Senin, 04 Juni 2012

Republik Tanpa Publik

Pada 31 Mei 2012 sebuah kegiatan penting (setidaknya bagi saya) berlangsung. Dialog Mengenai Hukum dan Politik dan sekaligus Peluncuran Buku Republik Tanpa Publik Pasca Reformasi: Retaknya Relasi Negara, Hukum dan Demokrasi karya saya, R Muhammad Mihradi yang diterbitkan Pusat Studi Hukum dan Demokrasi FH Universitas Pakuan. Bagi saya ini berkah luar biasa. Buku diluncurkan dalam diskusi yang hangat dan menarik. Dr. Bima Arya Sugiarto (Pengamat Politik dan Ketua DPP PAN) menjadi narasumber diskusi selain saya, dihadiri oleh pimpinan fakultas, mahasiswa, media dan undangan lain. Dahsyat, di Aula Soepomo FH Universitas Pakuan Bogor. Tentu ada budi baik dari penyelenggara yakni Panitia PLKH XXXV FH Universitas Pakuan, yang dipimpin saudara Denny.
Apa yang menarik dari dialog dan peluncuran diatas. Pertama, ada relasi kuat antara hukum dan politik. Moralitas ontologis keduanya beranjak dari soal keadilan dan kepentingan bersama. Sayangnya, di era reformasi, hukum dan politik saling khianat. Politik asyik dengan syahwat melegitimasi kepentingan segelintir elite dan korup. Hukum demikian juga, terjebak diskriminasi penegakan, tajam ke bawah, tumpul ke atas serta mandul dalam memberantas korupsi. Kedua, republik mulai kehilangan publiknya sebagai sumur aspirasinya. Republik ditunggangi oleh kaum jahat yang hendak membawa negeri ini hanya sekedar politik transaksional diantara elite-elite yang makin membusuk hingga saat ini. Ketiga, ada harapan bahwa yang serba buruk di atas bisa punah. Syaratnya: membangun pulau integritas, dikalangan kaum muda dan masyarakat, mendorong penguatan kompetensi dan penanaman nilai-nilai yang sebenarnya sudah dimiliki, berupa landasan falsafah Pancasila. Semua adalah proses yang menuntut ketekunan dan konsisten. Tidak mudah tapi tidak juga mustahil.
Menyoal Penempatan TKI di Luar Negeri
Masalah TKI yang bekerja di luar negeri adalah persoalan klasik yang tak pernah tuntas di negeri murung ini. Dari aspek hukum, terdapat payung hukum utama melalui UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang secara konsepsi mencoba memberikan dasar legal penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri baik pra, masa penempatan hingga purna penempatan. Di samping undang-undang, dipastikan terbit regulasi pendukung lain, seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden maupun peraturan menteri. Problemnya, landasan hukum saja tidak cukup. Perlu konsistensi merealisasikannya, meskipun, terdapat plus minus di UU No.39 Tahun 2004 yang mendesak di revisi di masa depan.
Yang pasti, lingkaran rumit pengiriman TKI berawal dari dalam negeri. Rendahnya pendidikan calon TKI yang didominasi lulusan SD (hampir 50% lebih), pelatihan yang minim, calo dari oknum Perusahaan Pelaksana TKI Swasta (PPTKIS) yang gentayangan, yang sembarangan mengirimkan TKI ke luar negeri tanpa kompetensi, pembekalan dan pertanggungjawaban perlindungannya. Negara dipastikan bekerja pula melakukan perlindungan. Ada direktorat jenderal Bina Penta Kemenakertrans, ada BNP2TKI dan belum pelbagai satgas yang dibentuk. Namun, Indonesia adalah negara yang tidak pernah cukup bila didekati semata-mata struktural. Selalu ada persoalan-persoalan kultural yang tidak habis-habis. Mental suap. dugaan pemerasan di bandara-bandara. Hingga daya tahan yang bebal dari PPTKIS untuk terus menerus mengeksploitasi TKI tanpa pertanggungjawaban. Pemerintah telah menindak namun yang belum terjaring masih ada.
Pada akhirnya, mesti ada suatu 'lompatan' luar biasa berupa kebijakan yang "super serius" dari semua pihak, konsistensi dan keikhlasan. Sebab, ini merupakan realitas yang harus dituntaskan. Dan bukan hanya sekedar menjadi wacana tanpa akhir.
Ntahlah....

Selasa, 21 Juni 2011

Bersama Komite III DPD RI

Ada suasana baru. Sudah hampir satu tahun bersama Komite III Dewan Perwakilan Daerah RI. Persahabatan ditengah tumpukan makalah, coppy-an flash disk atau keringat letih. Berbagai haru dan kadang mesti agak sabar ketika pilu menyambangi, dengan tetap wajah tersenyum. Banyak pengetahuan saling sapa. Pikiran-pikiran lepas tentang buruh migran yang tragis: dianiaya hingga pidana mati. Atau kritik galak soal Ujian Nasional (UN) yang rutin menimbulkan korban, namun terus dipaksakan dilaksanakan. Belum lagi menatap pikiran-pikiran para menteri, anggota dewan atau nara sumber pakar-pakar yang bertitel profesor, doktor dan seterusnya.
Menarik. Suasana baru, refleksi baru dan menggagas hal baru.
Hari ini, ketika menuliskan, di Hotel Mercure Ancol, letih menjumpaiku dengan amat sangat. Namun, melihat sahabat yang tegar, rasa letih menyurut.
Aku, waktu dan lalu, kini tengah "bersama Komite III DPD RI"

Rabu, 08 Desember 2010

anomali demokrasi

seringkali demokrasi menimbulkan anomali, khususnya bila kita tidak disiplin pada rule of game, dan tiga nilai dasarnya: kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Paket yang tidak bisa terpisah adalah pendalaman demokrasi baik politik maupun ekonomi. entahlah!

Senin, 05 April 2010

Refleksi

Kadang kita tidak sepenuhnya paham apa-apa yang kita singkap dari realitas. Perlu refleksi, menjaga jarak dengan rutinitas. Memelihara rasionalitas dengan tetap memuja Sang Khaliq, sumber segala rasionalitas dan iman kita. Semua memang bukan hal sederhana. Dan, kita seringkali juga tidak dapat memastikan apakah semua baik-baik saja. Namun, sekali lagi, refleksi merupakan kunci. Memungut hikmah dalam semua peristiwa.

Kamis, 10 Desember 2009

KOMISI YUDISIAL DITENGAH MAFIA HUKUM

Oleh R Muhammad Mihradi
Peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) Cetak Biru Komisi Yudisial
& Dosen FH Universitas Pakuan, Bogor


DIHENTIKANNYA proses hukum terhadap Bibit dan Chandra oleh Kejaksaan merupakan bukti nyata bahwa mafia hukum dan makelar kasus (markus) di lembaga penegakan hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, benar-benar ada. Bukan isapan jempol. Penting dan patut dicermati, tidak hanya di tubuh kepolisian dan kejaksaan, bau tidak sedap soal mafia hukum dan markus. Lembaga peradilan mengidap kegawatan serupa. Hal tadi mendorong hadirnya lembaga Komisi Yudisial (KY) ditengah isu mafia hukum. Meski nyaris tak terdengar, KY sesungguhnya memiliki potensi memberantas mafia hukum dan markus di lingkungan peradilan.

Pasca pembatalan beberapa pasal-pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY) oleh Mahkamah Konstitusi, memang praktis lembaga KY didesak mereposisi diri. Beberapa pasal tersisa masih berdetak terkait dengan pengusulan pengangkatan hakim agung kepada DPR. Sementara untuk kewenangan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, perlu dirumuskan indikator dan tolok ukurnya melalui revisi UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY.

Kini, KY tengah berikhtiar di segala keterbatasannya menyusun cetak biru (blue print) KY. Penyusunan sudah dimulai sejak Juli 2009. Melibatkan akademisi, praktisi dan jejaring. Melacak respon ke berbagai daerah. Mewawancarai sekian banyak pemangku kepentingan (stake holders) seperti kalangan hakim, anggota parlemen, praktisi hukum hingga lembaga swadaya masyarakat, pers dan akademisi. Penyusunan cetak biru itu sendiri berarti mesti memperhatikan prakondisi ketentuan yang lemah terkait eksistensi fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim. Paling strategis dan penting, bagaimana keterbatasan tidak menjadi kendala. Justru, merupakan ranah “pembuktian” bahwa KY memiliki komitmen serius menuju reformasi peradilan berkelanjutan (sustainability). Bukan malah KY dihilangkan, misalnya.

***
Ada beberapa isu menarik untuk dibahas terkait dengan kelembagaan KY. Pertama, soal mekanisme rekrutmen hakim agung. Semula, kualitas hakim agung sempat disandarkan pada isu pro kontra antara hakim karier dan non karier. Masalahnya, ternyata bukan disitu. Sebab, bukti menunjukkan, dilembaga Mahkamah Agung hingga saat ini, baik hakim karier maupun non karier tidak menunjukkan prestasi luar biasa. Meski, Bagir Manan semasa menjabat Ketua MA, nekad memperpanjang masa pensiunnya dengan dasar prestasi luar biasa (dan dimungkinkan di UU MA yang ada waktu itu).

Namun, sayang tidak ada kategori yang presisi apa itu prestasi luar biasa. Padahal, saat perpanjangan dilakukan, Bagir Manan belum usai didera isu suap Harini-Probosutedjo. Mungkin, KY perlu memikirkan terobosan yang lebih sehat. Misalnya, memperkuat investigasi calon hakim agung. Memilih kemungkinan untuk progresif menjaring calon hakim agung. Tidak selalu melalui mekanisme formal melainkan informal. Ini sebenarnya telah dilakukan. Tinggal ditingkatkan kapasitasnya. Diantaranya dengan meminjam mata dan telinga rekan-rekan media dan lembaga swadaya masyarakat misalnya.

Kedua, bagaimana KY dapat melakukan peran lebih signifikan untuk menghambat tumbuh suburnya mafia hukum dan makelar kasus (markus) dilingkungan peradilan. Strateginya bisa berbagai macam.Tidak mesti selalu represif. Dengan komunikasi yang baik antara MA dan KY, sesungguhnya dapat dibangun sebuah sinergitas membentuk instrumen penangkal mafia hukum dan markus tanpa harus saling mengoyak independensi masing-masing. Program nyata, kuat dan koheren merupakan kata kuncinya.

Ketiga, seberapa jauh KY memiliki sumber daya manusia (SDM) yang handal untuk mampu melakukan tugas dan wewenangnya yang serba terbatas. Masalah SDM tidak hanya menyangkut kompetensi dan renumerasi. Lebih dari itu, SDM juga menyangkut kapabilitas, progresifitas serta integritas. Kasus anggota KY tertimpa musibah korupsi paling tidak menunjukan sinyal perlunya kerja keras membangun apa yang disebut integritas. Mungkin melalui pengawasan internal-eksternal dan pembentukan pakta integritas yang terlembagakan bisa jadi jembatannya.

Keempat, membangun jejaring (networking). Harus diakui, KY tidak dapat berdiri sendiri. Ia membutuhkan jejaring publik yang luas. Dengan begitu, keterbatasan dapat dijembatani. Dalam konteks ini, KY mungkin tidak boleh mudah alergi dengan pelbagai respon jejaring yang belum tentu positif. Kritik pahit bisa jadi obat mujarab buat masa datang. Untuk itu, membangun relasi harmonis-etis tapi kritis dapat didorong sebagai resep melewati masa sulit.

***
Dalam kerja-kerja KY, dirasakan masih terdapat ganjalan. Khususnya pada perdebatan, apakah putusan hakim dapat dieksaminasi sebagai pintu masuk untuk melacak adakah pelanggaran terhadap ketentuan kode etik hakim. Bagi MA, putusan hakim adalah mahkota. KY sebaiknya tidak masuk dalam teknis yudisial putusan hakim. Sebaliknya, KY memandang, justru dugaan praktik-praktik kotor ”mafia hukum” berselimut di jubah ”putusan hakim”. Bagi KY, putusan hakim bukan benda keramat yang tidak bisa disentuh. Yang penting, tidak mempengaruhi independensi hakim memutus dan keberlakuan putusan hakim itu sendiri. Ke depan, mendesak dipikirkan medium tepat untuk menyelesaikan debat konsepsional di atas sehingga terdapat kesepahaman antara KY dan MA.

Sebagus apapun ide, tetap menjadi wacana bila tidak ada rencana aksi serta realisasi. Cetak Biru KY merupakan suatu harapan agar hal-hal indah bisa lebih konkrit. Tentu, perlu peta dan kompas untuk itu. Peta dimaksudkan sebagai potret bagaimana carut marut KY kini serta peluangnya. Sedangkan kompas boleh dikatakan sebagai pedoman aktualisasi. Bisa dalam bentuk visi-misi jernih, tidak muluk, terukur sekaligus dapat direalisasikan sesuai amanat konstitusi.

Tidak mudah memang menjalankan sesuatu amanah. Sebab, badai korupsi serta peluang maladministrasi seringkali lebih menggoda. Namun, ikhtiar membangun kelembagaan, sistem dan perangkat SDM tangguh dapat menjadi benteng mencegah anasir-anasir buruk. Ini memang proses, tapi telah dimulai dengan baik. Cetak biru KY diharapkan menjadi pembuka. Bukan akhir dan hanya menjadi tumpukan dokumen macan kertas belaka.

Alamat Rumah
Perumahan Cimanggu Permai, Jl Gadjah Mada I Blok B8 No.4 Bogor, telp 08159948101.

Senin, 02 November 2009

LAWAN KORUPSI

korupsi adalah kanker jahat. Merusak sel-sel nadi berbangsa. Kini, ikon pemberantas korupsi kita sedang diserang. Bibit-Chandra ditahan. Untuk itu, mari bela KPK untuk hari depan tanpa koruptor. Kini dan nanti. Bebaskan Indonesia dari korupsi