Pelbagai literatur, baik buku standar Edward Inskeep, Tourism Planning (1991), hingga Mc Tyre mengenai Sustainable Tourism (1993) memberikan sinyal adanya hal yang perlu direspon oleh dunia pariwisata yakni efek negatif yang tak diharapkan dari pariwisata. Sebab, pariwisata sebagai sistem yang kompleks, baik bisa ditafsirkan sebagai aktivitas ataupun industri, memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif tentu saja, pariwisata membuka lapangan kerja, mendorong persamaan hak perempuan melalui pekerjaan, menciptakan dana buat pelestarian cultural heritage dan terjadi cross cultural antar bangsa. Namun, efek negatifnya ada. Potensi pencemaran baik limbah, kebisingan maupun erosi nilai-nilai kultural suatu masyarakat.
Untuk mengantisipasi hal demikian, diadopsilah konsep pariwisata berkelanjutan. Dalam makna demikian, pariwisata harus memperhatikan kesinambungan kehidupan generasi kini dan masa datang, keseimbangan antara pemanfaatan sisi ekonomi dengan proteksi ekologi dan keseimbangan pula terhadap proteksi nilai-nilai cultural heritage maupun mata pencarian penduduk lokal di suatu destinasi pariwisata.
Mc Tyre memberikan deskripsi menarik pada program sustainable tourismnya Canada. Disana, di suatu desa yang dihuni 200 penduduk Eskimo, didorong pembangunan pariwisata berbasis masyarakat. Komitmennya adalah bahwa masyarakat lokal turut merencanakan hingga implementasi program pembangunan pariwisata. selain itu, dibangun pemberdayaan melalui edukasi agar masyarakat lokal dapat memanajerial pengembangan destinasi pariwisata, dibangun pula center-center informasi dan mengakarkan tradisi untuk menjaga lingkungan.
Ke depan, Indonesia kiranya perlu memaksimalkan respon pariwisata yang berkelanjutan baik dari sisi lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi. Dengan demikian, pariwisata membawa berkah.
Untuk itu, departemen pariwisata dan kebudayaan dapat menjadi leading sector untuk mendorong penguatan konsepsi pariwisata berkelanjutan dengan melibatkan stake holder yang lain. Sebab, kini dan masa depan adalah era green tourism yang merupakan roh dari sustanaible tourism.
Senin, 26 Januari 2009
Sabtu, 10 Januari 2009
ISRAEL LAKNATULLAH
Israel sebuah negara kutukan. Ia telah dikutuk di pelbagai kitab suci dan kini oleh manusia yang beriman di seluruh dunia. Sebuah negara dan bangsa yang alpa atau amnesia bahwa ia pernah di masa Hitler dimasukkan ke kamp konsentrasi, ditelanjangi, disiksa, dibunuh semena-mena. Lalu, dengan modus serupa Hitler, bahkan mungkin lebih kejam, dengan senjata kimia dan pelbagai rudal menghantam Palestina, sebuah negeri seribu malaikat. Palestina tak berdaya. Doa dan bantuan mengalir--tapi tak terlalu cukup untuk menghentikan kebiadabannya. Dan, negara super power Amerika pun ternyata tak punya nyali. Hanya abstain di DK PBB manakala resolusi gencatan senjata menuntut. Karena bayi merah tak berdosa, ibu-ibu tak berdaya dan ribuan warga sipil Palestina terlalu mahal dikorbankan untuk ketamakan Israel. Israel laknatullah, Moga Allah menurunkan pertolongan.
Hak Asasi Manusia model apa lagi yang sanggup "kau jual" wahai Amerika, ketika diam sejuta bahasa manakala Israel meluluhlantakan negeri sejuta kesucian. Mana Obbama?
The real terrorist is Israel, tanpa banyak kata dan air mata.
Hak Asasi Manusia model apa lagi yang sanggup "kau jual" wahai Amerika, ketika diam sejuta bahasa manakala Israel meluluhlantakan negeri sejuta kesucian. Mana Obbama?
The real terrorist is Israel, tanpa banyak kata dan air mata.
Selasa, 30 Desember 2008
Merenung Menuju 2009
2008 bila kita bermusahabah (mengevaluasi diri) pasti hidup penuh dinamika. Ada luka-suka. Ada cemas juga malas. Namun, 2008 ditutup datangnya zionis zalim Israel yang dengan mudah mematahkan kodrati kemanusiaan sebagai insan beradab. Palestina luka.
Luka serupa dalam kapasitas berbeda juga dialami PKL Jakarta. Ditertibkan dan dipaksa jika masih mau usaha di Blok M Square dengan ongkos sewa mahal.
Semua luka. Akses keadilan gelap.
Tapi, karena kita punya harapan. Karena Illahi menengok pada pihak termarjinal. Karena iman itu lebih mahal dari segalanya, maka doa dahsyat kita dengan kuat dihunjam, MOGA 2009 LEBIH BAIK DARI INI SEMUA.
Luka bertumbuh mekar dan berharap berubah menjadi suka. Seperti sukanya anak muda bertemu pasangan dicintanya. Seperti bahagianya Rabiah Al Adawiyah merindukan KekasihNya, Allah Taala, seperti tangis kita bersimpuh disajadah menyesali dosa yang kelewat banyak.
Allah Yang Tahu atas misteri di ruang gelap batin kita yang paling kelam dan terpojok sana. Wallahualam bis sawab
Luka serupa dalam kapasitas berbeda juga dialami PKL Jakarta. Ditertibkan dan dipaksa jika masih mau usaha di Blok M Square dengan ongkos sewa mahal.
Semua luka. Akses keadilan gelap.
Tapi, karena kita punya harapan. Karena Illahi menengok pada pihak termarjinal. Karena iman itu lebih mahal dari segalanya, maka doa dahsyat kita dengan kuat dihunjam, MOGA 2009 LEBIH BAIK DARI INI SEMUA.
Luka bertumbuh mekar dan berharap berubah menjadi suka. Seperti sukanya anak muda bertemu pasangan dicintanya. Seperti bahagianya Rabiah Al Adawiyah merindukan KekasihNya, Allah Taala, seperti tangis kita bersimpuh disajadah menyesali dosa yang kelewat banyak.
Allah Yang Tahu atas misteri di ruang gelap batin kita yang paling kelam dan terpojok sana. Wallahualam bis sawab
Minggu, 07 Desember 2008
Potensi PAD Bogor
Kemarin, Prof. Edi Mulyadi di depan DPRD Kota Bogor menggelontorkan gagasan bahwa PAD Bogor masih bisa didonkrak. Baginya, harusnya, kemacetan menjadi berkah bagi bogor. Sebab, dari parkir saja sudah berapa rupiah yang dapat ditangguk. Belum jika kebon raya dapatdirebut dari LIPI ke Pemda Bogor. Belum lagi, jumlah SPBU yang belum tentu laporan pajaknya benar-benar otentik karena harus diakurkan dengan D.O-nya yang dipesan dari pertamina.
Bahkan, yang lebih menarik dari pemikiran beliau, PKL jika dibuat tertib, diberi kios dan kemudahan, maka dengan retribusinya bisa melahirkan omzet PAD berlipat.
Sayang, nampaknya konservatisme masih menjamur. Kalangan dewan mengeluh, PAD bogor segitu-gitunya terus. Bagi saya, kita butuh terobosan agar PAD Bogor meningkat--kotanya yang saya maksud, dan diawasi penggunaannya untuk kepentingan publik yang luas.
Bahkan, yang lebih menarik dari pemikiran beliau, PKL jika dibuat tertib, diberi kios dan kemudahan, maka dengan retribusinya bisa melahirkan omzet PAD berlipat.
Sayang, nampaknya konservatisme masih menjamur. Kalangan dewan mengeluh, PAD bogor segitu-gitunya terus. Bagi saya, kita butuh terobosan agar PAD Bogor meningkat--kotanya yang saya maksud, dan diawasi penggunaannya untuk kepentingan publik yang luas.
Usaha Kecil dan Menengah
Pada 3 Desember lalu, saya mengikuti seminar tentang penerapan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN. Salah satu pembicara adalah dari departemen koperasi dan usaha kecil dan menengah, kalau tidak salah, pak priambodo namanya.
Ada hal menarik. (1) Usaha Kecil Menengah (UKM) secara statistik merupakan usaha yang mencapai hampir 90 persen dari total usaha yang ada di Indonesia. (2) asumsi statistik ini makin menarik ketika dalam praktik, UKM, seperti pedagang kaki lima (PKL) justru malah diberantas dimana-mana dengan alasan ketertiban tanpa disediakan alternatif untuk berdagang layak. Kita justru terlalu "mengabdi" pada 10 persen usaha besar yang kini sebagian besar nafasnya menanti ajal akibat serangan krisis finansial global. (3) tanpa disadari, pemda di seluruh Indonesia umumnya "khilaf" bahwa PKL tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika ia ditata, diberi kios layak dengan harga terjangkau lalu dikenakan retribusi, dijamin, mereka adalah potensi penghasilan asli daerah (PAD) yang paling dahsyat...melebihi mall-mall dan supermarket yang seringkali pandai memanipulasi pajak. (4) Keberpihakan memang mulai terasa dengan berbagai program pemberdayaan UKM seperti PNPM, PKBL, kredit lunak dan sebagainya tapi itu akan kontraprestasi dengan praktik pemberantasan PKL di atas. (4) manajemen kalbu yang arif dan sensitif terhadap masalah publik kiranya kunci sukses dari pemimpin yang ingin membangun kotanya tidak sekedar hanya "pekerjaan rutin" tanpa inovasi.
Dahsyat....andai semua bisa dibangun dengan mantra sim sala bim saja. Tapi, memang hidup adalah perjuangan....
Ada hal menarik. (1) Usaha Kecil Menengah (UKM) secara statistik merupakan usaha yang mencapai hampir 90 persen dari total usaha yang ada di Indonesia. (2) asumsi statistik ini makin menarik ketika dalam praktik, UKM, seperti pedagang kaki lima (PKL) justru malah diberantas dimana-mana dengan alasan ketertiban tanpa disediakan alternatif untuk berdagang layak. Kita justru terlalu "mengabdi" pada 10 persen usaha besar yang kini sebagian besar nafasnya menanti ajal akibat serangan krisis finansial global. (3) tanpa disadari, pemda di seluruh Indonesia umumnya "khilaf" bahwa PKL tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika ia ditata, diberi kios layak dengan harga terjangkau lalu dikenakan retribusi, dijamin, mereka adalah potensi penghasilan asli daerah (PAD) yang paling dahsyat...melebihi mall-mall dan supermarket yang seringkali pandai memanipulasi pajak. (4) Keberpihakan memang mulai terasa dengan berbagai program pemberdayaan UKM seperti PNPM, PKBL, kredit lunak dan sebagainya tapi itu akan kontraprestasi dengan praktik pemberantasan PKL di atas. (4) manajemen kalbu yang arif dan sensitif terhadap masalah publik kiranya kunci sukses dari pemimpin yang ingin membangun kotanya tidak sekedar hanya "pekerjaan rutin" tanpa inovasi.
Dahsyat....andai semua bisa dibangun dengan mantra sim sala bim saja. Tapi, memang hidup adalah perjuangan....
Jumat, 21 November 2008
Corporate Social Responsibility dan BUMN
Terbitnya UU No.40 Thn 2007 tentang PT, membawa paradigma perubahan pengelolaan perusahaan. Salah satunya, di Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 tentang PT (selanjutnya disingkat UUPT 2007) terdapat kewajiban bagi PT yang mengelola sumber daya alam maka diwajibkan melakukan program model Corporate Social Responsilibilty (CSR) yang disebut tanggung jawab sosial dan lingkungan. Ketentuan ini memberikan sanksi bagi pelanggarnya dan program CSR harus dianggarkan dari komponen biaya perusahaan. Adapun teknisnya diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah (PP).
Timbul problem, bagaimana ketentuan UUPT 2007 diterapkan pada badan usaha milik negara (BUMN). Sebab, selama ini, sesuai dengan pelbagai ketentuan di BUMN, mulai dari UU No.19 Tahun 2003 hingga Permeneg BUMN No.05/2007, terdapat kebijakan untuk BUMN PT agar melakukan program kemitraan dan bina lingkungan yang anggarannya dikenakan dari laba perusahaan. Apakah program kemitraan dan bina lingkungan dapat dikategorisasikan ke dalam CSR.
Bagi penulis, meskipun ada perbedaan pengaturan dan sedikit konsepsi mengenai CSR dan program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL) di BUMN berbentuk PT, namun filosofinya terdapat kesamaan yakni adanya komitmen dan tanggung jawab sosial dari entitas bisnis PT untuk peduli pada masyarakat dan lingkungan hidup. Dengan begitu, seharusnya tidak menjadi problem yuridis, artinya BUMN yang berbentuk PT dapat tetap mempertahankan PKBL yang dapat diasosiasikan dengan CSR.
Terlepas dari pergumulan di atas, namun terdapat progresitivitas di dalam konsepsi pengelolaan PT yang tidak hanya berorientasi pada profit semata namun juga diberi tanggung jawab sosial untuk membangun dimensi kemasyarakatan dan lingkungan melalui serangkaian kegiatan konkrit dan terukur. Paling tidak, terdapat strategi komperhensip di mana keberadaan perusahaan besar juga mampu memberikan manfaat pada publik sekitarnya, karena dalam konteks statistik, usaha kecil menengah yang berjumlah sekitar 78 persen dari seluruh usaha yang ada, dipastikan mendapat manfaat dari program CSR atau PKBL,
Timbul problem, bagaimana ketentuan UUPT 2007 diterapkan pada badan usaha milik negara (BUMN). Sebab, selama ini, sesuai dengan pelbagai ketentuan di BUMN, mulai dari UU No.19 Tahun 2003 hingga Permeneg BUMN No.05/2007, terdapat kebijakan untuk BUMN PT agar melakukan program kemitraan dan bina lingkungan yang anggarannya dikenakan dari laba perusahaan. Apakah program kemitraan dan bina lingkungan dapat dikategorisasikan ke dalam CSR.
Bagi penulis, meskipun ada perbedaan pengaturan dan sedikit konsepsi mengenai CSR dan program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL) di BUMN berbentuk PT, namun filosofinya terdapat kesamaan yakni adanya komitmen dan tanggung jawab sosial dari entitas bisnis PT untuk peduli pada masyarakat dan lingkungan hidup. Dengan begitu, seharusnya tidak menjadi problem yuridis, artinya BUMN yang berbentuk PT dapat tetap mempertahankan PKBL yang dapat diasosiasikan dengan CSR.
Terlepas dari pergumulan di atas, namun terdapat progresitivitas di dalam konsepsi pengelolaan PT yang tidak hanya berorientasi pada profit semata namun juga diberi tanggung jawab sosial untuk membangun dimensi kemasyarakatan dan lingkungan melalui serangkaian kegiatan konkrit dan terukur. Paling tidak, terdapat strategi komperhensip di mana keberadaan perusahaan besar juga mampu memberikan manfaat pada publik sekitarnya, karena dalam konteks statistik, usaha kecil menengah yang berjumlah sekitar 78 persen dari seluruh usaha yang ada, dipastikan mendapat manfaat dari program CSR atau PKBL,
Minggu, 16 November 2008
Destinasi Pariwisata Berwawasan Lingkungan
Strategi maksimalitas potensi wisata merupakan wahana berpeluang untuk menjadi andalan dalam konteks ke-indonesia-an. Indonesia kaya objek wisata. Hampir setiap daerah memiliki sesuatu yang dapat diunggulkan.
Problem epistemologinya adalah kebutuhan grand design yang benar-benar komperhensip nampak masih belum memadai. Makassar, misalnya, masih berkonsentrasi bagaimana infra struktur pendukung destinasi pariwisata dibenahi dan diperkuat. Bandara diperbagus, jalan tol dibuat baik dan dukungan lainnya.
Hal lain lagi yang mendesak dalam konteks pariwisata adalah bagaimana mendorong regulasi komperhensip agar pariwisata juga memperhatikan dimensi sustainable dan berperspektif lingkungan. Untuk itu, sebuah komitmen dan koordinasi lintas intansi untuk menguatkan hal tadi merupakan keniscayaan.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, saya pikir, merupakan institusi yang memiliki tugas berat untuk mensinergikan pelbagai instansi terkait untuk mengkontruksi pariwisataberwawasan lingkungan. Sebab, terdapat beberapa kegiatan wisata yang tidak selalu dibawah otoritasnya. Misalnya, wisata alam yang dilakukan di hutan lindung yang dibawah otoritas institusi departemen kehutanan.
Mungkin ini persoalan waktu dan manajemen. Namun, juga bisa jadi, problem intergritas dan komitmen. Lepas dari itu, ikhtiar harus dirancang agar terjadi pembangunan pariwisata yang mampu memberikan kemakmuran sekaligus turut menyelamatkan lingkungan. Pemanfaatan yang seiring dengan konservasi bisa jadi menjadi alternatifnya.
Problem epistemologinya adalah kebutuhan grand design yang benar-benar komperhensip nampak masih belum memadai. Makassar, misalnya, masih berkonsentrasi bagaimana infra struktur pendukung destinasi pariwisata dibenahi dan diperkuat. Bandara diperbagus, jalan tol dibuat baik dan dukungan lainnya.
Hal lain lagi yang mendesak dalam konteks pariwisata adalah bagaimana mendorong regulasi komperhensip agar pariwisata juga memperhatikan dimensi sustainable dan berperspektif lingkungan. Untuk itu, sebuah komitmen dan koordinasi lintas intansi untuk menguatkan hal tadi merupakan keniscayaan.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, saya pikir, merupakan institusi yang memiliki tugas berat untuk mensinergikan pelbagai instansi terkait untuk mengkontruksi pariwisataberwawasan lingkungan. Sebab, terdapat beberapa kegiatan wisata yang tidak selalu dibawah otoritasnya. Misalnya, wisata alam yang dilakukan di hutan lindung yang dibawah otoritas institusi departemen kehutanan.
Mungkin ini persoalan waktu dan manajemen. Namun, juga bisa jadi, problem intergritas dan komitmen. Lepas dari itu, ikhtiar harus dirancang agar terjadi pembangunan pariwisata yang mampu memberikan kemakmuran sekaligus turut menyelamatkan lingkungan. Pemanfaatan yang seiring dengan konservasi bisa jadi menjadi alternatifnya.
Langganan:
Postingan (Atom)