Kamis, 14 Juni 2012

Tulisan Mihradi Di Kompas Tahun 2004

Masih Perlukah Konstitusi?
Kps:27-02-04
Oleh R Muhammad Mihradi
DI masyarakat, pergumulan pemikiran seputar reformasi konstitusi sepertinya tidak mendapat apresiasi memadai. Meski saat awal-awal perubahan UUD 1945 mendapat banyak tanggapan di media, tampaknya masyarakat marjinal terpinggirkan dari isu-isu itu.
Konstitusi, boleh jadi, bagi mereka merupakan proyek elitis, tidak langsung bersentuhan dengan problem nyata keseharian. Konstitusi bahkan dianggap tidak dapat berbicara langsung saat mereka mengalami penggusuran atau dizalimi oleh korupsi di mana-mana.
SECARA teoretis, konstitusi memiliki peran cukup strategis. Ringkasnya, ia merupakan kumpulan norma yang ditujukan untuk mengatur alokasi kekuasaan, fungsi-fungsi, dan kewajiban-kewajiban di antara berbagai badan-badan dan para pejabat pemerintahan, dan untuk mendefinisikan hubungan antarmereka dengan masyarakat (Satya Arinanto, 2002). Namun, makna luhur konstitusi ini, mau tidak mau, dalam sistem hukum kita harus diderivasi dan diimplementasikan dalam bentuk produk hukum di bawahnya.
Celakanya, jika produk hukum di bawah konstitusi mencederai konstitusi, konstitusi tidak mampu melawannya. Memang ada Mahkamah Konstitusi (MK) yang berfungsi sebagai the guardians of constitution dengan salah satu kewenangannya menguji UU atas UUD. Namun, harus diingat, tindakan MK pun tetap menuntut prosedur aktif dari warga negara (yang mayoritas minim pemahaman hukumnya) untuk melakukan aksi permohonan pengujian.
Konyolnya lagi, UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi membatasi pengujian UU atas UUD hanya setelah perubahan UUD 1945. Jadi, sebelum UUD 1945 diubah, tidak dapat diuji. Padahal, banyak produk hukum masa lalu yang justru bertentangan dengan aspirasi konstitusional masyarakat.
PENULIS tidak tahu harus berangkat dari mana, namun idealnya sebuah konstitusi dapat menjadi rujukan bersama dari penyelenggaraan negara. Apabila ada penggusuran permukiman kumuh setelah bertahun-tahun dibiarkan bermukim, seharusnya dapat dilindungi dengan ketentuan Pasal 28 huruf d UUD 1945 yang menjamin setiap orang untuk mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Amat tidak adil bila mereka yang tergusur, ternyata dibiarkan terlunta-lunta, sementara tiap pemilu hendak berlangsung, suara mereka mendadak menjadi rebutan. Sayang, konstitusi diam seribu bahasa.
Tidak heran, banyak ahli politik mulai mengecilkan makna studi teks konstitusi. Menurut pendapat mereka, sering kali banyak dokumen konstitusi yang tidak lengkap, jika tidak dapat dikatakan menyesatkan, untuk menjadi pedoman bagi praktik nyata, yakni apa yang sering disebut sebagai working constitution atau governance dari suatu negara. Termasuk kemungkinan aturan-aturan konstitusi mungkin dihilangkan atau diabaikan untuk kepentingan sesaat elite politik (Laporan Konferensi Internasional IDEA "Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia", 2002:62). Hal ini menjadi kian relevan ketika sekian banyak praktik penyelenggara negara dengan mudah mengabaikan konstitusi. Korupsi, penggusuran, tata ruang semrawut, dan bencana banjir adalah sebagian kecil daftar inventarisasi problem yang jauh dari semangat konstitusi.
Tentu kalangan ahli konstitusi akan menyanggah argumentasi penulis. Bukankah konstitusi hanya memuat pokok-pokok dari susunan ketatanegaraan yang mendasar berikut pembagian dan pembatasan tugasnya disertai jaminan terhadap hak asasi manusia?
Sanggahan ini dengan mudah dipatahkan dan menjadi tidak menarik apabila realitasnya tidak ada jaminan ketentuan dasar dalam teks konstitusi benar-benar diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih konkret. Tanpa jaminan itu, ikhtiar keras Komisi Konstitusi yang independen sekalipun rasa-rasanya menjadi basa-basi dan kian percuma saja.
SEBENARNYA, Ismail Suny dalam buku standar hukum tata negara, Pembagian Kekuasaan Negara (1982), telah mengingatkan akan bahaya dari pendelegasian perundang-undangan (delegated legislation). Artinya, pada level konstitusi, bisa jadi norma yang dirumuskan telah memadai. Namun, di level operasional, yaitu pada penyusunan peraturan perundang-undangan, diselewengkan. Dan di Indonesia, celakanya sektor legislasi senantiasa dipengaruhi gonjang-ganjing politik sehingga tidak pernah ada komitmen memadai untuk memprioritaskannya (lihat R Muhammad Mihradi, Mahkamah Konstitusi, Sebuah Keajaiban, Kompas, 4 Juli 2003).
Elite politik lebih tertarik pada arena bantah-membantah sebagai wujud fungsi pengawasan DPR dan melupakan fungsi legislasi yang menjadi tugas esensinya. Akibatnya, saat peraturan perundang- undangan dibutuhkan untuk menjawab masalah nyata masyarakat, yang ada hanya sekian banyak aturan yang berisi daftar kewajiban warga dan minim bagi penguasa. Rakyat, sekali lagi dengan amat menyesal, termarjinalkan.
Mungkin, setelah direnungkan, kegagalan konstitusi menjawab permasalahan adalah karena Indonesia ditakdirkan taqlid buta pada sistem civil law, terutama pada aspek hukum publiknya. Dalam sistem civil law, tradisi legislasi menjadi amat kental dan hakim dibikin legalistik-positivistik. Hakim diarahkan menjadi corong undang-undang. Berbeda dengan negara-negara yang menganut common law, seperti AS, naskah konstitusi menjadi lebih hidup dalam masyarakat melalui praktik peradilan sehari-hari. Hakim dapat langsung menerapkan konstitusi pada kasus-kasus konkret.
Ini jauh berbeda dengan di Indonesia, di mana hakim tetap mengacu pada ketentuan UU dan peraturan di bawahnya. Hanya Mahkamah Konstitusi yang langsung kepada UUD. Itu pun sebatas pengujian UU terhadap UUD. Di bawah UU, tetap kewenangan MA. Dan, Mahkamah Konstitusi pun tidak dapat menangani sengketa yang sifatnya perbuatan pemerintah yang nyata (feitelijk handeling), seperti pembongkaran semena-mena dan sebagainya.
Alhasil, kita perlu memeriksa kembali bangunan sistem hukum yang dianut, yang sarat prosedur. Artinya, konstitusi sering merumuskan norma-norma ideal yang hanya ditemukan di dalam teks. Sementara di level praksis, konstitusi hanya menjadi penonton belaka.
APAKAH kita masih perlu konstitusi? Jawabnya tergantung dari mana kita memandang. Bila kita hanya memperlakukan konstitusi sebagai dokumen dingin, tak memiliki ruh dan sekadar kosmetik, penulis kira konstitusi menjadi tidak bermakna. Namun, akan lain halnya bila konstitusi dibuat hidup, diimplementasikan secara konsisten, dan ditata ulang sesuai dengan semangat konstitusionalisme (paham terbatasnya kekuasaan negara), maka konstitusi menjadi penting.
Untuk itu perlu dipikirkan strategi guna merombak sistem hukum agar memberi keleluasaan bagi konstitusi untuk mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Seperti di AS, saking konkret dirasakan keberlakuannya di masyarakat, konstitusi AS diberi gelar sebagai civil religion.
Bagi penulis, ada benarnya sinyalemen penjelasan UUD 1945 yang mengingatkan pentingnya semangat jiwa penyelenggaraan negara yang baik. Karena, sebagus apa pun konstitusi, tanpa jiwa penyelenggaraan negara yang baik. akan sia-sia belaka. Dengan kata lain, sudah saatnya kita mencari alternatif mereformasi sistem ketatanegaraan agar tidak menjadi menara gading. Mereformasi konstitusi bukan segalanya tanpa diikuti bagaimana membumikan konstitusi. Bukankah hukum dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya?
R Muhammad Mihradi Peneliti di Forum Kajian Hukum; Pengajar FH Universitas Pakuan, Bogor; Staf Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta

Tidak ada komentar: