Senin, 04 Juni 2012

Politik Hukum Pasca Reformasi


Politik Hukum Pasca Reformasi[1]
Oleh R Muhammad Mihradi, S.H.,M.H.[2]


Pendahuluan
Tidak mudah memastikan dan mendiskusikan politik hukum pasca reformasi. Sebab, bagi sebagian yang apatis, kata “hukum” itu sendiri sudah menjadi persoalan. Apakah hukum mengandung makna aturan yang “netral” dan “obyektif” menuju arah pelembagaan kepastian, ketertiban dan keadilan secara memadai. Atau hukum hanya sekedar “kabut” ideologis. Sekedar menutupi proses bekerjanya kekuasaan anti publik yang bergerak ganas mencari “rente” atau “komisi haram” sambil menindas masyarakat rentan. Dalam kondisi, konteks serta relasi demikian, pemakalah berikhtiar untuk melacak pelbagai perspektif dari politik hukum sembari merawat “harapan” akan tatanan bernegara lebih baik.
Di dalam perspektif teoritik, hukum adalah gejala dalam kenyataan masyarakat yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi dan faset. Pada hukum terkandung baik kecenderungan konservatif (mempertahankan dan memelihara) apa yang sudah tercapai maupun kecenderungan modernisme (membawa, mengkanalisasi dan mengarahkan perbuatan). Implementasinya, hukum memerlukan kekuasaan sekaligus menentukan batas serta cara penggunaan kekuasaan itu.[3] Hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyarakat. Untuk menjabarkannya maka hukum merumuskannya dalam berbagai fungsi yakni (1) pembuatan norma-norma baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang; (2) penyelesaian sengketa-sengketa dan (3) mengatur kelangsungan kehidupan masyarakat dalam hal terjadi perubahan-perubahan.[4]
Sayangnya, hukum tidak selalu memiliki sejarah manis. Dalam analisis teori hukum kritis Marxis misalnya, jelas dipaparkan adanya kondisi yang memungkinkan hukum sebagai instrumen dari kelas sosial yang dominan untuk melayani ketidakadilan ekonomi.[5] Hukum diproduksi oleh elite yang memiliki kepentingan untuk mengukuhkan dan mengelola kekuasaannya agar didistribusi diantara mereka dan publik menjadi korban dari proses-proses elitis tadi yang menafikan keberpihakan pada publik yang lebih luas.
Sinyal Marxis rupanya menyapa Indonesia pasca reformasi. Peta buram politik hukum pasca reformasi menunjukkan pembusukan pada seluruh ranah “trias politica”. Di ranah legislatif, kinerja dalam membentuk undang-undang semakin memburuk. Bila di tahun 2008, DPR berhasil mengesahkan 62 undang-undang dari target prioritas 80 rancangan undang-undang yang disahkan. Maka, di tahun 2011, DPR hanya sanggup mengesahkan 21 undang-undang dari total target 93 undang-undang yang harusnya disahkan. Ini baru dari segi kuantitatif. Belum dari sisi kualitatif dapat diukur dari jumlah undang-undang yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dari sisi kemalasan, kehadiran rata-rata anggota DPR dalam sidang-sidang masih di bawah 50 persen selama tahun 2011. Tragisnya, yang meningkat justru praktik korupsi hingga menerpa partai berkuasa, partai demokrat.[6]
Pada ranah eksekutif, badai masalah menerpa pula. Setidaknya, isu korupsi century gate yang tak pernah tuntas. Demikian pula kasus dugaan suap Kemenakertrans dan Kemenpora. Layanan publik yang masih suram. Pemilihan kepala daerah diwarnai aroma politisasi birokrasi dan uang. Ditambah pembusukan desentralisasi yang terjebak pada strategi membangun institusi negara (state institutional reform). Minus memperkuat kapasitas negara (state capacity). Politik pencitraan menjadi tak terelakkan.[7]
Sementara, di sisi yudisial memprihatinkan. Kasus Munir yang tak pernah tuntas. Praktik suap kalangan hakim masih terjadi. Murungnya, hukum begitu digdaya ketika menghukum nenek Minah yang sekedar mencuri tiga buah kakao atau Rusminah mengambil enam buah piring. Namun, hukum lumpuh, bahkan mandul mengadili secara tuntas kasus Gayus Tambunan, BLBI dan check pelawat Miranda Gultom. Ketidakadilan “seolah” orchestra yang mengiringi awan gelap penegakan hukum. Berangkat dari kondisi mencemaskan inilah kita menelaah politik hukum pasca reformasi.

Politik Hukum: Regangan Normatif-Empirikal
Terdapat beragam definisi politik hukum.[8] Namun, rumusan politik hukum menurut Moh. Mahfud MD bagi pemakalah agak membantu memahami persoalan-persoalan kontekstual reformasi. Bagi Mahfud, politik hukum dirumuskan sebagai “kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu”.[9]
Rumusan di atas mengingatkan akan kondisi faktual bahwa hukum tidak steril dari sub sistem kemasyarakatan lainnya. Dalam kondisi demikian, politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum. Tidak heran, apabila konstruksi yang dibangun Moh. Mahfud MD didesain dalam perspektif bahwa “hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan”.[10]
Berdasarkan penelitian Moh. Mahfud MD di atas yang dituangkan dalam bentuk disertasi, maka terdapat aksioma yakni di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter responsif/populistik. Sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter. Maka, produk hukumnya berkarakter ortodoks/konservatif/elitis.[11] Meski demikian, perlu diberikan catatan kritis, sebagaimana diungkapkan pula oleh Mahfud bahwa aksioma ini tidak persisten sekali. Dimungkinkan pada konfigurasi politik otoriter, lahir produk hukum responsif. Namun, ini tidak mewakili makro suasana produk hukum itu sendiri secara keseluruhan. [12]
Secara normatif, politik hukum Indonesia sesungguhnya dapat dilihat landasan konstitusionalnya di dalam Pembukaan dan pasal-pasal pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Dalam perspektif Abdul Hakim Garuda Nusantara, politik hukum Indonesia bertujuan merealisasikan cita-cita negara hukum yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial.[13] Hal ini sejalan dengan ciri negara Pancasila, menurut Bernard Arief Sidharta, yang berunsurkan tiga hal yakni: (1) negara hukum; (2) kedaulatan rakyat atau demokrasi[14] dan (3) merealisasikan negara yang mensejahterakan warganya (welfare state).[15]
Ada hal yang menarik adalah mengenai Pancasila. Dalam kajian Yudi Latif, Pancasila adalah warisan dari jenius Nusantara. Sebab, Pancasila mampu menerima berbagai budaya dan ideologi yang masuk sejauh dapat dicerna oleh sistem sosial dan tata nilai masyarakat yang berkembang secara berkelanjutan. Pancasila merupakan persenyawaan antara anasir karakter asal yang mengendap laten dalam jiwa bangsa dengan visi emansipasi baru yang diidealisasikan oleh pendiri bangsa sebagai jati diri, dasar falsafah dan pandangan hidup bersama.[16] Tidak heran bila A Hamid S Attamimi dengan meminjam pemikiran Rudolf Stammler (1856-1939) merefleksikan Pancasila sebagai bintang pemandu (leittern) yakni konstruksi pikir yang mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Implikasinya, Pancasila menjadi cita hukum (rechts idée) yang tidak hanya menjadi tolok ukur regulatif yakni menguji apakah sesuatu hukum positif  adil atau tidak. Melainkan sekaligus pula berfungsi sebagai dasar konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum.[17]
Problematikanya, apakah pelbagai perundang-undangan hingga penegakannya telah mencerminkan cita hukum Pancasila? Bila negatif jawabannya, maka lembaga mana yang memiliki fungsi menguji derajat konsistensi perundang-undangan dan penegakannya? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab.[18]
Paradigma yang terbentang di muka adalah sangat teoritikal dan belum dapat dijamin eksistensinya ditemukan mudah di empirikal. Kiranya peringatan Satjipto Rahardjo perlu menjadi renungan. Menurutnya, “jangan hendaknya peraturan-peraturan hukum itu diterima sebagai deskripsi dari kenyataan-kenyataan. Bila itu dilakukan, maka kita telah membuat mitos baru padahal Chamblis dan Seidman menyatakan, mitos yang demikian itu setiap hari dibuktikan kebohongannya”.[19]
Peringatan Satjipto Rahardjo di atas kiranya dapat menjelaskan frustasi kita mengenai kenyataan pahit, meski ada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan pelbagai perundang-undangan lain, bahkan Instruksi Presiden menyangkut pemberantasan korupsi misalnya, namun tidak sanggup menghentikan anomali, penganiayaan dan penyimpangan hukum dalam praktik bermasyarakat. Hukum menjadi semacam mantra. Hanya dikomat-kamit namun tidak mampu dieksekusi secara setara (equal) pada semua pihak. Hukum masih tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Di dalam konteks politik hukum pasca reformasi, sesungguhnya ada beberapa agenda problematis. Pertama, memapankan dan melembagakan transisi demokrasi agar dapat bertransformasi menjadi demokrasi substansial yang mewujud dalam praktik bernegara. Kedua, melakukan evaluasi, sinkronisasi dan harmonisasi terhadap produk-produk hukum kolonial yang masih berlaku serta pelbagai perundang-undangan yang diduga bermateri muatan bertentangan dengan perundang-undangan lainnya. Ketiga, menjamin dan memastikan akses keadilan (access to justice) bagi masyarakat marjinal atau rentan seperti masyarakat miskin dan kelompok atau komunitas adat agar dapat terlindungi hak-haknya dari potensi-potensi yang mendistorsi keberadaan mereka dalam dimensi hukum.

Salah Asumsi Transisi Demokrasi
Salah satu masalah politik hukum adalah mengenai pelembagaan demokrasi. Menarik mencermati kritik peneliti Syarif Hidayat yang mengomentari mengapa reformasi gagal mewujudkan janji-janjinya, termasuk didalamnya desain politik hukum yang demokratis dan berkeadilan. Kekeliruan utama adalah salah asumsi. Diduga, Indonesia di masa Soeharto merupakan rezim otoritarian. Kemudian, reformasi adalah masa transisi demokrasi[20] dari otoritarian menuju demokrasi. Asumsi ini keliru. Sebab, orde baru Soeharto bukanlah sekedar rezim otoritarian. Namun, sudah mencapai apa yang dinamakan personalized government. Pemerintahan terpesonalisasi di tubuh Soeharto.[21]
Implikasinya, ketika Soeharto jatuh, maka bukan rezim demokrasi yang melembaga. Melainkan kekuasaan dari personalized government memencar dan membentuk apa yang dinamakan oleh Moh. Mahfud MD sebagai oligarki kekuasaan.[22] Kekuasaan oligarkis adalah suatu konfigurasi politik yang didominasi kelompok elite yang mengerjakan politik melalui transaksi-transaksi yang saling memberikan keuntungan politik diantara elite sendiri.[23] Rakyat, si pemilik kedaulatan, hanya penonton.
Dampak buruknya, maka hukum masih berwajah ortodoks. Hukum hanya pembagian peran, kepentingan dan keuntungan diantara para elite. Sinyalemen ini dapat dengan mudah dilacak sebagai berikut.
Pertama, terdapat penolakan kuat untuk menyederhanakan partai dengan menaikkan Parliamentary Threshold (PT) secara signifikan. Alasannya, representasi partai yang berwajahkan “kebhinekaan” harus diakomodasi. Suara rakyat tidak boleh terbuang demikian saja. Padahal, dalam sistem presidensial adalah hal anomali adanya multi partai. Multi partai tidak lazim dalam presidensial. Selain itu, akibat multi partai, efektivitas pemerintah tersandera. Politik transaksional menjamur.[24]
Kedua, mewabahnya partai politik yang menjadi mirip kartel. Ada lima ciri kartel tadi: (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu koalisi partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) tiadanya oposisi; (4) hasil pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Jadi, partai tidak lagi kompetitif.[25]
Ketiga, maraknya konflik-konflik horizontal, antara sesama masyarakat yang diduga “by design” elite-elite lokal-nasional yang memiliki agenda politik dengan memanfaatkan masyarakat. Demikian pula konflik-konflik vertikal antara negara dan masyarakat seperti di Bima dan Mesuji misalnya.[26]
Keempat, praktik korupsi saling sandera. Hampir partai-partai politik besar memiliki oknum kadernya baik di parlemen maupun di eksekutif yang terkena kasus korupsi. Dalam konteks seperti ini, maka sulit akan lahir gerakan otentik memberantas korupsi yang berasal dari elite karena antara mereka sendiri saling sandera dalam labirin korupsi.

Politik Hukum Masa Depan
Harapannya tinggal di masyarakat sipil. Masyarakat yang diidamkan memiliki kemandirian serta daya tawar dengan elite. Dalam masyarakat demikian maka digantungkan cita-cita agar pembentukan hingga penegakan hukum dikembalikan pada cita hukum Pancasila, UUD NRI Tahun 1945 dan perundang-undangan yang bermuatan kepastian, ketertiban dan keadilan secara sinergis.
Masyarakat sipil dipastikan tidak dapat bekerja sendiri. Ia membutuhkan agen-agen pembaharu. Dalam konteks ini, bagi pemakalah, gerakan bantuan hukum dapat mengisi ruang. Bagi pemakalah, ide gerakan bantuan hukum struktural yang diusung YLBHI di dekade 90-an masih relevan disegarkan untuk mendorong gerbong hukum menuju demokrasi yang berkeadilan. Sebagaimana ditulis oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara bahwa gerakan bantuan hukum struktural merupakan upaya menciptakan kondisi-kondisi bagi terwujudnya hukum yang mampu mengubah struktur yang timpang menuju ke arah struktur yang lebih adil.[27] Gerakan bantuan hukum demikian tidak berhenti pada aspek-aspek teknikal hukum namun bergerak di ranah kebijakan hukum negara sehingga mampu membentuk landasan bagi masyarakat yang minim akses hukum.
Selain hal di atas, politik hukum yang responsif harus ditopang oleh demokrasi otentik. Demokrasi yang melembagakan bukan sekedar prosedur formal seperti pemilu dan pers bebas. Namun, demokrasi yang membumikan aspek kebebasan, kesetaraan dan keadilan dalam satu nafas. Demokrasi yang terus menerus didemokratisasi. Diradikalisasi menuju suatu format demokrasi deliberatif ala Habermass yang menjadikan diskusi intensif pemangku kepentingan yang bebas tekanan, rasional dan kritis menjadi mediumnya di ruang publik.[28] Demokrasi demikian yang akan mengembalikan khittah “hikmah” dan “kebijaksanaan” pada ideologi Pancasila menjadi mekar kembali.  
Bila menggunakan teori Lawrence M Friedman[29] mengenai sistem hukum yang terdiri dari struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture), maka pembenahan politik hukum harus dilakukan di tiga unsur dimaksud. Di struktur, merupakan upaya yang harus tidak patah arang untuk mendorong agar aparatur penegak hukum memiliki daya integritas yang kuat. Ini dimulai dari rekrutmen dan sistem yang mampu memastikan proses-proses di dalam tubuh aparatur penegak hukum tidak terkorupsi. Pembentukan pelbagai komunitas yang memantau kinerja aparatur penegak hukum yang selama ini ada dapat menjadi modal sosial. Seperti, kekuatan jejaring sosial dalam kasus Cicak-Buaya maupun Prita memberikan sinyal dan indikasi bahwa komunitas dan ruang publik masih dapat diharapkan.
Di sisi substansi hukum diperlukan pembenahan pada proses-proses legislasi baik pusat maupun daerah. Perencanaan pembentukan hukum harus melibatkan publik serta mempertimbangkan kapasitas, kualitas dan jangkauan yang mampu dilakukan oleh lembaga legislatif. Terbitnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik merupakan salah satu grand strategi untuk mendorong transparansi dan partisipasi publik dalam legislasi.[30] Dengan demikian, pembentukan hukum dapat mencerminkan aspirasi otentik dari masyarakat. Selain itu, penguatan kelembagaan legislasi yang didukung tenaga ahli professional merupakan hal niscaya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan harapan dengan melekatkan kewajiban naskah akademik di dalam pembuatan undang-undang sehingga kualitas legislasi didorong untuk selalu semakin baik.
Pada akhirnya, budaya hukum merupakan sisi yang paling tidak mudah diperbaiki. Perlu ada keteladanan dari elite dan tokoh publik. Termasuk tradisi memapankan nilai-nilai toleran, demokratis dan berkeadilan. Tanpa itu, akan sulit untuk memapankan tradisi penegakan hukum demokratis. Dalam persepsi demikian, aktor-aktor perubahan seperti lembaga swadaya masyarakat, kampus dan kalangan gerakan pro hukum serta demokrasi dapat menjadi elemen yang memfasilitasi percepatan internalisasi nilai-nilai hukum sebagai bagian dari pola kehidupan berbangsa.  

Penutup
Memperbincangkan dan mendiskursuskan politik hukum pasca reformasi adalah sebuah pelangi yang teramat luas horizonnya. Bisa jadi berbagai percikan dalam makalah ini sangat jauh dari harapan untuk mampu mendeskripsikan sekaligus menggagas politik hukum yang ideal. Meski demikian, paling tidak, dengan dihamparkannya permasalahan dalam membangun politik hukum yang demokratis maka kita dapat menentukan titik awal untuk melakukan perubahan yang terstruktur bagi masa depan Indonesia yang lebih baik. Masa depan yang dipayungi pulau integritas.


[1]Disampaikan Pada Sekolah Kader Bantuan Hukum Tingkat Dasar LBH P3HN, Jumat 17 Februari 2012, di Function Hall Office Taman Cimanggu 2, Bogor.
[2]Staf Pengajar dan Ketua Bagian Hukum Tata Negara FH Universitas Pakuan, Direktur Pusat Studi  Hukum dan Demokrasi FH Universitas Pakuan, Staf Ahli Komite III Dewan Perwakilan Daerah RI Senayan, Peneliti Indonesia Legal Roundtable untuk Blue Print Komisi Yudisial serta Dewan Pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN). Menulis buku Kebebasan Informasi versus Rahasia Negara, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011).
[3]Bernard Arief Sidharta,  , Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar  Maju, 1999), hlm.116.
[4]Dalam relasi dengan perubahan sosial, maka hukum dalam sudut pandang Satjipto Rahardjo merupakan elemen yang paling terkena cepat perubahan sosial sebagai implikasi fungsi hukum memberikan bentuk pada hubungan-hubungan sosial. Meski demikian, hukum dapat pula mengarahkan perubahan seperti pada Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat di tahun 1954 yang menyatakan bahwa pemisahan (segregasi) antar ras di sekolah-sekolah negeri bertentangan dengan konstitusi. Meski putusan tadi tidak menghapus begitu saja prasangka rasial antara ras namun hukum disini telah menciptakan suasana umum yang didalamnya merupakan pelaksanaan dari cita-citanya (yaitu menghilangkan prasangka rasial) dimungkinkan. Lihat Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis Serta Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, (Yogyakarta: Genta, 2009), hlm. 11, 111 dan 139.
[5]Ian Mc Leod, Legal Theory, (London: Mac Millan, 1999), hlm.126.
[6]Data jumlah rancangan undang-undang dan kemalasan DPR diperoleh dari (1) Redaksi, “2011, Banyak Anggota DPR yang Masih Malas”, Kamis 16 Februari 2012, situs http//www.kompas.com, diakses 16 Februari 2012 dan (2) Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Mengais Harapan Di Ujung Pengabdian, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2009),hlm.11.
[7]Lihat Syarif Hidayat, “Mengurai Peristiwa, Merentas Karsa: Refleksi Satu Dasawarsa Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah”, Majalah Prisma, Vol. 29, Juli 2010, hlm.18; bdk R. Muhammad Mihradi, “Wajah Ganda Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah”, Makalah Untuk Seminar “Mengoptimalkan Peranan Pemuda Di Dalam Proses pemekaran Daerah Demi Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat”, diselenggarakan Lembaga Kajian Strategis Pembangunan Daerah, Dramaga Bogor 14 Mei 2011. 
[8]Diantaranya pendapar Teuku Mohammad Radhie yang mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku diwilayahnya, dan mengenai hukum yang berlaku diwilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Sedangkan Soedarto merumuskan politik hukum sebagai kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan peraturan yang dikehendaki, yang diperikirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.  Lihat lebih lanjut, Imam Syaukani dan A Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 27-28.
[9]Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 1.
[10]Ibid, hlm.7. Menurut pakar hukum Meuwissen pernah menulis bahwa meskipun hukum dipengaruhi pelbagai hal termasuk politik, seharusnya hukum dalam bentuk perundang-undangan misalnya bukan sekedar endapan dari konstelasi politik empirikal. Ia juga memiliki aspek normative. Unsur idiil perundang-undangan mengimplikasikan bahwa ia merealisasikan apa yang menurut asas-asas hukum (ide hukum, cita hukum) seharusnya direalisasikan. Lihat Bernard Arief Sidharta, (penerjemah), Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 10.
[11]Ibid, hlm.15.
[12]Menurut Mahfud kasus Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria merupakan anomali tadi. Di rezim Soekarno yang otoriter, lahir UUPA yang demokratis responsif. Menurutnya, ini disebabkan karena UUPA dirancang sudah lama, sejak tahun 1948 dan dipengaruhi suasana untuk melawan tatanan hukum kolonial. Selain itu, UUPA dianggap tidak mengancam kekuasaan Soekarno, sehingga dibiarkan menjadi produk hukum. Lihat, Mahfud MD, Ibid, hlm.348.
[13]Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 1988), hlm. 20.
[14]Konsep demokrasi itu sendiri merupakan perdebatan panjang. Ada yang sekedar melihat demokrasi dari aspek kuantitas. Misalnya dirumuskan demokrasi sebagai pemerintahan oleh yang mayoritas. Terdapat pula yang merumuskan demokrasi dari sisi nilainya yang harus melembagakan kebebasan, kesetaraan dan keadilan sebagaimana diulas oleh Donny Gahral Adian dalam buku Demokrasi Kami, (Depok: Koekosan, 2006), hlm.18.  Meski demikian bagi Arendt Lipjhart bahwa demokrasi didasarkan prinsip mayoritas perlu dikoreksi. Pertama, ada kesan mengoposisikan mayoritas-minoritas dalam demokrasi padahal semuanya memiliki hak sama untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dan kedua, mayoritas-minoritas relatif. Bisa saja partai yang kini mayoritas dan mempengaruhi kebijakan maka esoknya sudah berganti. Lihat Arendt Lipjhart, Democracies: Patterns of Majoritarian and Concept in Twenty-One Countries, (Yale University, 1984), hlm.21-22.
[15]Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar maju, 1999), hlm.48.
[16]Yudi Latif, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm.2-4.
[17]Lihat A Hamid S Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990, hlm.308-309.
[18]Bagi pemakalah, idealnya Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga yang menguji konsistensi derajat perundang-undangan dan penegakannya terhadap cita hukum Pancasila. Namun ada problem epistemologis. Pertama, kewenangan konstitusionaal MK yang hanya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kedua, ranah penegakan hukum berada di pelbagai lembaga. Ketiga, ketiadaan lembaga yang mengemban khusus fungsi-fungsi pelembagaan nilai Pancasila seperti BP7 di masa lalu, meski diwaspadai dimensi indoktrinasi yang potensial mengiringi.
[19]Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Sinar Baru, Tanpa Tahun), hlm.14.
[20]Transisi demokrasi memang membuka pelbagai peluang. Bisa saja terbentuk rezim demokratik. Bisa pula seperti Spanyol di tahun 1980-an, rezim demokrasi tidak memuaskan sebagai akibat menurunnya keefektifan pemerintah sehingga merosot kualitas demokrasi. Bahkan ada pula yang negara demokratis mundur menjadi otoriter dan korup kembali, lihat R Muhammad Mihradi, “Dinamika Kebijakan Hukum Dalam Transisi Demokrasi”, Jurnal Keadilan Vol.2 Nomor 6 Tahun 2002, hlm.29-30.
[21]Syarif Hidayat, “Reformasi Jilid Dua: Rehabilitasi Peran Ormas Dalam Pusaran Transisi Demokrasi”, Makalah, Disampaikan Dalam Rapat Dengar Pendapat Komite III DPD RI, Jakarta 18 Januari 2012.
[22]Bahayanya rezim oligarki adalah pada kenyataan ketidakterusterangan bahwa rezim ini mengkhianati demokrasi. Ia selalu mengkampanyekan praktik demokrasi. Mirip dengan rumusan Paul Broker bahwa di rezim yang non demokratik di negara modern umumnya adalah kombinasi antara diktaktor dalam organisasi dengan kepemimpinan yang mengklaim atas demokrasi, Lihat Paul Broker, Non Democratic Regimes: Theory, Government and Politics, (London: Mac Millan, 2000), hlm.3.
[23]Moh.Mahfud MD, “Hukum Dalam Politik Oligarkis”, Kompas 5 Mei 2006.
[24]Lihat R. Muhammad Mihradi, “Percikan Peta Problem Pemilukada”, Makalah Disampaikan pada Kajian Diskusi Pokja Konsolidasi Sistem Politik dan Pemerintahan Dewan Pertimbangan Presiden RI (Wantimpres) Jumat 20 Agustus 2010, hlm.6-7. Bandingkan, Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo, 2010).
[25]Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm.3.
[26]Konflik negara dan masyarakat, khususnya keterkaitan dengan masyarakat adat merupakan hal kompleks. Di satu sisi, negara sendiri diragukan netralitasnya. Ada “shadow government” di balik pelbagai konflik, yang mudah diduga keterlibatan saudagar atau pengusaha lokal, nasional dan multi nasional. Di sisi lain, kompleksitas masyarakat hukum adat yang belum terbiasa dengan hukum modern yang serba tertulis sehingga terjadi kesitegangan antara hukum negara dengan aparatusnya dan hukum yang bermukim di nilai-nilai adat masyarakat, yang meyakini budi baik dan hal-hal bersifat moralitas. Lihat kajian lebih lanjut, I Wibowo, Negara Centeng: Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2010) dan Myrna A Safitri, (Editor), Untuk Apa Pluralisme Hukum, (Jakarta: Huma, 2011).
[27]Abdul Hakim Garuda Nusantara, Op.Cit, hlm.128.
[28]Mengenai Habermas dapat dilihat F Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik Dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009) dan R. Muhammad Mihradi, Kebebasan Informasi Publik versus Rahasia Negara, (Bogor: Ghalia, 2011).
[29]Menurut Lawrence M Friedman, sistem hukum terbagi dalam tiga hal yakni pertama, struktur hukum yang dimaknai sebagai hal-hal yang berkaitan dengan lembaga hukum seperti bagaimana badan legislatif ditata, jumlah pengadilan, prosedur yang dilakukan departemen kepolisian dan sebagainya. Dengan kata lain, struktur (structure) hukum adalah “in way, is a kind of cross section of the legal system---a kind of still photograph, which freezes the action”(semacam sayatan sistem hukum---seperti foto diam yang menghentikan gerak). Kedua, substansi (substance) hukum diartikan sebagai aturan (the actual rules), norma (norms) dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem (behavior patterns of peope inside the system). Ketiga, terakhir budaya hukum (legal culture) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum (people’s attitude toward law and the legal system)---keperayaan, nilai, pemikiran serta harapannya (their beliefs, values, ideas,and expectations), lihat  Lawrence M Friedman, American Law: An Introduction, (New  York: WW Norton Company, 1984), hal.5-6. Bandingkan pula dengan R. Muhammad Mihradi, “Teka Teki Penegakan Hukum”, Makalah Disampaikan pada Pendidikan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDKM) FH Universitas Pakuan, 9 Januari 2010 di Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

[30]Lihat lebih lengkap mengenai akses informasi publik dalam R. Muhammad Mihradi, “Jaminan Hak Atas Kebebasan Memperoleh Informasi Publik Dalam Perspektif Negara Hukum Demokratis”, Jurnal Magister Hukum  Universitas Wisnuwardhana Malang, Vol.1 No.1 April 2010, hlm.176-186.

Pemakzulan Presiden


MENELISIK PEMAKZULAN PRESIDEN PASCA AMANDEMEN UUD 1945[1]
Oleh R. Muhammad Mihradi[2]


Di Indonesia, reformasi 1998 membawa dinamika “berkah” tuntutan perubahan berupa pelembagaan demokrasi. Hal ini merupakan implikasi setelah sekian lama rezim otoriterian Orde Baru mengurung kebebasan (freedom) sebagai jantung kebebasan. Demokrasi itu sendiri memang suatu terminologi yang tidak sederhana dan kadang mengalami komplikasi sana-sini. Namun, kelebihan demokrasi, ia masih dapat mengkoreksi sistem yang dibangunnya dengan didasarkan pada aspirasi publik yang otentik.[3]

Pelembagaan demokrasi menerpa pula jabatan Presiden. Presiden merupakan posisi strategis dalam bentuk pemerintahan republik yang sangat berperan pada pengelolaan negara. Pada masa Orde Baru, jabatan Presiden merupakan institusi yang mengalami problematis. Pertama, di dalam norma konstitusi (UUD 1945) saat itu disebutkan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Norma ini melahirkan interpretasi bahwa Presiden yang sama dapat dicalonkan berkali-kali sepanjang dipilih. Ini melegitimasi rezim otoriterian Orde Baru. Kedua, tolok ukur pemberhentian yang bias. Sebab, Pasal 8 dan Penjelasan UUD 1945 (Pra Amandemen) menggunakan indikator salah satu tolok ukur pemberhentian Presiden adalah pelanggaran haluan negara (Pancasila UUD dan/atau GBHN). Hal ini diperkuat dengan Ketetapan MPR No.III/MPR/1978 yang mengatur mengenai prosedurnya mulai dari pemberian memorandum (pernyataan tidak puas) kepada Presiden hingga dilakukan sidang istimewa meminta pertanggungjawaban Presiden.[4] Dua orang Presiden diberhentikan (dimakzulkan) dengan model ini, yakni Soekarno karena pidato pertanggungjawaban yang berjudul Nawaksara beserta pelengkapnya ditolak oleh MPRS dalam sidang paripurna MPRS 1967 dan Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan melalui Tap MPR No. II/MPR/2001 tanpa memberikan pidato pertanggungjawaban.[5] Sedangkan Soeharto menggunakan mekanisme “berhenti” sesuai Pasal 8 UUD 1945 (Pra Amandemen).[6]
Masa reformasi melalui amandemen UUD 1945 mencoba melakukan koreksi. Kini pada Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 dirumuskan bahwa pada prinsipnya pemberhentian Presiden tidak lagi menggunakan tolok ukur politis melainkan yuridis. Pertama, Presiden dapat diberhentikan bila melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya maupun perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Kedua, sebelum MPR memberhentikan Presiden maka prosedur yang wajib ditempuh adalah DPR mengajukan pendapat mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden pada Mahkamah Konstitusi (MK).[7] MK kemudian lalu melakukan pemeriksaan dan apabila terbukti maka amar putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 83 ayat (2) UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah menyatakan membenarkan pendapat DPR. Lalu, DPR melakukan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden kepada MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut. Keputusan MPR diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Hal serupa berlaku pada pemberhentian Wakil Presiden.
***
Model pemberhentian Presiden (pemakzulan/impeachment) Indonesia pasca amandemen memiliki kemiripan dan pengaruh dari sistem pemberhentian Presiden di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, Presiden hanya dapat diberhentikan bila melakukan tindak pidana. Pasal 2 ayat (4) Konstitusi Amerika Serikat menyatakan bahwa: “The President, Vice President, and all civil officer of the United States, shall be removed from office on impeachment for and conviction of, treason, bribery, or other high crime and misdemeanors”. Hanya atas dasar pengkhianatan penyuapan, tindakan criminal dan perbuatan jahat serius, Presiden, Wakil Presiden dan pejabat Sipil dapat diberhentikan atau dikenakan impeachment. Sedangkan di Konstitusi Jerman (Basic Law), alasan pemberhentian Presiden selain pidana juga pelanggaran semua bidang hukum yang diatur dalam Undang-Undang Federal.[8]
Problematikanya, pada kasus Indonesia, gelombang ketidakpuasan terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY) terdapat gejala menguat. Ini didasarkan pada kekecewaan terhadap maraknya korupsi di semua elemen trias politica serta ketidakpuasan penanganan menyangkut kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, mekanisme ketatanegaraan yang telah jelas dalam konstitusi tidak selalu dapat digunakan. Mengingat dimensi politik seringkali menjadi suatu proses yang dinamis dan berinteraksi dalam relasi-relasi perubahan sosial (social change) yang memiliki konflik kepentingan kuat antar elite.
Misalnya, secara politik, apakah memungkinkan potensi penggunakan prosedur pemakzulan melalui mekanisme ketatanegaraan konstitusional sementara dengan adanya koalisi partai politik di bawah pimpinan Partai Demokrat sebagai partai penguasa yang dominan di parlemen membentuk konfigurasi politik yang menutup celah dimaksud? Belum lagi politik saling sandera diantara partai sebagai implikasi belitan kasus-kasus korupsi yang menerpa elite partai.
***
Dari dimensi yuridis sendiri beberapa hal menarik dikaji mendalam. Pertama, apakah MK memiliki kompetensi melakukan pembuktian khususnya dalam konteks pidana terhadap pelanggaran hukum Presiden. Mengingat, karakteristik MK sebagai pengadilan tata negara (constitutional court) yang berbeda karakter dengan peradilan secara pidana.

Kedua, apakah waktu yang diberikan oleh konstitusi dalam Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 yakni MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus seadil-adilnya dalam waktu sembilan puluh hari menyangkut pemakzulan Presiden ini merupakan hal yang wajar? Mengingat pembuktian pidana tidak mudah dan memerlukan penelisikan yang mendalam.
Ketiga, apakah Presiden yang telah dimakzulkan lalu dapat diadili lagi di peradilan umum dari sisi pidana? Bagaimana dengan penerapan asas ne bis in idem.
Keempat, bagaimana bila MK berpendapat bahwa Presiden melanggar hukum namun MPR memutus yang berbeda. Apakah hal ini mengandung makna, putusan hukum dikalahkan putusan politik?[9]
Pada akhirnya, tidak ada sistem pemerintahan dalam konteks demokrasi yang dapat memuaskan. Amerika Serikat mengalami hal serupa. Meski misalnya kebijakan Presiden Obama sangat kontra produktif dan tidak disukai publik maka hal ini tidak dapat menjadi landasan pemakzulan. Sistem, strategi, kebijakan dan cara memerintah Presiden Obama akan terus berlaku hingga berakhir masa jabatannya. Kecuali bila Presiden Obama melakukan pelanggaran pidana.
Sebagaimana ditulis oleh Donny Gahral Adian, demokrasi bukan sesuatu sekali jadi (given). Sejarah pemikiran dan aktivisme demokrasi adalah sejarah koreksi terus menerus terhadap kebebasan, kesetaraan dan keadilan.[10] Paling tidak melalui demokrasi, terdapat potensi memupuk mimpi untuk membangun sistem ketatanegaraan yang lebih baik.


[1]Disampaikan pada Seminar “Menakar Pemakzulan Presiden Pasca Reformasi Dalam Perspektif Yuridis-Politis”, Diselenggarakan di Aula Soepomo FH Universitas Pakuan, 15 Oktober 2011 oleh Lembaga Kajian Masalah Sosial Nusantara bekerja sama Bagian Hukum Tata Negara FH Universitas Pakuan Bogor
[2]Staf Ahli Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Direktur Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (PSHD) dan Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor. Tenaga Ahli Raperda Pendidikan DPRD Kota Bogor (2010-2011) dan Anggota Pokja Konsolidasi Sistem Politik dan Pemerintahan Dewan Pertimbangan Presiden (2010).
[3]Jack Lively pernah menulis tentang sulitnya merumuskan pengertian demokrasi. Lord Bryce misalnya memberikan definisi yang masih dapat diperdebatkan. Menurutnya, democracy as ‘government in which the will of the majority of qualifield citizens rules’. Sedangkan bagi Leslie Lipson, di dalam demokrasi dapat pula dilihat dari perspektif pemerintahan sebagai kompetisi  melacak alternatif bagi kebijakan yang terbaik mengelola negara dengan memperhatikan fakta-fakta sosial. Demokrasi memadukan antara perlindungan minoritas di satu sisi dan pelembagaan pembatasan konstitusional bagi kelompok mayoritas. Lihat Jack Lively, Democracy, (Oxford: Basil Blackwell Oxford, 1975), hlm. 9 dan Lislie Lipson, The Democractic Civilization (Feffer and Simons 1964), hlm. 239-242. Titik Triwulan Tutik memaknai demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan yang memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan, lihat R. Muhammad Mihradi, Kebebasan Informasi Publik versus Rahasia Negara, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 36.
[4]Lihat Ari Wuisang, Pengantar Hukum Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD Tahun 1945, Fakultas Hukum Universitas Pakuan,2005.
[5]Kasus Presiden Abdurrahman Wahid atau lazim dipanggil Gusdur merupakan peristiwa ketatanegaraan menarik. Pada awalnya Panitia Khusus (Pansus) DPR menyimpulkan bahwa Presiden Gusdur diduga melakukan penyelewengan dana Yanatera Bulog sebesar Rp. 35 milyar dan dana bantuan Sultan Brunei sebesar Rp. 2 juta dollar AS. DPR memberikan memorandum sebanyak dua kali dan berpendapat Presiden Gusdur telah melanggar haluan negara yakni: a) melanggar UUD 1945 pada Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan b) melanggar Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Ternyata Presiden Gusdur tidak mau memberikan pertanggungjawaban saat diminta ke sidang istimewa MPR bahkan mengeluarkan maklumat yang berisi: (1) pembekuan DPR/MPR; (2) pemilu dipercepat dalam waktu satu tahun dan (3) pembubaran Golkar. MPR kemudian melakukan sidang istimewa dan memberhentikan Presiden Gusdur tanpa adanya pertanggungjawaban Presiden. Penting dicermati  bahwa seluruh proses di atas  berada pada ranah optik politik dan tidak menggunakan tolok ukur yuridis, khususnya di dalam pembuktian pelanggaran haluan negara, lihat selengkapnya R. Muhammad Mihradi, “Menguji Tolok Ukur Pemberhentian Presiden”, Jurnal Keadilan Vol.1 No.2 Juni 2001, hlm.8-9.
[6]Bila melacak Ketetapan MPR No.III/MPR/1978 bahwa Majelis dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatanya karena: a) atas permintaan sendiri; b) berhalangan tetap dan c) sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Sedangkan Pasal 8 UUD 1945 menyatakan: “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya.
[7]Mengenai lembaga MK dapat dilacak salah satunya tulisan R. Muhammad Mihradi, “Mahkamah Konstitusi, Sebuah Keajaiban”, Kompas Jumat 4 Juli 2003.
[8]Jimly Asshidiqie “Pemberhentian dan Penggantian Presiden”, dalam A Muhammad Asrun dan Hendra Nurtjahjo, 70 Tahun Prof. Dr. Harun Al Rasid, Integritas, Konsistensi Seorang Sarjana Hukum, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000) hlm.140.
[9]Kegelisahan ini pernah diungkap oleh Prof.Dr.Sri Soemantri dalam suatu diskusi pada saat perancangan RUU Mahkamah Konstitusi. 
[10]Donny Gahral Adian, Demokrasi Kami, (Depok: Koekoesan, 2006), hlm. 17.

Republik Tanpa Publik

Pada 31 Mei 2012 sebuah kegiatan penting (setidaknya bagi saya) berlangsung. Dialog Mengenai Hukum dan Politik dan sekaligus Peluncuran Buku Republik Tanpa Publik Pasca Reformasi: Retaknya Relasi Negara, Hukum dan Demokrasi karya saya, R Muhammad Mihradi yang diterbitkan Pusat Studi Hukum dan Demokrasi FH Universitas Pakuan. Bagi saya ini berkah luar biasa. Buku diluncurkan dalam diskusi yang hangat dan menarik. Dr. Bima Arya Sugiarto (Pengamat Politik dan Ketua DPP PAN) menjadi narasumber diskusi selain saya, dihadiri oleh pimpinan fakultas, mahasiswa, media dan undangan lain. Dahsyat, di Aula Soepomo FH Universitas Pakuan Bogor. Tentu ada budi baik dari penyelenggara yakni Panitia PLKH XXXV FH Universitas Pakuan, yang dipimpin saudara Denny.
Apa yang menarik dari dialog dan peluncuran diatas. Pertama, ada relasi kuat antara hukum dan politik. Moralitas ontologis keduanya beranjak dari soal keadilan dan kepentingan bersama. Sayangnya, di era reformasi, hukum dan politik saling khianat. Politik asyik dengan syahwat melegitimasi kepentingan segelintir elite dan korup. Hukum demikian juga, terjebak diskriminasi penegakan, tajam ke bawah, tumpul ke atas serta mandul dalam memberantas korupsi. Kedua, republik mulai kehilangan publiknya sebagai sumur aspirasinya. Republik ditunggangi oleh kaum jahat yang hendak membawa negeri ini hanya sekedar politik transaksional diantara elite-elite yang makin membusuk hingga saat ini. Ketiga, ada harapan bahwa yang serba buruk di atas bisa punah. Syaratnya: membangun pulau integritas, dikalangan kaum muda dan masyarakat, mendorong penguatan kompetensi dan penanaman nilai-nilai yang sebenarnya sudah dimiliki, berupa landasan falsafah Pancasila. Semua adalah proses yang menuntut ketekunan dan konsisten. Tidak mudah tapi tidak juga mustahil.
Menyoal Penempatan TKI di Luar Negeri
Masalah TKI yang bekerja di luar negeri adalah persoalan klasik yang tak pernah tuntas di negeri murung ini. Dari aspek hukum, terdapat payung hukum utama melalui UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang secara konsepsi mencoba memberikan dasar legal penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri baik pra, masa penempatan hingga purna penempatan. Di samping undang-undang, dipastikan terbit regulasi pendukung lain, seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden maupun peraturan menteri. Problemnya, landasan hukum saja tidak cukup. Perlu konsistensi merealisasikannya, meskipun, terdapat plus minus di UU No.39 Tahun 2004 yang mendesak di revisi di masa depan.
Yang pasti, lingkaran rumit pengiriman TKI berawal dari dalam negeri. Rendahnya pendidikan calon TKI yang didominasi lulusan SD (hampir 50% lebih), pelatihan yang minim, calo dari oknum Perusahaan Pelaksana TKI Swasta (PPTKIS) yang gentayangan, yang sembarangan mengirimkan TKI ke luar negeri tanpa kompetensi, pembekalan dan pertanggungjawaban perlindungannya. Negara dipastikan bekerja pula melakukan perlindungan. Ada direktorat jenderal Bina Penta Kemenakertrans, ada BNP2TKI dan belum pelbagai satgas yang dibentuk. Namun, Indonesia adalah negara yang tidak pernah cukup bila didekati semata-mata struktural. Selalu ada persoalan-persoalan kultural yang tidak habis-habis. Mental suap. dugaan pemerasan di bandara-bandara. Hingga daya tahan yang bebal dari PPTKIS untuk terus menerus mengeksploitasi TKI tanpa pertanggungjawaban. Pemerintah telah menindak namun yang belum terjaring masih ada.
Pada akhirnya, mesti ada suatu 'lompatan' luar biasa berupa kebijakan yang "super serius" dari semua pihak, konsistensi dan keikhlasan. Sebab, ini merupakan realitas yang harus dituntaskan. Dan bukan hanya sekedar menjadi wacana tanpa akhir.
Ntahlah....

Selasa, 21 Juni 2011

Bersama Komite III DPD RI

Ada suasana baru. Sudah hampir satu tahun bersama Komite III Dewan Perwakilan Daerah RI. Persahabatan ditengah tumpukan makalah, coppy-an flash disk atau keringat letih. Berbagai haru dan kadang mesti agak sabar ketika pilu menyambangi, dengan tetap wajah tersenyum. Banyak pengetahuan saling sapa. Pikiran-pikiran lepas tentang buruh migran yang tragis: dianiaya hingga pidana mati. Atau kritik galak soal Ujian Nasional (UN) yang rutin menimbulkan korban, namun terus dipaksakan dilaksanakan. Belum lagi menatap pikiran-pikiran para menteri, anggota dewan atau nara sumber pakar-pakar yang bertitel profesor, doktor dan seterusnya.
Menarik. Suasana baru, refleksi baru dan menggagas hal baru.
Hari ini, ketika menuliskan, di Hotel Mercure Ancol, letih menjumpaiku dengan amat sangat. Namun, melihat sahabat yang tegar, rasa letih menyurut.
Aku, waktu dan lalu, kini tengah "bersama Komite III DPD RI"

Rabu, 08 Desember 2010

anomali demokrasi

seringkali demokrasi menimbulkan anomali, khususnya bila kita tidak disiplin pada rule of game, dan tiga nilai dasarnya: kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Paket yang tidak bisa terpisah adalah pendalaman demokrasi baik politik maupun ekonomi. entahlah!

Senin, 05 April 2010

Refleksi

Kadang kita tidak sepenuhnya paham apa-apa yang kita singkap dari realitas. Perlu refleksi, menjaga jarak dengan rutinitas. Memelihara rasionalitas dengan tetap memuja Sang Khaliq, sumber segala rasionalitas dan iman kita. Semua memang bukan hal sederhana. Dan, kita seringkali juga tidak dapat memastikan apakah semua baik-baik saja. Namun, sekali lagi, refleksi merupakan kunci. Memungut hikmah dalam semua peristiwa.