UN kata pemerintah adalah sebuah bentuk pemetaan kualitas pendidikan. Pertanyaannya, jika pemetaan, kenapa tidak pakai riset saja yang tanpa menggunakan instrumen ujian. Secara sederhana bisa dilakukan penelitian yang validitasnya tinggi tanpa UN. Misalnya, bila gedung sekolahnya jelek, gurunya banyak ngobyek (gajinya kecil), buku tidak tersedia, maka praktiks kualitas pendidikan buruk. Jika, dalam kondisi seperti ini, diterapkan UN lalu nilainya bagus dan lulus semua pasti ada dua kemungkinan: (1) manipulasi atau (2) keajaiban Tuhan pada saat itu mahluk manusia pintar mendadak.
Kedua, UN adalah output dari proses belajar. Pertanyaan mendasar, mengapa proses tidak distandarisasikan sehingga bisa direview pada output. Jika gedung sekolah jelek dan mau ambruk, gurunya banyak ngobyek dan pendidikannya payah, lalu buku tidak tersedia maka harusnya pemerintah mendorong percepatan untuk memfasilitasi agar kondisi ini diubah sehingga bila proses sarana dan prasarana di atas diperbaiki dan mencapai standar maka diterapkan UN menjadi sangat logis dan bijak.
Ketiga, apakah bila UN pesertanya lulus 90 persen maka pendidikan kita bagus? Ini logika buruk yang paling payah untuk kelas profesor sekalipun. Menurut saya, amat janggal bila UN lulus 90 persen lalu dikatakan pendidikan kita oke punya, sementara ada gedung ambruk, guru ngojek, buku tidak tersedia dan prasarana lain buruk tidak memadai. Jadi, UN gagal dijadikan alat menilai kualitas pendidikan.
Keempat, para petinggi di diknas, sadarkah bahwa UN menjadi sarana pelecehan psikologis. Bayangkan, banyak anak-anak siswa yang selama belajar payah dan nilainya jelek, lalu pas UN ajaib bagus semua. Akibatnya, pernah di satu sekolah, peraih nilai UN tertinggi, ditepuktangan dan dilecehkan kawan-kawannya sekelas karena mereka tahu bahwa siswa tersebut adalah siswa yang paling rendah nilainnya selama ini di SMA tersebut. Ini akibat UN menjadi Tuhan yang terus menerus disembah oleh pejabat kita yang amat hobby dengan proyek ujian.
Kelima, tahukah semuanya bahwa dengan UN, kecerdasan manusia lainnya direduksi. Karena, meskipun pandai sastra, jago volli, cerdas untuk menulis, tapi bila fisika dan kimianya jelek, maka ia menjadi makhluk terbodoh di Indonesia.
Nah, pertanyaannya, masih logiskah UN dipertahankan?

Tidak ada komentar: