Politik Hukum Pasca Reformasi[1]
Oleh R Muhammad Mihradi, S.H.,M.H.[2]
Pendahuluan
Tidak mudah
memastikan dan mendiskusikan politik hukum pasca reformasi. Sebab, bagi
sebagian yang apatis, kata “hukum” itu sendiri sudah menjadi persoalan. Apakah
hukum mengandung makna aturan yang “netral” dan “obyektif” menuju arah
pelembagaan kepastian, ketertiban dan keadilan secara memadai. Atau hukum hanya
sekedar “kabut” ideologis. Sekedar menutupi proses bekerjanya kekuasaan anti
publik yang bergerak ganas mencari “rente” atau “komisi haram” sambil menindas
masyarakat rentan. Dalam kondisi, konteks serta relasi demikian, pemakalah
berikhtiar untuk melacak pelbagai perspektif dari politik hukum sembari merawat
“harapan” akan tatanan bernegara lebih baik.
Di dalam perspektif
teoritik, hukum adalah gejala dalam kenyataan masyarakat yang majemuk,
mempunyai banyak aspek, dimensi dan faset. Pada hukum terkandung baik
kecenderungan konservatif (mempertahankan dan memelihara) apa yang sudah
tercapai maupun kecenderungan modernisme (membawa, mengkanalisasi dan
mengarahkan perbuatan). Implementasinya, hukum memerlukan kekuasaan sekaligus
menentukan batas serta cara penggunaan kekuasaan itu.[3]
Hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau hubungan antara
orang-orang dalam masyarakat. Untuk menjabarkannya maka hukum merumuskannya
dalam berbagai fungsi yakni (1) pembuatan norma-norma baik yang memberikan
peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang; (2)
penyelesaian sengketa-sengketa dan (3) mengatur kelangsungan kehidupan
masyarakat dalam hal terjadi perubahan-perubahan.[4]
Sayangnya, hukum
tidak selalu memiliki sejarah manis. Dalam analisis teori hukum kritis Marxis
misalnya, jelas dipaparkan adanya kondisi yang memungkinkan hukum sebagai instrumen
dari kelas sosial yang dominan untuk melayani ketidakadilan ekonomi.[5]
Hukum diproduksi oleh elite yang memiliki kepentingan untuk mengukuhkan dan
mengelola kekuasaannya agar didistribusi diantara mereka dan publik menjadi
korban dari proses-proses elitis tadi yang menafikan keberpihakan pada publik
yang lebih luas.
Sinyal Marxis rupanya
menyapa Indonesia pasca reformasi. Peta buram politik hukum pasca reformasi menunjukkan
pembusukan pada seluruh ranah “trias
politica”. Di ranah legislatif, kinerja dalam membentuk undang-undang
semakin memburuk. Bila di tahun 2008, DPR berhasil mengesahkan 62 undang-undang
dari target prioritas 80 rancangan undang-undang yang disahkan. Maka, di tahun
2011, DPR hanya sanggup mengesahkan 21 undang-undang dari total target 93 undang-undang
yang harusnya disahkan. Ini baru dari segi kuantitatif. Belum dari sisi
kualitatif dapat diukur dari jumlah undang-undang yang dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi. Dari sisi kemalasan, kehadiran rata-rata anggota DPR dalam sidang-sidang
masih di bawah 50 persen selama tahun 2011. Tragisnya, yang meningkat justru
praktik korupsi hingga menerpa partai berkuasa, partai demokrat.[6]
Pada ranah eksekutif,
badai masalah menerpa pula. Setidaknya, isu korupsi century gate yang tak pernah tuntas. Demikian pula kasus dugaan
suap Kemenakertrans dan Kemenpora. Layanan publik yang masih suram. Pemilihan
kepala daerah diwarnai aroma politisasi birokrasi dan uang. Ditambah pembusukan
desentralisasi yang terjebak pada strategi membangun institusi negara (state institutional reform). Minus
memperkuat kapasitas negara (state
capacity). Politik pencitraan menjadi tak terelakkan.[7]
Sementara, di sisi
yudisial memprihatinkan. Kasus Munir yang tak pernah tuntas. Praktik suap
kalangan hakim masih terjadi. Murungnya, hukum begitu digdaya ketika menghukum
nenek Minah yang sekedar mencuri tiga buah kakao atau Rusminah mengambil enam
buah piring. Namun, hukum lumpuh, bahkan mandul mengadili secara tuntas kasus
Gayus Tambunan, BLBI dan check pelawat Miranda Gultom. Ketidakadilan “seolah” orchestra yang mengiringi awan gelap
penegakan hukum. Berangkat dari kondisi mencemaskan inilah kita menelaah
politik hukum pasca reformasi.
Politik Hukum: Regangan Normatif-Empirikal
Terdapat beragam
definisi politik hukum.[8]
Namun, rumusan politik hukum menurut Moh. Mahfud MD bagi pemakalah agak
membantu memahami persoalan-persoalan kontekstual reformasi. Bagi Mahfud,
politik hukum dirumuskan sebagai “kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional
oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik
mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di
belakang pembuatan dan penegakan hukum itu”.[9]
Rumusan di atas
mengingatkan akan kondisi faktual bahwa hukum tidak steril dari sub sistem
kemasyarakatan lainnya. Dalam kondisi demikian, politik kerapkali melakukan
intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum. Tidak heran, apabila
konstruksi yang dibangun Moh. Mahfud MD didesain dalam perspektif bahwa “hukum
merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau
kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling
bersaingan”.[10]
Berdasarkan
penelitian Moh. Mahfud MD di atas yang dituangkan dalam bentuk disertasi, maka
terdapat aksioma yakni di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, produk
hukumnya berkarakter responsif/populistik. Sedangkan di negara yang konfigurasi
politiknya otoriter. Maka, produk hukumnya berkarakter
ortodoks/konservatif/elitis.[11]
Meski demikian, perlu diberikan catatan kritis, sebagaimana diungkapkan pula
oleh Mahfud bahwa aksioma ini tidak persisten sekali. Dimungkinkan pada
konfigurasi politik otoriter, lahir produk hukum responsif. Namun, ini tidak
mewakili makro suasana produk hukum itu sendiri secara keseluruhan. [12]
Secara normatif,
politik hukum Indonesia sesungguhnya dapat dilihat landasan konstitusionalnya
di dalam Pembukaan dan pasal-pasal pada Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Dalam perspektif Abdul Hakim Garuda Nusantara,
politik hukum Indonesia bertujuan merealisasikan cita-cita negara hukum yang
didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial.[13]
Hal ini sejalan dengan ciri negara Pancasila, menurut Bernard Arief Sidharta,
yang berunsurkan tiga hal yakni: (1) negara hukum; (2) kedaulatan rakyat atau
demokrasi[14]
dan (3) merealisasikan negara yang mensejahterakan warganya (welfare state).[15]
Ada hal yang menarik
adalah mengenai Pancasila. Dalam kajian Yudi Latif, Pancasila adalah warisan
dari jenius Nusantara. Sebab, Pancasila mampu menerima berbagai budaya dan
ideologi yang masuk sejauh dapat dicerna oleh sistem sosial dan tata nilai
masyarakat yang berkembang secara berkelanjutan. Pancasila merupakan persenyawaan
antara anasir karakter asal yang mengendap laten dalam jiwa bangsa dengan visi
emansipasi baru yang diidealisasikan oleh pendiri bangsa sebagai jati diri,
dasar falsafah dan pandangan hidup bersama.[16]
Tidak heran bila A Hamid S Attamimi dengan meminjam pemikiran Rudolf Stammler
(1856-1939) merefleksikan Pancasila sebagai bintang pemandu (leittern) yakni konstruksi pikir yang
mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Implikasinya,
Pancasila menjadi cita hukum (rechts idée)
yang tidak hanya menjadi tolok ukur regulatif yakni menguji apakah sesuatu
hukum positif adil atau tidak. Melainkan
sekaligus pula berfungsi sebagai dasar konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa
tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum.[17]
Problematikanya,
apakah pelbagai perundang-undangan hingga penegakannya telah mencerminkan cita
hukum Pancasila? Bila negatif jawabannya, maka lembaga mana yang memiliki
fungsi menguji derajat konsistensi perundang-undangan dan penegakannya? Pertanyaan
ini tidak mudah dijawab.[18]
Paradigma yang
terbentang di muka adalah sangat teoritikal dan belum dapat dijamin
eksistensinya ditemukan mudah di empirikal. Kiranya peringatan Satjipto
Rahardjo perlu menjadi renungan. Menurutnya, “jangan hendaknya
peraturan-peraturan hukum itu diterima sebagai deskripsi dari
kenyataan-kenyataan. Bila itu dilakukan, maka kita telah membuat mitos baru
padahal Chamblis dan Seidman menyatakan, mitos yang demikian itu setiap hari
dibuktikan kebohongannya”.[19]
Peringatan Satjipto
Rahardjo di atas kiranya dapat menjelaskan frustasi kita mengenai kenyataan
pahit, meski ada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan pelbagai
perundang-undangan lain, bahkan Instruksi Presiden menyangkut pemberantasan
korupsi misalnya, namun tidak sanggup menghentikan anomali, penganiayaan dan
penyimpangan hukum dalam praktik bermasyarakat. Hukum menjadi semacam mantra.
Hanya dikomat-kamit namun tidak mampu dieksekusi secara setara (equal) pada semua pihak. Hukum masih
tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Di dalam konteks
politik hukum pasca reformasi, sesungguhnya ada beberapa agenda problematis. Pertama, memapankan dan melembagakan
transisi demokrasi agar dapat bertransformasi menjadi demokrasi substansial
yang mewujud dalam praktik bernegara. Kedua,
melakukan evaluasi, sinkronisasi dan harmonisasi terhadap produk-produk hukum
kolonial yang masih berlaku serta pelbagai perundang-undangan yang diduga
bermateri muatan bertentangan dengan perundang-undangan lainnya. Ketiga, menjamin dan memastikan akses
keadilan (access to justice) bagi
masyarakat marjinal atau rentan seperti masyarakat miskin dan kelompok atau
komunitas adat agar dapat terlindungi hak-haknya dari potensi-potensi yang
mendistorsi keberadaan mereka dalam dimensi hukum.
Salah Asumsi Transisi Demokrasi
Salah satu masalah
politik hukum adalah mengenai pelembagaan demokrasi. Menarik mencermati kritik
peneliti Syarif Hidayat yang mengomentari mengapa reformasi gagal mewujudkan
janji-janjinya, termasuk didalamnya desain politik hukum yang demokratis dan
berkeadilan. Kekeliruan utama adalah salah asumsi. Diduga, Indonesia di masa
Soeharto merupakan rezim otoritarian. Kemudian, reformasi adalah masa transisi
demokrasi[20]
dari otoritarian menuju demokrasi. Asumsi ini keliru. Sebab, orde baru Soeharto
bukanlah sekedar rezim otoritarian. Namun, sudah mencapai apa yang dinamakan personalized government. Pemerintahan
terpesonalisasi di tubuh Soeharto.[21]
Implikasinya, ketika
Soeharto jatuh, maka bukan rezim demokrasi yang melembaga. Melainkan kekuasaan
dari personalized government memencar
dan membentuk apa yang dinamakan oleh Moh. Mahfud MD sebagai oligarki
kekuasaan.[22]
Kekuasaan oligarkis adalah suatu konfigurasi politik yang didominasi kelompok
elite yang mengerjakan politik melalui transaksi-transaksi yang saling
memberikan keuntungan politik diantara elite sendiri.[23]
Rakyat, si pemilik kedaulatan, hanya penonton.
Dampak buruknya, maka
hukum masih berwajah ortodoks. Hukum hanya pembagian peran, kepentingan dan
keuntungan diantara para elite. Sinyalemen ini dapat dengan mudah dilacak
sebagai berikut.
Pertama, terdapat penolakan kuat untuk
menyederhanakan partai dengan menaikkan Parliamentary
Threshold (PT) secara signifikan. Alasannya, representasi partai yang
berwajahkan “kebhinekaan” harus diakomodasi. Suara rakyat tidak boleh terbuang
demikian saja. Padahal, dalam sistem presidensial adalah hal anomali adanya
multi partai. Multi partai tidak lazim dalam presidensial. Selain itu, akibat
multi partai, efektivitas pemerintah tersandera. Politik transaksional
menjamur.[24]
Kedua, mewabahnya partai politik yang menjadi mirip kartel.
Ada lima ciri kartel tadi: (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor
penentu koalisi partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3)
tiadanya oposisi; (4) hasil pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam
menentukan perilaku partai politik dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk
bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Jadi, partai tidak lagi
kompetitif.[25]
Ketiga, maraknya konflik-konflik horizontal, antara
sesama masyarakat yang diduga “by design”
elite-elite lokal-nasional yang memiliki agenda politik dengan memanfaatkan
masyarakat. Demikian pula konflik-konflik vertikal antara negara dan masyarakat
seperti di Bima dan Mesuji misalnya.[26]
Keempat, praktik korupsi saling sandera. Hampir
partai-partai politik besar memiliki oknum kadernya baik di parlemen maupun di
eksekutif yang terkena kasus korupsi. Dalam konteks seperti ini, maka sulit
akan lahir gerakan otentik memberantas korupsi yang berasal dari elite karena
antara mereka sendiri saling sandera dalam labirin korupsi.
Politik Hukum Masa Depan
Harapannya tinggal di
masyarakat sipil. Masyarakat yang diidamkan memiliki kemandirian serta daya
tawar dengan elite. Dalam masyarakat demikian maka digantungkan cita-cita agar
pembentukan hingga penegakan hukum dikembalikan pada cita hukum Pancasila, UUD
NRI Tahun 1945 dan perundang-undangan yang bermuatan kepastian, ketertiban dan
keadilan secara sinergis.
Masyarakat sipil
dipastikan tidak dapat bekerja sendiri. Ia membutuhkan agen-agen pembaharu.
Dalam konteks ini, bagi pemakalah, gerakan bantuan hukum dapat mengisi ruang.
Bagi pemakalah, ide gerakan bantuan hukum struktural yang diusung YLBHI di
dekade 90-an masih relevan disegarkan untuk mendorong gerbong hukum menuju
demokrasi yang berkeadilan. Sebagaimana ditulis oleh Abdul Hakim Garuda
Nusantara bahwa gerakan bantuan hukum struktural merupakan upaya menciptakan
kondisi-kondisi bagi terwujudnya hukum yang mampu mengubah struktur yang
timpang menuju ke arah struktur yang lebih adil.[27]
Gerakan bantuan hukum demikian tidak berhenti pada aspek-aspek teknikal hukum
namun bergerak di ranah kebijakan hukum negara sehingga mampu membentuk
landasan bagi masyarakat yang minim akses hukum.
Selain hal di atas,
politik hukum yang responsif harus ditopang oleh demokrasi otentik. Demokrasi
yang melembagakan bukan sekedar prosedur formal seperti pemilu dan pers bebas.
Namun, demokrasi yang membumikan aspek kebebasan, kesetaraan dan keadilan dalam
satu nafas. Demokrasi yang terus menerus didemokratisasi. Diradikalisasi menuju
suatu format demokrasi deliberatif ala Habermass yang menjadikan diskusi
intensif pemangku kepentingan yang bebas tekanan, rasional dan kritis menjadi
mediumnya di ruang publik.[28]
Demokrasi demikian yang akan mengembalikan khittah “hikmah” dan “kebijaksanaan”
pada ideologi Pancasila menjadi mekar kembali.
Bila menggunakan
teori Lawrence M Friedman[29]
mengenai sistem hukum yang terdiri dari struktur (structure), substansi (substance)
dan budaya hukum (legal culture),
maka pembenahan politik hukum harus dilakukan di tiga unsur dimaksud. Di
struktur, merupakan upaya yang harus tidak patah arang untuk mendorong agar
aparatur penegak hukum memiliki daya integritas yang kuat. Ini dimulai dari
rekrutmen dan sistem yang mampu memastikan proses-proses di dalam tubuh
aparatur penegak hukum tidak terkorupsi. Pembentukan pelbagai komunitas yang
memantau kinerja aparatur penegak hukum yang selama ini ada dapat menjadi modal
sosial. Seperti, kekuatan jejaring sosial dalam kasus Cicak-Buaya maupun Prita
memberikan sinyal dan indikasi bahwa komunitas dan ruang publik masih dapat
diharapkan.
Di sisi substansi
hukum diperlukan pembenahan pada proses-proses legislasi baik pusat maupun
daerah. Perencanaan pembentukan hukum harus melibatkan publik serta
mempertimbangkan kapasitas, kualitas dan jangkauan yang mampu dilakukan oleh
lembaga legislatif. Terbitnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik merupakan salah satu grand strategi untuk mendorong transparansi dan partisipasi publik
dalam legislasi.[30]
Dengan demikian, pembentukan hukum dapat mencerminkan aspirasi otentik dari
masyarakat. Selain itu, penguatan kelembagaan legislasi yang didukung tenaga
ahli professional merupakan hal niscaya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan harapan dengan
melekatkan kewajiban naskah akademik di dalam pembuatan undang-undang sehingga
kualitas legislasi didorong untuk selalu semakin baik.
Pada akhirnya, budaya
hukum merupakan sisi yang paling tidak mudah diperbaiki. Perlu ada keteladanan
dari elite dan tokoh publik. Termasuk tradisi memapankan nilai-nilai toleran,
demokratis dan berkeadilan. Tanpa itu, akan sulit untuk memapankan tradisi
penegakan hukum demokratis. Dalam persepsi demikian, aktor-aktor perubahan
seperti lembaga swadaya masyarakat, kampus dan kalangan gerakan pro hukum serta
demokrasi dapat menjadi elemen yang memfasilitasi percepatan internalisasi
nilai-nilai hukum sebagai bagian dari pola kehidupan berbangsa.
Penutup
Memperbincangkan dan
mendiskursuskan politik hukum pasca reformasi adalah sebuah pelangi yang teramat
luas horizonnya. Bisa jadi berbagai percikan dalam makalah ini sangat jauh dari
harapan untuk mampu mendeskripsikan sekaligus menggagas politik hukum yang
ideal. Meski demikian, paling tidak, dengan dihamparkannya permasalahan dalam
membangun politik hukum yang demokratis maka kita dapat menentukan titik awal
untuk melakukan perubahan yang terstruktur bagi masa depan Indonesia yang lebih
baik. Masa depan yang dipayungi pulau integritas.
[1]Disampaikan Pada Sekolah Kader Bantuan
Hukum Tingkat Dasar LBH P3HN, Jumat 17 Februari 2012, di Function Hall Office
Taman Cimanggu 2, Bogor.
[2]Staf Pengajar dan Ketua Bagian Hukum
Tata Negara FH Universitas Pakuan, Direktur Pusat Studi Hukum dan Demokrasi FH Universitas Pakuan,
Staf Ahli Komite III Dewan Perwakilan Daerah RI Senayan, Peneliti Indonesia Legal Roundtable untuk Blue
Print Komisi Yudisial serta Dewan Pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional
(KRHN). Menulis buku Kebebasan Informasi
versus Rahasia Negara, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011).
[3]Bernard Arief Sidharta, , Refleksi
tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm.116.
[4]Dalam relasi dengan perubahan sosial,
maka hukum dalam sudut pandang Satjipto Rahardjo merupakan elemen yang paling
terkena cepat perubahan sosial sebagai implikasi fungsi hukum memberikan bentuk
pada hubungan-hubungan sosial. Meski demikian, hukum dapat pula mengarahkan
perubahan seperti pada Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat di tahun 1954
yang menyatakan bahwa pemisahan (segregasi) antar ras di sekolah-sekolah negeri
bertentangan dengan konstitusi. Meski putusan tadi tidak menghapus begitu saja
prasangka rasial antara ras namun hukum disini telah menciptakan suasana umum
yang didalamnya merupakan pelaksanaan dari cita-citanya (yaitu menghilangkan
prasangka rasial) dimungkinkan. Lihat Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis Serta
Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, (Yogyakarta: Genta, 2009), hlm. 11, 111
dan 139.
[5]Ian Mc Leod, Legal Theory, (London: Mac Millan, 1999), hlm.126.
[6]Data jumlah rancangan undang-undang
dan kemalasan DPR diperoleh dari (1) Redaksi, “2011, Banyak Anggota DPR yang
Masih Malas”, Kamis 16 Februari 2012, situs http//www.kompas.com, diakses 16
Februari 2012 dan (2) Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Mengais Harapan Di Ujung Pengabdian,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2009),hlm.11.
[7]Lihat Syarif Hidayat, “Mengurai
Peristiwa, Merentas Karsa: Refleksi Satu Dasawarsa Reformasi Desentralisasi dan
Otonomi Daerah”, Majalah Prisma, Vol.
29, Juli 2010, hlm.18; bdk R. Muhammad Mihradi, “Wajah Ganda Otonomi Daerah dan
Pemekaran Wilayah”, Makalah Untuk
Seminar “Mengoptimalkan Peranan Pemuda Di Dalam Proses pemekaran Daerah Demi
Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat”, diselenggarakan Lembaga Kajian Strategis
Pembangunan Daerah, Dramaga Bogor 14 Mei 2011.
[8]Diantaranya pendapar Teuku Mohammad
Radhie yang mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak
penguasa negara mengenai hukum yang berlaku diwilayahnya, dan mengenai hukum
yang berlaku diwilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
Sedangkan Soedarto merumuskan politik hukum sebagai kebijakan dari negara
melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan peraturan
yang dikehendaki, yang diperikirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa
yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Lihat lebih lanjut, Imam Syaukani dan A Ahsin
Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum,
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 27-28.
[9]Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 1.
[10]Ibid, hlm.7. Menurut pakar hukum Meuwissen
pernah menulis bahwa meskipun hukum dipengaruhi pelbagai hal termasuk politik,
seharusnya hukum dalam bentuk perundang-undangan misalnya bukan sekedar endapan
dari konstelasi politik empirikal. Ia juga memiliki aspek normative. Unsur
idiil perundang-undangan mengimplikasikan bahwa ia merealisasikan apa yang
menurut asas-asas hukum (ide hukum, cita hukum) seharusnya direalisasikan.
Lihat Bernard Arief Sidharta, (penerjemah), Meuwissen
Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum,
(Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 10.
[12]Menurut Mahfud kasus Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria merupakan anomali tadi. Di rezim
Soekarno yang otoriter, lahir UUPA yang demokratis responsif. Menurutnya, ini disebabkan
karena UUPA dirancang sudah lama, sejak tahun 1948 dan dipengaruhi suasana
untuk melawan tatanan hukum kolonial. Selain itu, UUPA dianggap tidak mengancam
kekuasaan Soekarno, sehingga dibiarkan menjadi produk hukum. Lihat, Mahfud MD, Ibid, hlm.348.
[13]Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta:
YLBHI, 1988), hlm. 20.
[14]Konsep demokrasi itu sendiri merupakan
perdebatan panjang. Ada yang sekedar melihat demokrasi dari aspek kuantitas.
Misalnya dirumuskan demokrasi sebagai pemerintahan oleh yang mayoritas.
Terdapat pula yang merumuskan demokrasi dari sisi nilainya yang harus
melembagakan kebebasan, kesetaraan dan keadilan sebagaimana diulas oleh Donny
Gahral Adian dalam buku Demokrasi Kami,
(Depok: Koekosan, 2006), hlm.18. Meski
demikian bagi Arendt Lipjhart bahwa demokrasi didasarkan prinsip mayoritas
perlu dikoreksi. Pertama, ada kesan
mengoposisikan mayoritas-minoritas dalam demokrasi padahal semuanya memiliki
hak sama untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dan kedua, mayoritas-minoritas relatif. Bisa saja partai yang kini
mayoritas dan mempengaruhi kebijakan maka esoknya sudah berganti. Lihat Arendt
Lipjhart, Democracies: Patterns of
Majoritarian and Concept in Twenty-One Countries, (Yale University, 1984),
hlm.21-22.
[15]Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum,
(Bandung: Mandar maju, 1999), hlm.48.
[16]Yudi Latif, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm.2-4.
[17]Lihat A Hamid S Attamimi, “Peranan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi
Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990, hlm.308-309.
[18]Bagi pemakalah, idealnya Mahkamah
Konstitusi menjadi lembaga yang menguji konsistensi derajat perundang-undangan
dan penegakannya terhadap cita hukum Pancasila. Namun ada problem
epistemologis. Pertama, kewenangan
konstitusionaal MK yang hanya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar. Kedua, ranah penegakan hukum
berada di pelbagai lembaga. Ketiga, ketiadaan lembaga yang mengemban khusus
fungsi-fungsi pelembagaan nilai Pancasila seperti BP7 di masa lalu, meski
diwaspadai dimensi indoktrinasi yang potensial mengiringi.
[19]Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan
Sosiologis, (Bandung: Sinar Baru, Tanpa Tahun), hlm.14.
[20]Transisi demokrasi memang membuka
pelbagai peluang. Bisa saja terbentuk rezim demokratik. Bisa pula seperti Spanyol
di tahun 1980-an, rezim demokrasi tidak memuaskan sebagai akibat menurunnya keefektifan
pemerintah sehingga merosot kualitas demokrasi. Bahkan ada pula yang negara
demokratis mundur menjadi otoriter dan korup kembali, lihat R Muhammad Mihradi,
“Dinamika Kebijakan Hukum Dalam Transisi Demokrasi”, Jurnal Keadilan Vol.2 Nomor 6 Tahun 2002, hlm.29-30.
[21]Syarif Hidayat, “Reformasi Jilid Dua:
Rehabilitasi Peran Ormas Dalam Pusaran Transisi Demokrasi”, Makalah, Disampaikan Dalam Rapat Dengar
Pendapat Komite III DPD RI, Jakarta 18 Januari 2012.
[22]Bahayanya rezim oligarki adalah pada
kenyataan ketidakterusterangan bahwa rezim ini mengkhianati demokrasi. Ia
selalu mengkampanyekan praktik demokrasi. Mirip dengan rumusan Paul Broker
bahwa di rezim yang non demokratik di negara modern umumnya adalah kombinasi
antara diktaktor dalam organisasi dengan kepemimpinan yang mengklaim atas
demokrasi, Lihat Paul Broker, Non
Democratic Regimes: Theory, Government and Politics, (London: Mac Millan,
2000), hlm.3.
[23]Moh.Mahfud MD, “Hukum Dalam Politik
Oligarkis”, Kompas 5 Mei 2006.
[24]Lihat R. Muhammad Mihradi, “Percikan
Peta Problem Pemilukada”, Makalah Disampaikan
pada Kajian Diskusi Pokja Konsolidasi Sistem Politik dan Pemerintahan Dewan
Pertimbangan Presiden RI (Wantimpres) Jumat 20 Agustus 2010, hlm.6-7.
Bandingkan, Saldi Isra, Pergeseran Fungsi
Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial
Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo, 2010).
[25]Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang
Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009), hlm.3.
[26]Konflik negara dan masyarakat,
khususnya keterkaitan dengan masyarakat adat merupakan hal kompleks. Di satu
sisi, negara sendiri diragukan netralitasnya. Ada “shadow government” di balik pelbagai konflik, yang mudah diduga
keterlibatan saudagar atau pengusaha lokal, nasional dan multi nasional. Di
sisi lain, kompleksitas masyarakat hukum adat yang belum terbiasa dengan hukum
modern yang serba tertulis sehingga terjadi kesitegangan antara hukum negara
dengan aparatusnya dan hukum yang bermukim di nilai-nilai adat masyarakat, yang
meyakini budi baik dan hal-hal bersifat moralitas. Lihat kajian lebih lanjut, I
Wibowo, Negara Centeng: Negara dan
Saudagar di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2010) dan Myrna A
Safitri, (Editor), Untuk Apa Pluralisme
Hukum, (Jakarta: Huma, 2011).
[27]Abdul Hakim Garuda Nusantara, Op.Cit, hlm.128.
[28]Mengenai Habermas dapat dilihat F Budi
Hardiman, Demokrasi Deliberatif:
Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik Dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas,
(Yogyakarta: Kanisius, 2009) dan R. Muhammad Mihradi, Kebebasan Informasi Publik versus Rahasia Negara, (Bogor: Ghalia,
2011).
[29]Menurut Lawrence M Friedman, sistem
hukum terbagi dalam tiga hal yakni pertama,
struktur hukum yang dimaknai sebagai hal-hal yang berkaitan dengan lembaga
hukum seperti bagaimana badan legislatif ditata, jumlah pengadilan, prosedur
yang dilakukan departemen kepolisian dan sebagainya. Dengan kata lain, struktur
(structure) hukum adalah “in way, is a kind of cross section of the
legal system---a kind of still photograph, which freezes the action”(semacam
sayatan sistem hukum---seperti foto diam yang menghentikan gerak). Kedua, substansi (substance) hukum diartikan sebagai aturan (the actual rules), norma (norms)
dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem (behavior patterns of peope inside the system). Ketiga, terakhir budaya hukum (legal
culture) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum (people’s attitude toward law and the legal
system)---keperayaan, nilai, pemikiran serta harapannya (their beliefs, values, ideas,and
expectations), lihat Lawrence M
Friedman, American Law: An Introduction,
(New York: WW Norton Company, 1984),
hal.5-6. Bandingkan pula dengan R. Muhammad Mihradi, “Teka Teki Penegakan
Hukum”, Makalah Disampaikan pada
Pendidikan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDKM) FH Universitas Pakuan, 9 Januari
2010 di Fakultas Hukum Universitas Pakuan.
[30]Lihat lebih lengkap mengenai akses
informasi publik dalam R. Muhammad Mihradi, “Jaminan Hak Atas Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik Dalam Perspektif Negara Hukum Demokratis”, Jurnal Magister Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang, Vol.1 No.1
April 2010, hlm.176-186.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar