MENELISIK
PEMAKZULAN PRESIDEN PASCA AMANDEMEN UUD 1945[1]
Oleh
R. Muhammad Mihradi[2]
Di
Indonesia, reformasi 1998 membawa dinamika “berkah” tuntutan perubahan berupa
pelembagaan demokrasi. Hal ini merupakan implikasi setelah sekian lama rezim
otoriterian Orde Baru mengurung kebebasan (freedom)
sebagai jantung kebebasan. Demokrasi itu sendiri memang suatu terminologi yang
tidak sederhana dan kadang mengalami komplikasi sana-sini. Namun, kelebihan
demokrasi, ia masih dapat mengkoreksi sistem yang dibangunnya dengan didasarkan
pada aspirasi publik yang otentik.[3]
Pelembagaan
demokrasi menerpa pula jabatan Presiden. Presiden merupakan posisi strategis
dalam bentuk pemerintahan republik yang sangat berperan pada pengelolaan
negara. Pada masa Orde Baru, jabatan Presiden merupakan institusi yang
mengalami problematis. Pertama, di
dalam norma konstitusi (UUD 1945) saat itu disebutkan bahwa “Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih
kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Norma ini
melahirkan interpretasi bahwa Presiden yang sama dapat dicalonkan berkali-kali
sepanjang dipilih. Ini melegitimasi rezim otoriterian Orde Baru. Kedua, tolok ukur pemberhentian yang
bias. Sebab, Pasal 8 dan Penjelasan UUD 1945 (Pra Amandemen) menggunakan
indikator salah satu tolok ukur pemberhentian Presiden adalah pelanggaran
haluan negara (Pancasila UUD dan/atau GBHN). Hal ini diperkuat dengan Ketetapan
MPR No.III/MPR/1978 yang mengatur mengenai prosedurnya mulai dari pemberian
memorandum (pernyataan tidak puas) kepada Presiden hingga dilakukan sidang
istimewa meminta pertanggungjawaban Presiden.[4]
Dua orang Presiden diberhentikan (dimakzulkan) dengan model ini, yakni Soekarno
karena pidato pertanggungjawaban yang berjudul Nawaksara beserta pelengkapnya
ditolak oleh MPRS dalam sidang paripurna MPRS 1967 dan Presiden Abdurrahman
Wahid diberhentikan melalui Tap MPR No. II/MPR/2001 tanpa memberikan pidato
pertanggungjawaban.[5]
Sedangkan Soeharto menggunakan mekanisme “berhenti” sesuai Pasal 8 UUD 1945
(Pra Amandemen).[6]
Masa
reformasi melalui amandemen UUD 1945 mencoba melakukan koreksi. Kini pada Pasal
7A dan Pasal 7B UUD 1945 dirumuskan bahwa pada prinsipnya pemberhentian Presiden
tidak lagi menggunakan tolok ukur politis melainkan yuridis. Pertama, Presiden dapat diberhentikan
bila melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara
korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya maupun perbuatan tercela atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Kedua, sebelum MPR memberhentikan Presiden maka prosedur yang wajib
ditempuh adalah DPR mengajukan pendapat mengenai dugaan pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh Presiden pada Mahkamah Konstitusi (MK).[7]
MK kemudian lalu melakukan pemeriksaan dan apabila terbukti maka amar putusan
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 83 ayat (2) UU No.24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi adalah menyatakan membenarkan pendapat DPR. Lalu, DPR
melakukan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden kepada
MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut
paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut. Keputusan MPR
diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri 3/4 dari jumlah anggota dan
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah
Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.
Hal serupa berlaku pada pemberhentian Wakil Presiden.
***
Model
pemberhentian Presiden (pemakzulan/impeachment)
Indonesia pasca amandemen memiliki kemiripan dan pengaruh dari sistem
pemberhentian Presiden di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, Presiden hanya
dapat diberhentikan bila melakukan tindak pidana. Pasal 2 ayat (4) Konstitusi
Amerika Serikat menyatakan bahwa: “The
President, Vice President, and all civil officer of the United States, shall be
removed from office on impeachment for and conviction of, treason, bribery, or
other high crime and misdemeanors”. Hanya atas dasar pengkhianatan
penyuapan, tindakan criminal dan perbuatan jahat serius, Presiden, Wakil
Presiden dan pejabat Sipil dapat diberhentikan atau dikenakan impeachment. Sedangkan
di Konstitusi Jerman (Basic Law),
alasan pemberhentian Presiden selain pidana juga pelanggaran semua bidang hukum
yang diatur dalam Undang-Undang Federal.[8]
Problematikanya,
pada kasus Indonesia, gelombang ketidakpuasan terhadap pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhono (SBY) terdapat gejala menguat. Ini didasarkan pada
kekecewaan terhadap maraknya korupsi di semua elemen trias politica serta ketidakpuasan penanganan menyangkut
kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, mekanisme ketatanegaraan yang telah
jelas dalam konstitusi tidak selalu dapat digunakan. Mengingat dimensi politik
seringkali menjadi suatu proses yang dinamis dan berinteraksi dalam
relasi-relasi perubahan sosial (social
change) yang memiliki konflik kepentingan kuat antar elite.
Misalnya,
secara politik, apakah memungkinkan potensi penggunakan prosedur pemakzulan
melalui mekanisme ketatanegaraan konstitusional sementara dengan adanya koalisi
partai politik di bawah pimpinan Partai Demokrat sebagai partai penguasa yang
dominan di parlemen membentuk konfigurasi politik yang menutup celah dimaksud? Belum
lagi politik saling sandera diantara partai sebagai implikasi belitan kasus-kasus
korupsi yang menerpa elite partai.
***
Dari
dimensi yuridis sendiri beberapa hal menarik dikaji mendalam. Pertama, apakah MK memiliki kompetensi
melakukan pembuktian khususnya dalam konteks pidana terhadap pelanggaran hukum
Presiden. Mengingat, karakteristik MK sebagai pengadilan tata negara (constitutional court) yang berbeda
karakter dengan peradilan secara pidana.
Kedua, apakah waktu yang
diberikan oleh konstitusi dalam Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 yakni MK wajib
memeriksa, mengadili dan memutus seadil-adilnya dalam waktu sembilan puluh hari
menyangkut pemakzulan Presiden ini merupakan hal yang wajar? Mengingat
pembuktian pidana tidak mudah dan memerlukan penelisikan yang mendalam.
Ketiga,
apakah Presiden yang telah dimakzulkan lalu dapat diadili lagi di peradilan
umum dari sisi pidana? Bagaimana dengan penerapan asas ne bis in idem.
Keempat,
bagaimana bila MK berpendapat bahwa Presiden melanggar hukum namun MPR memutus
yang berbeda. Apakah hal ini mengandung makna, putusan hukum dikalahkan putusan
politik?[9]
Pada
akhirnya, tidak ada sistem pemerintahan dalam konteks demokrasi yang dapat
memuaskan. Amerika Serikat mengalami hal serupa. Meski misalnya kebijakan
Presiden Obama sangat kontra produktif dan tidak disukai publik maka hal ini
tidak dapat menjadi landasan pemakzulan. Sistem, strategi, kebijakan dan cara
memerintah Presiden Obama akan terus berlaku hingga berakhir masa jabatannya.
Kecuali bila Presiden Obama melakukan pelanggaran pidana.
Sebagaimana
ditulis oleh Donny Gahral Adian, demokrasi bukan sesuatu sekali jadi (given). Sejarah pemikiran dan aktivisme
demokrasi adalah sejarah koreksi terus menerus terhadap kebebasan, kesetaraan
dan keadilan.[10]
Paling tidak melalui demokrasi, terdapat potensi memupuk mimpi untuk membangun
sistem ketatanegaraan yang lebih baik.
[1]Disampaikan pada Seminar “Menakar Pemakzulan Presiden Pasca Reformasi
Dalam Perspektif Yuridis-Politis”, Diselenggarakan di Aula Soepomo FH
Universitas Pakuan, 15 Oktober 2011 oleh Lembaga Kajian Masalah Sosial
Nusantara bekerja sama Bagian Hukum Tata Negara FH Universitas Pakuan Bogor
[2]Staf Ahli Komite III Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) RI, Direktur Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (PSHD) dan Ketua
Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor. Tenaga Ahli
Raperda Pendidikan DPRD Kota Bogor (2010-2011) dan Anggota Pokja Konsolidasi
Sistem Politik dan Pemerintahan Dewan Pertimbangan Presiden (2010).
[3]Jack Lively pernah menulis tentang
sulitnya merumuskan pengertian demokrasi. Lord Bryce misalnya memberikan definisi
yang masih dapat diperdebatkan. Menurutnya, democracy as ‘government in which the will of the majority of qualifield citizens
rules’. Sedangkan bagi Leslie Lipson, di dalam demokrasi dapat pula dilihat
dari perspektif pemerintahan sebagai kompetisi melacak alternatif bagi kebijakan yang terbaik
mengelola negara dengan memperhatikan fakta-fakta sosial. Demokrasi memadukan
antara perlindungan minoritas di satu sisi dan pelembagaan pembatasan
konstitusional bagi kelompok mayoritas. Lihat Jack Lively, Democracy, (Oxford: Basil Blackwell Oxford, 1975), hlm. 9 dan
Lislie Lipson, The Democractic
Civilization (Feffer and Simons 1964), hlm. 239-242. Titik Triwulan Tutik
memaknai demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta
pemerintahan yang memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan
rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan, lihat R. Muhammad
Mihradi, Kebebasan Informasi Publik
versus Rahasia Negara, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 36.
[4]Lihat Ari Wuisang, Pengantar Hukum Lembaga Negara Pasca
Perubahan UUD Tahun 1945, Fakultas Hukum Universitas Pakuan,2005.
[5]Kasus Presiden Abdurrahman Wahid atau
lazim dipanggil Gusdur merupakan peristiwa ketatanegaraan menarik. Pada awalnya
Panitia Khusus (Pansus) DPR menyimpulkan bahwa Presiden Gusdur diduga melakukan
penyelewengan dana Yanatera Bulog sebesar Rp. 35 milyar dan dana bantuan Sultan
Brunei sebesar Rp. 2 juta dollar AS. DPR memberikan memorandum sebanyak dua
kali dan berpendapat Presiden Gusdur telah melanggar haluan negara yakni: a)
melanggar UUD 1945 pada Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan b) melanggar
Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan
Bebas KKN. Ternyata Presiden Gusdur tidak mau memberikan pertanggungjawaban saat
diminta ke sidang istimewa MPR bahkan mengeluarkan maklumat yang berisi: (1)
pembekuan DPR/MPR; (2) pemilu dipercepat dalam waktu satu tahun dan (3)
pembubaran Golkar. MPR kemudian melakukan sidang istimewa dan memberhentikan
Presiden Gusdur tanpa adanya pertanggungjawaban Presiden. Penting
dicermati bahwa seluruh proses di
atas berada pada ranah optik politik dan
tidak menggunakan tolok ukur yuridis, khususnya di dalam pembuktian pelanggaran
haluan negara, lihat selengkapnya R. Muhammad Mihradi, “Menguji Tolok Ukur
Pemberhentian Presiden”, Jurnal Keadilan
Vol.1 No.2 Juni 2001, hlm.8-9.
[6]Bila melacak Ketetapan MPR
No.III/MPR/1978 bahwa Majelis dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa
jabatanya karena: a) atas permintaan sendiri; b) berhalangan tetap dan c)
sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Sedangkan Pasal 8 UUD 1945 menyatakan:
“Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya.
[7]Mengenai lembaga MK dapat dilacak
salah satunya tulisan R. Muhammad Mihradi, “Mahkamah Konstitusi, Sebuah
Keajaiban”, Kompas Jumat 4 Juli 2003.
[8]Jimly Asshidiqie “Pemberhentian dan
Penggantian Presiden”, dalam A Muhammad Asrun dan Hendra Nurtjahjo, 70 Tahun Prof. Dr. Harun Al Rasid,
Integritas, Konsistensi Seorang Sarjana Hukum, (Jakarta: Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000) hlm.140.
[9]Kegelisahan ini pernah diungkap oleh
Prof.Dr.Sri Soemantri dalam suatu diskusi pada saat perancangan RUU Mahkamah
Konstitusi.
[10]Donny Gahral Adian, Demokrasi Kami, (Depok: Koekoesan,
2006), hlm. 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar