Senin, 04 Juni 2012

Pemakzulan Presiden


MENELISIK PEMAKZULAN PRESIDEN PASCA AMANDEMEN UUD 1945[1]
Oleh R. Muhammad Mihradi[2]


Di Indonesia, reformasi 1998 membawa dinamika “berkah” tuntutan perubahan berupa pelembagaan demokrasi. Hal ini merupakan implikasi setelah sekian lama rezim otoriterian Orde Baru mengurung kebebasan (freedom) sebagai jantung kebebasan. Demokrasi itu sendiri memang suatu terminologi yang tidak sederhana dan kadang mengalami komplikasi sana-sini. Namun, kelebihan demokrasi, ia masih dapat mengkoreksi sistem yang dibangunnya dengan didasarkan pada aspirasi publik yang otentik.[3]

Pelembagaan demokrasi menerpa pula jabatan Presiden. Presiden merupakan posisi strategis dalam bentuk pemerintahan republik yang sangat berperan pada pengelolaan negara. Pada masa Orde Baru, jabatan Presiden merupakan institusi yang mengalami problematis. Pertama, di dalam norma konstitusi (UUD 1945) saat itu disebutkan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Norma ini melahirkan interpretasi bahwa Presiden yang sama dapat dicalonkan berkali-kali sepanjang dipilih. Ini melegitimasi rezim otoriterian Orde Baru. Kedua, tolok ukur pemberhentian yang bias. Sebab, Pasal 8 dan Penjelasan UUD 1945 (Pra Amandemen) menggunakan indikator salah satu tolok ukur pemberhentian Presiden adalah pelanggaran haluan negara (Pancasila UUD dan/atau GBHN). Hal ini diperkuat dengan Ketetapan MPR No.III/MPR/1978 yang mengatur mengenai prosedurnya mulai dari pemberian memorandum (pernyataan tidak puas) kepada Presiden hingga dilakukan sidang istimewa meminta pertanggungjawaban Presiden.[4] Dua orang Presiden diberhentikan (dimakzulkan) dengan model ini, yakni Soekarno karena pidato pertanggungjawaban yang berjudul Nawaksara beserta pelengkapnya ditolak oleh MPRS dalam sidang paripurna MPRS 1967 dan Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan melalui Tap MPR No. II/MPR/2001 tanpa memberikan pidato pertanggungjawaban.[5] Sedangkan Soeharto menggunakan mekanisme “berhenti” sesuai Pasal 8 UUD 1945 (Pra Amandemen).[6]
Masa reformasi melalui amandemen UUD 1945 mencoba melakukan koreksi. Kini pada Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 dirumuskan bahwa pada prinsipnya pemberhentian Presiden tidak lagi menggunakan tolok ukur politis melainkan yuridis. Pertama, Presiden dapat diberhentikan bila melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya maupun perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Kedua, sebelum MPR memberhentikan Presiden maka prosedur yang wajib ditempuh adalah DPR mengajukan pendapat mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden pada Mahkamah Konstitusi (MK).[7] MK kemudian lalu melakukan pemeriksaan dan apabila terbukti maka amar putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 83 ayat (2) UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah menyatakan membenarkan pendapat DPR. Lalu, DPR melakukan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden kepada MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut. Keputusan MPR diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Hal serupa berlaku pada pemberhentian Wakil Presiden.
***
Model pemberhentian Presiden (pemakzulan/impeachment) Indonesia pasca amandemen memiliki kemiripan dan pengaruh dari sistem pemberhentian Presiden di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, Presiden hanya dapat diberhentikan bila melakukan tindak pidana. Pasal 2 ayat (4) Konstitusi Amerika Serikat menyatakan bahwa: “The President, Vice President, and all civil officer of the United States, shall be removed from office on impeachment for and conviction of, treason, bribery, or other high crime and misdemeanors”. Hanya atas dasar pengkhianatan penyuapan, tindakan criminal dan perbuatan jahat serius, Presiden, Wakil Presiden dan pejabat Sipil dapat diberhentikan atau dikenakan impeachment. Sedangkan di Konstitusi Jerman (Basic Law), alasan pemberhentian Presiden selain pidana juga pelanggaran semua bidang hukum yang diatur dalam Undang-Undang Federal.[8]
Problematikanya, pada kasus Indonesia, gelombang ketidakpuasan terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY) terdapat gejala menguat. Ini didasarkan pada kekecewaan terhadap maraknya korupsi di semua elemen trias politica serta ketidakpuasan penanganan menyangkut kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, mekanisme ketatanegaraan yang telah jelas dalam konstitusi tidak selalu dapat digunakan. Mengingat dimensi politik seringkali menjadi suatu proses yang dinamis dan berinteraksi dalam relasi-relasi perubahan sosial (social change) yang memiliki konflik kepentingan kuat antar elite.
Misalnya, secara politik, apakah memungkinkan potensi penggunakan prosedur pemakzulan melalui mekanisme ketatanegaraan konstitusional sementara dengan adanya koalisi partai politik di bawah pimpinan Partai Demokrat sebagai partai penguasa yang dominan di parlemen membentuk konfigurasi politik yang menutup celah dimaksud? Belum lagi politik saling sandera diantara partai sebagai implikasi belitan kasus-kasus korupsi yang menerpa elite partai.
***
Dari dimensi yuridis sendiri beberapa hal menarik dikaji mendalam. Pertama, apakah MK memiliki kompetensi melakukan pembuktian khususnya dalam konteks pidana terhadap pelanggaran hukum Presiden. Mengingat, karakteristik MK sebagai pengadilan tata negara (constitutional court) yang berbeda karakter dengan peradilan secara pidana.

Kedua, apakah waktu yang diberikan oleh konstitusi dalam Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 yakni MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus seadil-adilnya dalam waktu sembilan puluh hari menyangkut pemakzulan Presiden ini merupakan hal yang wajar? Mengingat pembuktian pidana tidak mudah dan memerlukan penelisikan yang mendalam.
Ketiga, apakah Presiden yang telah dimakzulkan lalu dapat diadili lagi di peradilan umum dari sisi pidana? Bagaimana dengan penerapan asas ne bis in idem.
Keempat, bagaimana bila MK berpendapat bahwa Presiden melanggar hukum namun MPR memutus yang berbeda. Apakah hal ini mengandung makna, putusan hukum dikalahkan putusan politik?[9]
Pada akhirnya, tidak ada sistem pemerintahan dalam konteks demokrasi yang dapat memuaskan. Amerika Serikat mengalami hal serupa. Meski misalnya kebijakan Presiden Obama sangat kontra produktif dan tidak disukai publik maka hal ini tidak dapat menjadi landasan pemakzulan. Sistem, strategi, kebijakan dan cara memerintah Presiden Obama akan terus berlaku hingga berakhir masa jabatannya. Kecuali bila Presiden Obama melakukan pelanggaran pidana.
Sebagaimana ditulis oleh Donny Gahral Adian, demokrasi bukan sesuatu sekali jadi (given). Sejarah pemikiran dan aktivisme demokrasi adalah sejarah koreksi terus menerus terhadap kebebasan, kesetaraan dan keadilan.[10] Paling tidak melalui demokrasi, terdapat potensi memupuk mimpi untuk membangun sistem ketatanegaraan yang lebih baik.


[1]Disampaikan pada Seminar “Menakar Pemakzulan Presiden Pasca Reformasi Dalam Perspektif Yuridis-Politis”, Diselenggarakan di Aula Soepomo FH Universitas Pakuan, 15 Oktober 2011 oleh Lembaga Kajian Masalah Sosial Nusantara bekerja sama Bagian Hukum Tata Negara FH Universitas Pakuan Bogor
[2]Staf Ahli Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Direktur Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (PSHD) dan Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor. Tenaga Ahli Raperda Pendidikan DPRD Kota Bogor (2010-2011) dan Anggota Pokja Konsolidasi Sistem Politik dan Pemerintahan Dewan Pertimbangan Presiden (2010).
[3]Jack Lively pernah menulis tentang sulitnya merumuskan pengertian demokrasi. Lord Bryce misalnya memberikan definisi yang masih dapat diperdebatkan. Menurutnya, democracy as ‘government in which the will of the majority of qualifield citizens rules’. Sedangkan bagi Leslie Lipson, di dalam demokrasi dapat pula dilihat dari perspektif pemerintahan sebagai kompetisi  melacak alternatif bagi kebijakan yang terbaik mengelola negara dengan memperhatikan fakta-fakta sosial. Demokrasi memadukan antara perlindungan minoritas di satu sisi dan pelembagaan pembatasan konstitusional bagi kelompok mayoritas. Lihat Jack Lively, Democracy, (Oxford: Basil Blackwell Oxford, 1975), hlm. 9 dan Lislie Lipson, The Democractic Civilization (Feffer and Simons 1964), hlm. 239-242. Titik Triwulan Tutik memaknai demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan yang memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan, lihat R. Muhammad Mihradi, Kebebasan Informasi Publik versus Rahasia Negara, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 36.
[4]Lihat Ari Wuisang, Pengantar Hukum Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD Tahun 1945, Fakultas Hukum Universitas Pakuan,2005.
[5]Kasus Presiden Abdurrahman Wahid atau lazim dipanggil Gusdur merupakan peristiwa ketatanegaraan menarik. Pada awalnya Panitia Khusus (Pansus) DPR menyimpulkan bahwa Presiden Gusdur diduga melakukan penyelewengan dana Yanatera Bulog sebesar Rp. 35 milyar dan dana bantuan Sultan Brunei sebesar Rp. 2 juta dollar AS. DPR memberikan memorandum sebanyak dua kali dan berpendapat Presiden Gusdur telah melanggar haluan negara yakni: a) melanggar UUD 1945 pada Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan b) melanggar Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Ternyata Presiden Gusdur tidak mau memberikan pertanggungjawaban saat diminta ke sidang istimewa MPR bahkan mengeluarkan maklumat yang berisi: (1) pembekuan DPR/MPR; (2) pemilu dipercepat dalam waktu satu tahun dan (3) pembubaran Golkar. MPR kemudian melakukan sidang istimewa dan memberhentikan Presiden Gusdur tanpa adanya pertanggungjawaban Presiden. Penting dicermati  bahwa seluruh proses di atas  berada pada ranah optik politik dan tidak menggunakan tolok ukur yuridis, khususnya di dalam pembuktian pelanggaran haluan negara, lihat selengkapnya R. Muhammad Mihradi, “Menguji Tolok Ukur Pemberhentian Presiden”, Jurnal Keadilan Vol.1 No.2 Juni 2001, hlm.8-9.
[6]Bila melacak Ketetapan MPR No.III/MPR/1978 bahwa Majelis dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatanya karena: a) atas permintaan sendiri; b) berhalangan tetap dan c) sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Sedangkan Pasal 8 UUD 1945 menyatakan: “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya.
[7]Mengenai lembaga MK dapat dilacak salah satunya tulisan R. Muhammad Mihradi, “Mahkamah Konstitusi, Sebuah Keajaiban”, Kompas Jumat 4 Juli 2003.
[8]Jimly Asshidiqie “Pemberhentian dan Penggantian Presiden”, dalam A Muhammad Asrun dan Hendra Nurtjahjo, 70 Tahun Prof. Dr. Harun Al Rasid, Integritas, Konsistensi Seorang Sarjana Hukum, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000) hlm.140.
[9]Kegelisahan ini pernah diungkap oleh Prof.Dr.Sri Soemantri dalam suatu diskusi pada saat perancangan RUU Mahkamah Konstitusi. 
[10]Donny Gahral Adian, Demokrasi Kami, (Depok: Koekoesan, 2006), hlm. 17.

Tidak ada komentar: