Kps:27-02-04
Oleh R Muhammad Mihradi
DI
masyarakat, pergumulan pemikiran seputar reformasi konstitusi sepertinya tidak
mendapat apresiasi memadai. Meski saat awal-awal perubahan UUD 1945 mendapat
banyak tanggapan di media, tampaknya masyarakat marjinal terpinggirkan dari
isu-isu itu.
Konstitusi,
boleh jadi, bagi mereka merupakan proyek elitis, tidak langsung bersentuhan
dengan problem nyata keseharian. Konstitusi bahkan dianggap tidak dapat
berbicara langsung saat mereka mengalami penggusuran atau dizalimi oleh korupsi
di mana-mana.
SECARA
teoretis, konstitusi memiliki peran cukup strategis. Ringkasnya, ia merupakan
kumpulan norma yang ditujukan untuk mengatur alokasi kekuasaan, fungsi-fungsi,
dan kewajiban-kewajiban di antara berbagai badan-badan dan para pejabat
pemerintahan, dan untuk mendefinisikan hubungan antarmereka dengan masyarakat
(Satya Arinanto, 2002). Namun, makna luhur konstitusi ini, mau tidak mau, dalam
sistem hukum kita harus diderivasi dan diimplementasikan dalam bentuk produk
hukum di bawahnya.
Celakanya,
jika produk hukum di bawah konstitusi mencederai konstitusi, konstitusi tidak
mampu melawannya. Memang ada Mahkamah Konstitusi (MK) yang berfungsi sebagai
the guardians of constitution dengan salah satu kewenangannya menguji UU atas
UUD. Namun, harus diingat, tindakan MK pun tetap menuntut prosedur aktif dari
warga negara (yang mayoritas minim pemahaman hukumnya) untuk melakukan aksi
permohonan pengujian.
Konyolnya
lagi, UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi membatasi pengujian UU
atas UUD hanya setelah perubahan UUD 1945. Jadi, sebelum UUD 1945 diubah, tidak
dapat diuji. Padahal, banyak produk hukum masa lalu yang justru bertentangan
dengan aspirasi konstitusional masyarakat.
PENULIS
tidak tahu harus berangkat dari mana, namun idealnya sebuah konstitusi dapat
menjadi rujukan bersama dari penyelenggaraan negara. Apabila ada penggusuran
permukiman kumuh setelah bertahun-tahun dibiarkan bermukim, seharusnya dapat
dilindungi dengan ketentuan Pasal 28 huruf d UUD 1945 yang menjamin setiap
orang untuk mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Amat tidak adil bila
mereka yang tergusur, ternyata dibiarkan terlunta-lunta, sementara tiap pemilu
hendak berlangsung, suara mereka mendadak menjadi rebutan. Sayang, konstitusi
diam seribu bahasa.
Tidak
heran, banyak ahli politik mulai mengecilkan makna studi teks konstitusi.
Menurut pendapat mereka, sering kali banyak dokumen konstitusi yang tidak
lengkap, jika tidak dapat dikatakan menyesatkan, untuk menjadi pedoman bagi
praktik nyata, yakni apa yang sering disebut sebagai working constitution atau
governance dari suatu negara. Termasuk kemungkinan aturan-aturan konstitusi
mungkin dihilangkan atau diabaikan untuk kepentingan sesaat elite politik
(Laporan Konferensi Internasional IDEA "Melanjutkan Dialog Menuju
Reformasi Konstitusi di Indonesia", 2002:62). Hal ini menjadi kian relevan
ketika sekian banyak praktik penyelenggara negara dengan mudah mengabaikan
konstitusi. Korupsi, penggusuran, tata ruang semrawut, dan bencana banjir
adalah sebagian kecil daftar inventarisasi problem yang jauh dari semangat
konstitusi.
Tentu
kalangan ahli konstitusi akan menyanggah argumentasi penulis. Bukankah
konstitusi hanya memuat pokok-pokok dari susunan ketatanegaraan yang mendasar
berikut pembagian dan pembatasan tugasnya disertai jaminan terhadap hak asasi
manusia?
Sanggahan
ini dengan mudah dipatahkan dan menjadi tidak menarik apabila realitasnya tidak
ada jaminan ketentuan dasar dalam teks konstitusi benar-benar diimplementasikan
dalam peraturan perundang-undangan yang lebih konkret. Tanpa jaminan itu,
ikhtiar keras Komisi Konstitusi yang independen sekalipun rasa-rasanya menjadi
basa-basi dan kian percuma saja.
SEBENARNYA,
Ismail Suny dalam buku standar hukum tata negara, Pembagian Kekuasaan Negara
(1982), telah mengingatkan akan bahaya dari pendelegasian perundang-undangan
(delegated legislation). Artinya, pada level konstitusi, bisa jadi norma yang
dirumuskan telah memadai. Namun, di level operasional, yaitu pada penyusunan
peraturan perundang-undangan, diselewengkan. Dan di Indonesia, celakanya sektor
legislasi senantiasa dipengaruhi gonjang-ganjing politik sehingga tidak pernah
ada komitmen memadai untuk memprioritaskannya (lihat R Muhammad Mihradi,
Mahkamah Konstitusi, Sebuah Keajaiban, Kompas, 4 Juli 2003).
Elite
politik lebih tertarik pada arena bantah-membantah sebagai wujud fungsi
pengawasan DPR dan melupakan fungsi legislasi yang menjadi tugas esensinya.
Akibatnya, saat peraturan perundang- undangan dibutuhkan untuk menjawab masalah
nyata masyarakat, yang ada hanya sekian banyak aturan yang berisi daftar
kewajiban warga dan minim bagi penguasa. Rakyat, sekali lagi dengan amat
menyesal, termarjinalkan.
Mungkin,
setelah direnungkan, kegagalan konstitusi menjawab permasalahan adalah karena
Indonesia ditakdirkan taqlid buta pada sistem civil law, terutama pada aspek
hukum publiknya. Dalam sistem civil law, tradisi legislasi menjadi amat kental
dan hakim dibikin legalistik-positivistik. Hakim diarahkan menjadi corong
undang-undang. Berbeda dengan negara-negara yang menganut common law, seperti
AS, naskah konstitusi menjadi lebih hidup dalam masyarakat melalui praktik
peradilan sehari-hari. Hakim dapat langsung menerapkan konstitusi pada kasus-kasus
konkret.
Ini
jauh berbeda dengan di Indonesia, di mana hakim tetap mengacu pada ketentuan UU
dan peraturan di bawahnya. Hanya Mahkamah Konstitusi yang langsung kepada UUD.
Itu pun sebatas pengujian UU terhadap UUD. Di bawah UU, tetap kewenangan MA.
Dan, Mahkamah Konstitusi pun tidak dapat menangani sengketa yang sifatnya
perbuatan pemerintah yang nyata (feitelijk handeling), seperti pembongkaran
semena-mena dan sebagainya.
Alhasil,
kita perlu memeriksa kembali bangunan sistem hukum yang dianut, yang sarat
prosedur. Artinya, konstitusi sering merumuskan norma-norma ideal yang hanya
ditemukan di dalam teks. Sementara di level praksis, konstitusi hanya menjadi
penonton belaka.
APAKAH
kita masih perlu konstitusi? Jawabnya tergantung dari mana kita memandang. Bila
kita hanya memperlakukan konstitusi sebagai dokumen dingin, tak memiliki ruh
dan sekadar kosmetik, penulis kira konstitusi menjadi tidak bermakna. Namun,
akan lain halnya bila konstitusi dibuat hidup, diimplementasikan secara
konsisten, dan ditata ulang sesuai dengan semangat konstitusionalisme (paham
terbatasnya kekuasaan negara), maka konstitusi menjadi penting.
Untuk
itu perlu dipikirkan strategi guna merombak sistem hukum agar memberi
keleluasaan bagi konstitusi untuk mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat.
Seperti di AS, saking konkret dirasakan keberlakuannya di masyarakat,
konstitusi AS diberi gelar sebagai civil religion.
Bagi
penulis, ada benarnya sinyalemen penjelasan UUD 1945 yang mengingatkan
pentingnya semangat jiwa penyelenggaraan negara yang baik. Karena, sebagus apa
pun konstitusi, tanpa jiwa penyelenggaraan negara yang baik. akan sia-sia
belaka. Dengan kata lain, sudah saatnya kita mencari alternatif mereformasi
sistem ketatanegaraan agar tidak menjadi menara gading. Mereformasi konstitusi
bukan segalanya tanpa diikuti bagaimana membumikan konstitusi. Bukankah hukum
dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya?
R
Muhammad Mihradi Peneliti di Forum Kajian Hukum; Pengajar FH
Universitas Pakuan, Bogor; Staf Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN),
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar