Pendahuluan
Penegakan
hukum (law enforcement) merupakan
proses yang kompleks dan berdimensi luas. Tidak mudah melakukan evaluasi
terhadap penegakan hukum. Mengingat demikian banyak faktor yang harus
dipertimbangkan. Penegakan hukum merupakan ruang mengekspresikan bahwa hukum
berfungsi. Sebab, bila hukum tidak dapat ditegakkan maka dengan sendirinya
hukum tidak berfungsi atau bahkan dianggap tidak ada. Dengan begitu, eksistensi
penegakan hukum merupakan ciri keberadaan hukum sekaligus supremasi hukum (supremacy of law) yang menjadi topik
diskusi kita kali ini.
Hukum itu
sendiri sesungguhnya memiliki dua fungsi utama yakni (1) sebagai sarana
pemelihara ketertiban masyarakat (menjamin adanya kepastian dan ketertiban) dan
(2) sarana pembaharuan masyarakat. Kedua fungsi dimaksud wajib sinergis. Paduan
dari bagaimana hukum mampu menyerap ‘the
sense of justice of people’ tanpa menafikan atau mengabaikan perannya untuk
merawat kepastian dalam tatanan ketertiban sosial.[3]
Satjipto
Rahardjo menulis bahwa penegakan hukum dapat dimaknai sebagai suatu proses
mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Adapun yang disebut
keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat
undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.[4] Penegakan
hukum merupakan elemen penting dari pranata hukum. Dengan uraian Satjipto
Rahardjo di atas, penegakan hukum memiliki kaitan erat dengan pembentukan hukum
yang berproduk peraturan-peraturan hukum. Melalui asumsi seperti itu, maka bila
suatu pembentukan hukum memiliki kualitas buruk dan tercermin pada produk
hukumnya, dipastikan akan mempersukar dalam penegakannya. Kontribusi buruknya
produk hukum sangat signifikan di dalam melemahkan penegakan hukum.
Secara
komperhensif, Soerjono Soekanto[5]
merumuskan terdapat lima faktor untuk menilai efektivitas dari penegakan hukum.
Pertama, dari faktor hukumnya
sendiri. Misalnya, apakah perumusan norma hukum telah jelas, bernas dan sesuai
dengan asas hukum itu sendiri atau tidak. Bila suatu norma peraturan daerah
misalnya, kabur dan multi tafsir, dipastikan akan menurunkan kualitas
efaktivitas hukum.
Kedua, dapat pula dipengaruhi dari faktor
penegak hukum. Seberapa jauh kualitas, kapasitas, integritas dan
profesionalitas penegak hukum telah dapat diandalkan dalam penegakan hukum.
Bila penegak hukum misalnya masih korup, sulit hukum efektif bekerja.
Ketiga, penegakan hukum dapat dipengaruhi
oleh sarana dan fasilitas. Misalnya, apabila hendak menegakan hukum lalu
lintas, apakah sarana dan fasilitas seperti shelter, jembatan penyeberangan dan
sebagainya telah memadai. Jika jawabannya negatif, maka sulit hukum ditegakkan.
Keempat, penegakan hukum dipengaruhi pula
oleh kesadaran hukum masyarakat. Bila kesadaran hukum masyarakat lemah, sukar
hukum ditegakkan. Terakhir, kelima,
penegakan hukum sangat dikontribusi juga oleh budaya hukum masyarakat. Apakah
nilai-nilai, persepsi dan pandangan hidup masyarakat mampu menghormati dan
mengapresiasi penegakan hukum yang otentik.
Bagian awal di
atas merupakan landasan umum dari konsep dan teoritik terkait penegakan hukum.
Meski demikian, harus disadari hukum tidak pernah bekerja di ruang hampa atau
kosong. Selalu terbuka pengaruh-pengaruh faktor non hukum yang membentuk profil
penegakan hukum itu sendiri.
Suatu aliran
hukum yang kini trend, yakni Critical Legal Studies berpendapat bahwa
hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan merupakan resultante dari berbagai proses
interaksi dan negosiasi pelbagai kepentingan diantara faksi-faksi dalam
masyarakat. Terdapat asumsi dan pendapat bahwa hukum bukanlah institusi yang
netral, Ia selalu menjadi variabel terpengaruh dari pelbagai gejala yang
melingkupinya.[6]
Dalam titik ekstrem, hukum tidak lagi sekedar sarana menyelesaikan sengketa,
namun dapat pula menjadi pencetus sengketa.[7] Hal
terakhir ini dipastikan harus dihindari bila kita bersepakat menempatkan
supremasi hukum sebagai paradigm kehidupan bernegara. Bisa jadi, faktor utama
yang menempatkan hukum dalam konteks yang tidak selalu diposisi sejatinya
sebagai implikasi bahwa hukum selalu berkelamin “ganda”. Di satu sisi, hukum
merupakan produk hukum namun di sisi lain, hukum adalah produk politik karena
dibentuk oleh lembaga-lembaga politik (political
institutions).[8]
Pisau analitik
teoritik akan digunakan untuk memotret bagaimana penegakan hukum di Kota Bogor.
Perlu dijelaskan sebelumnya bahwa telaahan penulis mengupas bahwa penegakan
hukum dapat berupa penegakan hukum pidana dan penegakan hukum administrasi. Bobot
hukum administrasi akan lebih dominan sesuai keahlian penulis. Beberapa kasus
menonjol akan penulis analisis dan
menjadi sampel dalam makalah ini untuk didiskusikan lebih lanjut.
***
Kasus
Korupsi DPRD Kota Bogor Gate
Kasus korupsi
DPRD Kota Bogor adalah kasus penggunaan dana APBD anggaran penunjang kegiatan
DPRD di tahun 2002 sebesar Rp. 5.528.026.000 dan dalam Anggaran Biaya Tambahan
(ABT) sebesar Rp. 1.320.000.000,- atau
total sebesar Rp.6.848.026.000,- Dana yang dituduhkan korupsi adalah dana yang
disepakati dan dicantumkan dalam APBD 2002.
Adapun dana dirumuskan sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1999 dan Tata Tertib
DPRD. Adapun dana penunjang yang dipersoalkan adalah dana perumahan, kunjungan
kerja, general check up, mobilitas
dewan dan operasional dewan.
Yang menarik,
dana yang dicantumkan APBD 2002 tidak dipermasalahkan oleh gubernur (karena
menurut UU Pemda, sebelum pengesahan Perda APBD harus ada pengesahan dulu
Gubernur) dan tidak dipersoalkan pula oleh BPK. Kemudian, dana tersebut
dipersoalkan karena melanggar PP No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan
DPRD yang PP tersebut telah dibatalkan MA. Terbit pula PP No.105 Tahun 2000
tentang Pengelolaan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Atas dasar dugaan
korupsi tersebut kemudian kejaksaan memproses dan pada akhirnya telah terbit
Putusan MA yang memidana M Sahid (mantan Ketua DPRD Kota Bogor masa itu) karena
telah melakukan tindak pidana korupsi. Putusan MA tersebut telah memiliki
kekuatan hukum pasti (inkracht van
gewisjde) dan dalam putusan tersebut terpidana M. Sahid dinyatakan
melakukan korupsi secara bersama-sama (sesuai Pasal 55 KUHP). Implikasinya,
anggota DPRD lain di masa M. Sahid kini diproses secara hukum karena diduga
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Terlepas dari
anomali substansi putusan MA dalam kasus M. Sahid mengingat terdapat kasus
serupa dengan Kota Bogor di daerah lain
dan diputus bebas. Meski demikian, penulis hendak melihat sisi prosedur
hukum yang dilalui dalam kasus korupsi DPRD Gate dan tidak mengupas putusan MA
tentang perkara pidana korupsi M. Sahid.
Pertama, kasus korupsi yang diproses sejak
tahun 2002 ini terasa berlarut-larut, apalagi anggota DPRD lain baru diberkas
dan diproses persidangan 2010-2011 ini. Proses perkara yang berlarut-larut
menimbulkan ketidakadilan pada dua pihak, yakni pihak tersangka dan terdakwa kasus
DPRD Gate dan pihak masyarakat yang menginginkan kepastian hukum atas duduk
perkara kasus ini.
Kedua, silang pendapat mengenai penahanan
para tersangka-terdakwa DPRD Gate ini. Ada yang ditahan sejak awal dan ada yang
belakangan. Penahanan pun diletakkan pada diskresi yang berpotensi subyektif
pada Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang lengkapnya dinyatakan berikut. “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan
dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak
atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”. Tiga
tolok ukur yakni (1) melarikan diri; (2) merusak atau menghilangkan barang
bukti ; dan atau (3) mengulangi tindak pidana, menurut pemakalah, harus
dipaparkan oleh aparat penegak hukum secara argumentatif dan terbuka pada
publik serta pihak berkepentingan manakala akan dilakukan penahanan.
Ketiga, kasus korupsi merupakan tindak
pidana jabatan (ambts delicten) yang
melibatkan pelbagai pihak. Kiranya kejaksaan perlu pula menelusuri kemungkinan
keterlibatan eksekutif dalam tindak pidana
korupsi mengingat pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah
berdasarkan PP No.105 Tahun 2000 adalah kepala daerah (walikota). Mesti
ditelusuri apakah Walikota beserta perangkatnya di masa dugaan korupsi DPRD Gate terjadi terlibat atau tidak praktik
korupsi dimaksud? Bila kejaksaan tidak melakukan penelusuran sampai ke sana
maka berpotensi terjadi diskriminasi hukum.[9]
Kasus Izin Mendirikan Bangunan Universitas Bakrie[10]
Di media Radar
Bogor diberitakan bahwa peletakan batu pertama bagi pendirian Universitas
Bakrie di Bogor Nirwana Residance ternyata belum memiliki Izin Mendirikan
Bangunan (IMB). Hal ini jelas sangat memprihatinkan mengingat lembaga
pendidikan di bawah naungan pengusaha besar keluarga Bakrie tidak memperhatikan
aspek hukum administrasi pendirian bangunan.
Menurut hemat
pemakalah, pemerintah harus melakukan tindakan-tindakan tegas dan jelas terkait
dengan ketiadaan perizinan bangunan. Pertama,
bila sedang diajukan proses permohonan IMB maka pemerintah daerah harus
memperhatikan apakah permohonan telah dilengkapi persyaratan dan dari sisi tata
ruang telah terpenuhi atau tidak. Kedua,
bila kelengkapan perizinan belum terpenuhi maka pemerintah kota harus
memperhatikan agar tidak dilakukan berbagai tindakan untuk mendirikan bangunan
dan peresmian sekalipun sepanjang izin belum diberikan. Dua hal ini penting
untuk memastikan supremasi hukum berjalan.[11]
Kasus Pembangunan Pasar Modern dan Mini Market
Pemerintah
Kota Bogor di dalam menegakkan aturan terkait tata ruang, perizinan bangunan dan
usaha harus dilakukan pencermatan dan penegakan yang konsisten agar tidak
terjadi praktik diskriminasi dan pelanggaran aturan. Pembangunan Pasar Modern
Cilendek Barat tanpa Izin Mendirikan Bangunan[12]
misalnya yang sempat ditemukan Walikota merupakan model kebiasaan buruk pengembang usaha di
mana membangun terlebih dahulu bangunannya dan proses perizinan diurus
belakangan. Hal ini jelas melanggar prinsip-prinsip hukum administrasi yang
menegaskan asas legalitas sebagai hal penting di dalam melakukan tindakan-tindakan
di ranah hukum administrasi.[13]
Bila tidak sesuai ketentuan perda tata ruang dan perizinan pada Perda Bangunan
maka pemerintah kota harus menindak tegas.
Demikian pula
maraknya pendirian mini market yang belum memiliki perizinan harus menjadi konsentrasi
utama dari pemerintah kota. Hal ini akan berdampak pada persaingan usaha tidak
sehat, hilangnya kepastian hukum dan “seakan-akan” berpotensi menimbulkan
diskriminasi. Ke depan perlu kiranya pembaharuan aturan terkait dengan usaha
mini market agar zonasi antar tempat usaha, keseimbangan lingkungan dan aspek
persaingan usaha yang sehat menjadi instrumen untuk menata tertibkan perilaku
bisnis mini market.[14]
Kasus Penegakan Perda Ketertiban Umum
Masalah berat
di kota Bogor adalah maraknya gelandangan dan pengamen yang mengganggu
ketertiban umum. Praktik gelandangan dan pengamen dilakukan ditempat-tempat
terlarang menurut Perda Ketertiban Umum. Persoalannya, bila pendekatan hanya
dilakukan secara hukum maka ini hanya menjadi simptom yang tidak terselesaikan. Perlu disadari bahwa aspek hukum
sangat terkait dengan aspek sosial-ekonomi dan budaya yang tidak selalu
terjangkau oleh dimensi hukum.
Penyelesaian
kasus-kasus seperti di atas perlu didekati dengan pendekatan multi disiplin.
Dari aspek ekonomi, maraknya gelandangan, pengemis dan pengamen merupakan
cermin “sakitnya” ekonomi masyarakat yang harus diterapi dengan upaya-upaya
pemberdayaan ekonomi kerakyatan misalnya. Selain itu, dari aspek
penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu dilacak pelaku gelandangan dan
pengemis yang tidak selalu berasal dari Kota Bogor melainkan dari luar daerah
Kota Bogor. Perlu koordinasi dan kebijakan lintas daerah untuk melakukan
penanganan sehingga aspek-aspek kearifan penanganan merupakan dimensi utama
selain aspek hukum yang amat terbatas dimaksud.
Penerapan
sanksi dalam perda ketertiban umum yang berupa denda dan pidana kurungan
kiranya perlu ditimbang ulang. Mengingat dalam kasus-kasus tertentu, pidana
seperti ini tidak efektif. Misalnya bagi pengemis akan sulit ditindak untuk
denda mengingat kemiskinannya sulit membayar denda. Bila dipidana kurungan,
tidak menyelesaikan masalah. Perlu langkah inovasi untuk memikirkan pidana yang
dapat memberikan aspek penjeraan di satu sisi dan menjadi solusi bagi masalah
sosial di sisi lain.
Epilog
Kupasan
berbagai sampel kasus di atas memperlihatkan bagian-bagian centang perenang
dari supremasi hukum di Kota Bogor, khususnya pada dimensi penegakan hukum.
Meski demikian perlu disadari bahwa problematika penegakan hukum sangat
kompleks. Apalagi bila pembentukan suatu aturan yang hendak ditegakkan tidak
melalui proses partisipasi publik yang memadai maupun mengakomodasi berbagai
kepentingan-kepentingan publik secara arif.[15]
Hal lain yang
menarik dicermati berkenaan dengan komitmen dalam menegakan aturan. Seperti
dalam penegakan perda ketertiban umum dan perda bangunan, seringkali ketentuan
yang telah tegas dan jelas bila tidak diikuti oleh konsistensi penegakan hukum
maka akan berdampak pada terdistorsinya prinsip supremasi hukum.
Terakhir, merupakan
gejala dan keniscayaan untuk pembentukan komunitas dan masyarakat kritis sadar
hukum dan kuat budaya hukumnya sehingga mampu melakukan kritik konstruktif. Mempergunakan
akses maupun hak hukumnya sesuai ketentuan yang berlaku.[16]
[1]Makalah disampaikan pada
Diskusi Publik “Komedi Putar Supremasi Hukum Di Kota Bogor”, Jumat 29 April
2011 di Gedung Alumni IPB Baranang Siang Bogor, diselenggarakan oleh Pengurus
Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bogor.
[2]Direktur
Pusat Studi Hukum dan Demokrasi Fakultas Hukum (FH) Universitas Pakuan Bogor,
Staf Ahli Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Senayan Jakarta, Tenaga
Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor, Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) untuk
Blue Print Komisi Yudisial, Anggota Dewan Pendiri Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional (KRHN), Panitia Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Kota
Bogor, Mantan Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Konsolidasi Sistem Politik dan
Pemerintahan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) RI (2010) dan Dosen di FH
Universitas Pakuan, FH Unika Atma Jaya Jakarta serta Akademi Teknologi Bogor
(AKTB). Karya tulis terbarunya adalah Kebebasan
Informasi Publik vs Rahasia Negara diterbitkan oleh Ghalia Indonesia tahun
2011.
[3]Lihat
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang
Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2000), 27 dan R. Muhammad
Mihradi, “Pembatalan Perda: Sebuah Catatan Reflektif”, Makalah, Diskusi Terbatas Mekanisme
dan Implikasi Pembatalan Perda, Sabtu, 29 Agustus 2009 di Lembaga Penelitian
dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN) di Jl Martapura Jakarta,
1.
[4]
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan
Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Sinar Baru, tt), 24.
[5]
Konsep Soerjono Soekanto dielaborasi dengan analisis penulis, diolah dari buku
Munir Fuady, Sosiologi Hukum Kontemporer:
Interaksi Hukum, Kekuasaan, dan Masyarakat, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2007), 117. Bandingkan pula dengan tulisan R. Muhammad Mihradi, “Menyoal
Penegakan Hukum Masa Pemerintahan SBY”, Paper
Disampaikan Forum Diskusi Ilmiah “SIMAPRO” (Diskusi Mahasiswa Progresif),
Bertema “Setahun Pemerintahan SBY Dalam
Aspek Penegakan Hukum”, Rabu 20 Oktober 2010 di Aula Soepomo Gedung
Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor.
[6]Ifdhal
Kasim, “Mempertimbangkan ‘Critical Legal
Studies’ Dalam Kajian Hukum Indonesia, Jurnal Wacana INSIST, Edisi 6 Tahun
II, 2000, 26-28. Roberto M Unger bahkan melakukan kritik keras terhadap
keyakinan dari aliran modern yang meyakini bahwa seakan-akan hukum positif yang
kini berlaku adalah obyektif, netral dan positif dapat ditegakkan. Hukum
menurutnya tidak dapat dimaknai sekedar kanon tertutup tanpa interpretasi yang
kontekstual. Lebih mendalam dapat dilihat karya klasik Roberto M Unger, The Critical Legal Studies Movement,
(USA: Library of Conggress, 1986), 1-3.
[7]Pendapat
bahwa hukum sebagai pencetus sengketa digagas oleh Charles Stamford yang
berpandangan bahwa hukum merupakan sesuatu yang cair (legal
melee) dan dapat potensial untuk melahirkan disintegrasi, bila hukum yang
dirancang dan ditegakkan dilakukan di atas bangunan ketidakadilan. Lihat R. Muhammad Mihradi, “Matinya Mitos Negara
Hukum”, Harian Suara Pembaruan, 7 Oktober 2002, 4-5.
[8]Seorang
ahli hukum kenamaan dari Belanda Meuwissen
berpandangan bahwa, meski hukum dipengaruhi pelbagai hal termasuk
politik, seharusnya hukum dalam bentuk perundang-undangan misalnya bukan
sekedar endapan dari konstelasi politik empirikal. Ia juga memiliki aspek
normatif. Unsur idiil perundang-undangan mengimplikasikan bahwa ia merealisasikan
apa yang menurut asas-asas hukum (ide hukum, cita hukum) seharusnya
direalisasikan. Lihat Bernard Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan
Filsafat Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), 10. Bahkan menurut
Lawrence Baum, di Amerika Serikat, pelbagai literatur menerangkan bahwa tidak
mungkin lembaga peradilan non politis.
Apalagi dirumuskan bahwa lembaga peradilan “as
a part of government, court are political institutions by definitions”.
Jadi, lembaga peradilan adalah bagian dari penyelenggara pemerintahan arti
luas. Nilai-nilai dalam diri hakim, pengaruh persepsi dan opini publik,
seringkali dapat membentuk dan mempengaruhi hakim dalam memutus. Pada kasus Brown vs Board of Education (1965)
mengenai segregasi kulit hitam-kulit putih, Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat
membuat terobosan berupa membuat putusan bahwa pemisahan pendidikan bagi kulit
hitam dan putih adalah tindakan illegal dan unconstitutional.
Lebih lanjut, Lawrence Baum, The Supreme
Court, (USA: Congressional Quarterly, 1989), 8 dan 240. Dalam kasus
Indonesia, peluang pengaruh politik pada peradilan senantiasa terbuka. Misalnya
pada tafsir ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan dengan tegas
bahwa “Terhadap putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Dalam ketentuan di atas, MA
tidak memiliki sikap yang jelas. Ada putusan MA yang menolak pengajuan
peninjauan kembali (PK) oleh Jaksa karena yang dirumuskan pada Pasal 263 ayat
(1) KUHAP eksplisit hanya hak dari “terpidana atau ahli warisnya mengajukan PK.
Namun, ada pula putusan MA yang mengabulkan permohonan PK oleh Jaksa. Dualisme
putusan seperti ini terbuka peluang pengaruh politik berperan. Lihat pula
putusan MA pada kasus permohonan PK Jaksa dalam Kasus Pidana Muchtar Pakpahan
yang dikabulkan padahal putusan di tingkat sebelumnya adalah putusan bebas yang
seharusnya tidak dapat diajukan PK oleh Jaksa, periksa R. Muhammad Mihradi, Dasar-Dasar Menuju Pemahaman Yurisprudensi
Peradilan Tata Usaha Negara (HAN Dalam Yurisprudensi), Bogor: Divisi
Penerbitan Forum Kajian Hukum Fakultas Hukum Universitas Pakuan, 2006.
[9]Marx
pernah menulis dan mengingatkan bahwa terdapat gejala hukum termanipulasi.
Baginya “law is an instrument of class
domination which serves to preserve economic inequalities”, lihat Ian Mc
Leod, Legal Theory, (London: Mac Millan, 1999), 126. Hal ini harus dihindari
agar hukum tidak menjadi alat kelas dominan yang memiliki kekuasaan politik,
uang dan sebagainya. Hukum harus melayani secara non diskriminasi. Di Harian
Radar Bogor 18 Agustus 2010 terdapat silang sengketa mengenai dana yang
dikembalikan para tersangka dan terdakwa APBD Gate ke Kas Daerah. Menurut
Walikota Diani telah masuk ke Kas Daerah sedangkan menurut Panitia Anggaran
2004-2009 DPRD Kota Bogor Fauzi Sutopo belum masuk Kas Daerah masih menjadi
alat bukti di Kejaksaan. Hal ini harus diklarifikasi dan ditransparansikan pada
publik.
[10]
Radar Bogor 21 April 2011. www.radarbogor.co.id
[11]Bila
pemerintah tidak melakukan tindakan tegas penegakan aturan terhadap
korporasi-korporasi yang melanggar aturan dikhawatirkan hal ini akan
mengabsahkan teori politik mengenai “negara centeng” di mana negara atau pemerintah cenderung
berpihak pada kelompok elite usahawan lokal-internasional dan abai terhadap
warganya sendiri sebagai cerminan anutan ekonomi neo liberal. Bahasan mendalam
tentang “negara centeng” dapat dilihat I Wibowo, Negara Centeng: Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, (Yogyakarta:
Kanisius, 2010).
[12]
Radar Bogor, 30 Agustus 2010 di situs www.radarbogor.com
[13]Di
dalam hukum administrasi, pemerintah memiliki banyak fungsi antara lain: (1) fungsi
pengaturan yang lazim disebut fungsi regulasi yakni sebagai usaha untuk
menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya kegiatan di tatanan
sosial masyarakat; (2) fungsi pelayanan, yang akan membuahkan keadilan dalam
masyarakat dan (3) fungsi pemberdayaan yang akan mendorong kemandirian dalam
masyarakat. Di dalam menguji tindakan pemerintah dari sisi hukum administrasi,
harus diperhatikan setidaknya tiga hal. Pertama,
aspek kewenangan yang dapat bersifat bebas, terikat dan fakultatif. Dapat pula
dari segi sumber kewenangan yakni atribusi, delegasi dan mandat. Kedua, aspek prosedur yang memperhatikan
legalitas, efektivitas-efisiensi dan demokrasi. Terakhir, ketiga, aspek substansi terkait dengan isi suatu tindakan hukum
administrasi. Lihat, Sadjijono, Memahami
Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo,
2008), 46-73.
[14]Ada
diskursus panjang mengenai persaingan usaha pasar modern vs pasar tradisional,
mini market vs kelontong dimana dimensi diskursus dimaksud akan berujung pada
persoalan kebijakan pemerintah dan keadilan (justice). Ketika akses dan modal (capital) serta jejaring pasar modern dan mini market begitu kuat
maka pemerintah seharusnya melakukan upaya penguatan pada pasar tradisional dan
kelontong sehingga dapat bersaing sehat dengan kuat. Model kemitraan dapat
menjadi pilihan. Dengan demikian, keadilan bagi semua (justice for all) dapat terpenuhi. Kesemuanya bermuara akhir pada
hukum yang mampu mengayomi dan bukan memprovokasi konflik bagi persaingan usaha
dimaksud. Mengenai teori-teori keadilan dan perdebatannya dapat dilihat lebih
lanjut Ronald Dworking, Taking Rights
Seriously, (USA: Universal Law Publishing, 1999).
[15]Aspek
pelibatan partisipasi publik yang maksimal dalam pembentukan aturan hukum
akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam. Misalnya, Jurgen Habermas sangat
berkepentingan untuk menelisik bagaimana proses-proses partisipasi publik
terawat dengan baik melalui konsepsi diskursus demokrasi deliberative yang
menitikberatkan pada rasio komunikatif terbuka bebas tekanan. Baginya, komunikasi ruang publik baru
dianggap sehat dan demokratis bila memenuhi tiga syarat. Pertama, diskursus yang melibatkan pelbagai aktor pemangku
kepentingan harus dibangun dalam koridor bahasa yang sama dan secara konsisten
mematuhi aturan-aturan logis dan semantik dari bahasa itu. Kedua, kesamaan berdiskursus akan terjadi bila setiap peserta
memiliki maksud untuk mencapai konsensus yang tidak memihak dan memandang
peserta lainnya sebagai pribadi yang otonom yang tulus, bertanggungjawab dan
sejajar seta tidak menganggap mereka hanya sarana belaka. Ketiga, harus ada aturan-aturan yang dipatuhi secara umum yang
mengamankan proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi. Aturan-aturan
tersebut harus memastikan bahwa orang mencapai konsensus berkat “paksaan tak
memaksa dari argument”. Lihat F. Budi Hardiman, “Ruang Publik dan Demokrasi
Deliberatif: Etika Politik Jurgen Habermas”, dalam F. Budi Hardiman dkk. Empat Esai Etika Politik, (Jakarta: www.srimulyani.net dan Komunitas Salihara,
2011), 11.
[16]Gerakan
masyarakat kritis kini mendapat harapan yang besar dengan pemanfaatan teknologi
internet. Gerakan Facebooker Koin Prita
dan Gerakan Facebooker Dukung KPK
misalnya merupakan sampel bagaimana komunitas di jejaring maya mampu membangun
solidaritas untuk memperjuangkan hak hukum dan demokrasi. Tidak heran banyak
literatur yang menulis demokrasi di dunia maya sebagai realitas tak
terhindarkan dari perkembangan zaman.
1 komentar:
Kami RAJA RAK INDONESIA menyediakan berbagai macam RAK, seperti RAK MINIMARKET, RAK TOKO, RAK SUPERMARKET dan RAK GUDANG. Website kami di : http://www.rajarakminimarket.com, http://www.rajaraksupermarket.com, http://www.rakgudangjakarta.com, Telp: 021-87786434
Posting Komentar