Kamis, 14 Juni 2012

Sabtu, 30 April 2011 , 08:48:00
http://www.radar-bogor.co.id/index.php?rbi=berita.detail&id=73424
 
BOGOR-Pengawasan terhadap penegakan hukum saat ini dinilai masih lemah, sehingga banyak kasus-kasus pidana yang tak terkuak. Atas dasar itulah, Pengamat hukum Kota Bogor, R Muhammad Mihradi, menilai perlu adanya pembentukan komunitas dan masyarakat kritis, sadar dan kuat budaya hukumnya. Sehingga mampu melakukan kritik yang bersifat konstruktif. “Tujuannya adalah akses dan hak hukum bagi siapa saja, sesuai dengan aturan yang berlaku,” ujarnya, saat mengisi diskusi publik bertajuk Komedi Putar Supremasi Hukum di Kota Bogor, kemarin.

Diskusi digelar sebagai bagian dari perayaan milad ke-51, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bogor, di Gedung Alumni IPB Baranangsiang. Pada diskusi itu, Mihradi mengupas beberapa kasus hukum yang dianggap menarik. Di antaranya, APBD Gate 2002 yang berlarutlarut, kasus pembangunan minimarket tak berizin, IMB Universitas Bakrie dan penegakan perda ketertiban umum.

Seperti pada APBD Gate 2002 yang mempermasalahkan dana penunjang bagi para anggota dewan waktu itu. Mihradi melihat kasus tersebut menarik, mengingat dana yang dicantumkan APBD 2002 tidak dipermasalahkan oleh gubernur. Selain itu, dana tersebut tidak dipersoalkan oleh badan pemeriksa keuangan (BPK). Dalam prosesnya, penyelesaian kasus ini juga berlarut-larut sehingga menimbulkan ketidakadilan baik bagi tersangka, terdakwa maupun masyarakat yang menginginkan penuntasan kasus tersebut. “Kasus ini juga menimbulkan silang pendapat mengenai para tersangka dan terdakwanya,” kata dia.

Menurut Mihradi, kejaksaan perlu menelusuri kemungkinan keterlibatan eksekutif dalam tindak pidana korupsi tersebut, mengingat pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah berdasarkan PP No 105/2000 adalah walikota. Sehingga, perlu ditelusuri apakah walikota beserta perangkatnya di masa dugaan korupsi DPRD Gate terjadi, terlibat atau tidak dengan praktik korupsi yang dimaksud. “Kasus korupsi merupakan tindak pidana jabatan atau ambts delicten yang melibatkan berbagai pihak. Karenanya, kejaksaan harus menelusuri lebih jauh,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Bogor, Ghazali Hadari yang turut hadir sebagai pembicara mengatakan, pihaknya bersama kepolisian telah melakukan reformasi di tubuh instansi masing-masing. Janji aparatur hukum tersebut, dibalas dengan pernyataan dari Ketua Umum PC PMII Kota Bogor, Rama, bahwa PMII siap mengawal pembangunan di Kota Bogor, baik di bidang hukum pendidikan, sosial maupun hal-hal lain yang berkaitan langsung dengan masyarakat.(ric)
 
 
 

Parpol Abaikan Pendidikan Politik

R Muhammad Mihradi
 
 


 
Sabtu, 28 April 2012 , 09:51:00
http://www.radar-bogor.co.id/index.php?rbi=berita.detail&id=94195
 
 
 
CIBINONG-Partai politik (parpol) berkewajiban memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, sesuai dengan undang-undang. Bahkan, untuk melaksanakan pendidikan ini, parpol mendapatkan kucuran dana dari APBN/APBD. Sayangnya, pengelolaan dana tersebut dinilai tidak jelas, sehingga kewajiban memberikan pendidikan politik pun dipertanyakan.

“Sepengetahuan saya, pendidikan politik dalam parpol sangat tidak jelas dan tidak memadai.Indikatornya, krisis rekrutmen calon pemimpin,” ujar Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Pakuan, R Muhammad Mihradi.

Menurut dia, minimnya pendidikan politik juga dikuatkan dengan kenyataan banyaknya anggota dewan yang minim kapasitas dan kualitas. Termasuk pula ketiadaan visi dan ideologi parpol yang propublik dan teruji secara empirik. Kalaupun ada, pendidikan lebih kepada ajang kumpul-kumpul untuk menguatkan dukungan.

Selain itu, lanjut Mihradi, ia mengaku jarang melihat adanya kegiatan pendidikan politik bagi publik. Selama ini, publik hanya disuguhi kampanye dan janji-janji penuh dugaan aroma politik uang. Bahkan, yang cukup memprihatinkan adalah banyaknya kepala daerah yang bukan dari kader partai pengusungnya.

“Ini menunjukkan minimnya kaderisasi tokoh mumpuni dari internal parpol,” ungkapnya.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Mihradi memiliki perspektif bahwa parpol tak lagi dapat menjalankan fungsi agregasi dan artikulator kepentingan publik, melainkan terjebak dalam skandal kartel, rente dan korupsi politik. Parahnya lagi, kondisi ini telah menjadi konsumsi publik sebagaimana terlihat pada kasus-kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Masalah kewajiban parpol tak berhenti sampai di situ. Mihradi juga mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas pelaporan dana bantuan APBN, karena dana tersebut berasal dari uang rakyat. Sehingga, transparansi laporan pengelolaan dana tersebut sangat dibutuhkan, untuk mencegah terjadinya penyelewengan. Padahal, dalam Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, mewajibkan parpol untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari APBN dan APBD kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sekali dalam setahun.

Ia menambahkan, parpol wajib membuat laporan keuangan untuk keperluan audit dana oleh akuntan publik, yang meliputi laporan realisasi anggaran,neraca dan arus kas keuangan. Sayangnya, UU Nomor 2 Tahun 2011 tidak mengatur sanksi bagi parpol yang melanggar pelaporan keuangan. Oleh karenanya, pengawasan mengenai keuangan partai hanya bergantung pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga audit lainnya.

Sementara itu, ketika dikonfirmasi kepada beberapa parpol, hanya Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang memberikan komentar. Ketua DPC Gerindra Kabupaten Bogor, Iwan Setiawan mengklaim partainya telah melaksanakan kebijakan sesuai dengan peruntukan. Di antaranya, untuk kesekretariatan dan pembinaan serta pelatihan politik di masing-masing pengurus anak cabang (PAC).(ric)
 
 
 

 Konvensi Birokrat Tidak Boleh Didanai APBD
 http://www.inilah.com/read/detail/1870858/konvensi-birokrat-tidak-boleh-didanai-apbd
 kamis 14 Juni 2012

INILAH.COM, Bogor - Wacana konvensi birokrat Kota Bogor yang digulirkan Wali Kota Bogor Diani Budiarto terus mendapat sorotan.

Semua itu tidak lepas dari pernyataan Diani yang tetap ingin menggelar konvensi birokrat untuk menentukan sosok birokrat yang akan maju dalam Pilwalkot 2013. Ironisnya, Diani menyebutkan dana untuk penyelenggaraan konvensi ini akan mengambil dari APBD Kota Bogor.

Konon biaya untuk menggelar konvensi ini mencapai angka Rp600 juta. Dana tersebut dikabarkan akan digunakan untuk membayar pembuat survei. Diskenariokan, survei cawalkot dibuka dalam tiga putaran dan akan selesai tahun depan.

Menyikapi rencana penggunaan dana APBD untuk konvensi ini mengundang reaksi keras. Pasalnya, dalam aturan penggunaan anggaran daerah, konvensi birokrat tidak termasuk dalam satu kegiatan yang bisa dibiayai APBD. Sehingga bila sampai ada alokasi dana di APBD untuk kegiatan konvensi bisa berakibat fatal.

Pemerhati politik yang juga akademisi di Universitas Pakuan Muhammad Mihradi mengatakan adalah sesuatu yang melanggar aturan bila konvensi menggunakan dana dari APBD.

"Konvensi itu tidak ada di lingkungan birokrasi. Konvensi hanya dikenal dalam tubuh partai politik. Dan lagi pula, konvensi tersebut tidak masuk dalam salah satu kegiatan yang bisa didanai oleh APBD, arti kata tidak ada pos APBD sebuah daerah untuk yang namanya kegiatan konvensi," jelas Mihradi, Senin (11/6/2012).

Bila dipaksakan penggunaan dana dari APBD untuk menggelar konvensi bisa menjadi satu pelanggaran administrasi.
"Konvensi birokrat itu ada karena adanya politisasi birokrat. Kalau sampai konvensi dibiayai oleh APBD, pihak penegak hukum baik itu inspektorat dan BPK bisa turun untuk menyelidiki. Kalau benar terjadi harus dikembalikan dan bila terbukti ada kerugian negara, ya bisa diusut untuk masuk dalam ranah hukum korupsi," imbuhnya.[jul]

LEGAL DRAFTER: TEORI DAN PENGALAMAN[1] Oleh R. Muhammad Mihradi[2]





Menjadi seorang perancang peraturan perundang-undangan (legal drafter) merupakan keterampilan tersendiri. Pemahaman teori dan ilmu perundang-undangan saja tidak cukup. Dibutuhkan kecakapan untuk menormakan di satu sisi keinginan pemangku kepentingan (stake holders) baik parlemen maupun publik terkait, di sisi lain perlu kejelian untuk merawat prinsip, asas dan konsep hukum dipastikan dimuat dalam rancangan peraturan perundang-undangan yang kita rancang.
Bagir Manan berpendapat, suatu peraturan perundang-undangan dianggap baik bila memenuhi unsur berikut: (1) perumusannya tersusun secara sistematis, bahasa sederhana dan baku; (2) sebagai kaidah, mampu mencapai daya guna dan hasil guna setinggi-tingginya baik dalam wujud ketertiban maupun keadilan; (3) sebagai gejala sosial, merupakan perwujudan pandangan hidup, kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat. Termasuk disini kemampuannya sebagai faktor pendorong kemajuan dan perubahan masyarakat dan (4) sebagai sub sistem hukum, harus mencerminkan satu rangkaian sistem yang teratur dari keseluruhan sistem hukum yang ada.[3]
Selain hal di atas, perlu pula diperhatikan unsur filosofis, sosiologis dan yuridis suatu pembentukan perundang-undangan. Secara filosofis, pembentukan perundang-undangan harus mencerminkan dua elaborasi masalah pokok yakni apa yang menjadi landasan kekuatan mengikat dari hukum dan atas dasar kriteria apa hukum dapat dinilai keadilannya. Dimensi sosiologis memotret hal-hal terkait sejauhmana pembentukan peraturan perundang-undangan dapat menjawab kebutuhan empiris masyarakat dan dinamikanya, khususnya dalam kerangka dan paradigma hukum sebagai gejala sosial. Pada akhirnya, aspek yuridis mesti menguji draft perundang-undangan yang kita rancang telah memenuhi syarat pemenuhan asas-asas hukum, koherensi dan harmonisasi antar aturan serta sistematika dan penormaan yang baik.[4]
***

Kerangka teori di atas harus diturunkan oleh legal drafter dalam pembentukan perundang-undangan secara cermat dan kontekstual. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelumnya.
Pertama, di saat diusulkan akan dibentuk undang-undang atau perda, seorang legal drafter harus menguji terlebih dahulu, apakah konsep yang diajukan adalah persoalan hukum atau persoalan non hukum/sosial yang penanganannya tidak selalu dengan hukum. Misalnya, apakah etika pemerintahan perlu diatur dalam undang-undang atau hanya pedoman, konsep-konsep moral yang tidak perlu dituangkan dalam undang-undang. Atau, apakah pengaturan tentang perjudian perlu diatur dengan undang-undang atau persoalannya di penegakan hukumnya, karena KUHPidana telah mengatur soal perjudian. Beberapa hal di atas penting ditimbang terlebih dahulu.
Kedua, setelah didapat kepastian bahwa yang ditemukan dan hendak diatur adalah persoalan hukum, maka digunakan pendekatan ROCCIPI untuk menguji, apakah masalah hukum timbul akibat norma hukum yang tidak jelas (rule), atau ada kesempatan untuk melanggar di norma hukum dimaksud (opportunity). Demikian pula, bila ada aturan tidak efektif, apa dikarenakan tidak ada kapasitas (capacity) pelaku dituju aturan (adresat) melaksanakan hukum, atau ada tata nilai (ideology) masyarakat yang tidak akomodatif terhadap hukum. Hal-hal seperti di atas merupakan refleksi yang perlu dilakukan legal drafter.
Ketiga, sebaiknya setelah jelas persoalan hukum dan kebutuhan pembentukan hukum serta dari analisis ROCCIPI telah nampak problematika dasarnya, maka semua hal dimaksud dituangkan dalam naskah akademik. Naskah Akademik berdasarkan petunjuk BPHN disusun dengan didasarkan pada pendahuluan (isinya latar belakang dilengkapi pokok pikiran dan perundang-undangan yang dijadikan dasar aturan, tujuan dan kegunaan hendak dicapai, metode pendekatan dan pengorganisasian), dilanjutkan bab berikutnya ruang lingkup naskah akademik yang berisi ketentuan umum dan materi peraturan perundang-undangan serta terakhir kesimpulan dan saran. Dilengkapi pula oleh kepustakaan.
Keempat, setelah naskah akademik selesai maka semuanya kemudian dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan, yang dijabarkan mulai dari konsiderans menimbang, mengingat, ketentuan umum, pasal-pasal, sanksi dan ketentuan penutup berikut peralihan serta penjelasan umum. Prinsipnya harus jelas, norma tidak kabur, mencerminkan perspektif kekinian dan masa depan serta dapat ditegakkan (dienforce).[5]
***
Pengalaman saya sebagai legal drafter, terdapat problem-problem yang tidak selalu teoretik. Pertama, tahapan pembentukan perundang-undangan tidak linear. Seringkali dimintakan membuat draft aturan tanpa naskah akademis. Atau sebaliknya, terdapat draft aturan dan dimintakan dibuat naskah akademis. Hal ini seringkali mempersukar kita melahirkan peraturan perundang-undangan ideal. Kedua, waktu pembentukan aturan yang pendek (draft raperda kasar sering hanya 1 minggu) sehingga menyulitkan lahirnya perundang-undangan yang baik. Ketiga, pengaruh politik kepentingan partisan yang ingin dititipkan menjadi norma peraturan perundang-undangan. Keempat, ketiadaan otonomi legal drafter untuk merawat konsep, prinsip dan asas hukum yang sering terancam dikalahkan oleh politik partisan dan kepentingan. Kelima, minimnya dukungan pendanaan khususnya bagi riset pembentukan peraturan perundang-undangan.


[1] Bahan Kuliah Legal Drafting FH Universitas Pakuan, 16 Juni 2011
[2]Penulis Pengajar Tetap FH Universitas Pakuan, Bogor, Staf Ahli Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Staf Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor untuk Raperda Pendidikan dan Direktur Pusat Studi Hukum dan Demokrasi FH Universitas Pakuan Bogor.
[3]Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1997), hlm.260.
[4] Lihat Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm.119-124 dan untuk teori-teori keadilan dapat dilacak Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, (USA: Universal Law Publishing, 1999).
[5]Lihat Mahendra Putra Kurnia, dkk, Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007). Lihat pula, R. Muhammad Mihradi, “Analisis Sosio Yuridis Terhadap Fungsi Legislasi DPR dan Relasinya Dengan Partisipasi Masyarakat Dalam Konteks Politik Legislasi Nasional”, Makalah, Seminar “Memimpikan Legislasi Yang Partisipatif”, Penyelenggara Koalisi Badan Legislasi Nasional-Daerah, Hotel Harris Jakarta 15 Februari 2006.

Selasa, 05 Juni 2012

OLIGARKI-KARTEL KORUP

KONSTITUSI selalu memimpikan dan menghendaki yang terbaik bagi warganya. Negara hukum sekaligus demokratis (Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945), misalnya. Menciptakan masyarakat adil dan makmur (alinea kedua Pembukaan UUD 1945). Semua adalah janji dan sumpah yang menjaga marwah negara yang didirikan dengan darah dan air mata. Pendiri bangsa ini (the founding and mothers) mengantarkan bangsa menuju gerbang kemerdekaan hanya karena dilandasi niat mulia. Mewariskan republik bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Kini, sumpah dan janji suci itu dikhianati. Tidak terhitung politisi, eksekutif hingga penegak hukum yang terjerembab ke ranah korupsi. Kriminalitas seperti ini bukan kejahatan biasa. Kejahatan “super” yang menghabisi peradaban bangsa hingga ke titik nol.

Oligarki-Kartel

Bila memotret dari sisi politik hukum, kontribusi terbesar rusaknya republik ini berawal dan berakhir ketika landasan kekuasaan politik dibangun di atas politik oligarki-kartel. Oligarki adalah sejenis bentuk kekuasaan, hasil pemerosotan demokrasi, yang membangun dirinya melalui politik transaksional antar segelintir elite hanya untuk memburu “komisi” atau “rente”. Instrumennya adalah kartel, suatu “mufakat jahat” membagi, memilah dan mendesain ruang publik hanya untuk kepentingan kelompok-kelompok tertutup yang anti publik. Mereka menampilkan diri seolah-olah “demokratis” dan “suci” dari korupsi. Namun, di balik media dan kamera, mereka berbagi lahan, komisi, percaloan, dan hasil curian lain sembari menutupi dosa diantara mereka. Dusta adalah bagian dari sumpah matinya.

Tak heran ketika ada masyarakat memaki-maki politisi yang diduga sebagai koruptor, maka bagi mereka tidak berdampak apa-apa. Sebab, bukankah bohong, dusta dan aniaya adalah modus mereka. Inilah yang perlahan-lahan mulai terbongkar dari “kicauan” seorang Nazarudin, mantan bendahara partai terbesar di negeri ini.

Politik oligarki-kartel mendorong negara melakukan dua hal. Pertama, membengkokan penegakan hukum yang adil. Kedua, mementahkan capaian demokrasi dan mencampakannya ditempat paling hina. Dua hal tadi merupakan pilar penyangga mengapa republik ada. Bila pilar ini runtuh, maka negara akan musnah, minimal dari segi klaim etis legitimasinya.

Masyarakat Madani

Dalam suasana mencekam sebagaimana dipaparkan di atas, maka kita butuh perubahan. Penulis yakin, itu hanya dapat dimulai dari masyarakat. Masyarakat yang bukan sembarang masyarakat. Masyarakat yang mengorganisir daya kritisnya dan tertransformasi menjadi masyarakat sipil atau masyarakat madani.

Masyarakat madani harus dikonstruksi. Dengan pendidikan publik yang mencerdaskan. Penajaman artikulasi komunikasi yang kritis. Kesemuanya dapat dimediasi melalui agen-agen perubahannya, yakni lembaga swadaya masyarakat, kampus dan pers. Tiga pilar ini yang diduga masih bisa diharapkan dengan beberapa catatan.

Pertama, kemandirian dan integritas merupakan prasyarat niscaya. Bila pers hanya “merdeka” dari suap tapi tidak mandiri dari “owner” misalnya dalam menjalankan fungsinya, maka ia akan gugur sebagai agen perubahan.

Kedua, konsistensi di dalam menyuarakan kepentingan publik. Konsistensi ini diuji waktu dan dirawat oleh komitmen. Butuh proses panjang sehingga mendapat kepercayaan publik, sebuah modal yang mahal di era korup ini.

Ketiga, menanggalkan kepentingan kelompok yang dapat merusak marwah publik. Bagian ini tidak mudah karena pada hakikatnya, karakter bangsa ini adalah selalu hidup dalam komunitas atau kelompok. Namun, agen perubah harus dapat menjaga jarak terhadap kelompok yang justru bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Ketiga hal di atas merupakan prasyarat bagi siapapun yang hendak membantu negara yang murung ini untuk kembali pada amanat pendiri bangsa ini. Menciptakan masyarakat adil-makmur. Semoga!

DIALEKTIKA PERSOALAN KESEHATAN DI INDONESIA

Menarik. Visi Kementerian Kesehatan 2010-2014 adalah “Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan”. Ada ungkapan filosofis. Pertama, tujuan konstitusionalitas menciptakan masyarakat sehat merupakan keniscayaan. Namun, kesehatan tadi dengan menumbuhkembangkan kemandirian. Kedua, masyarakat sehat dan mandiri saja tidak cukup. Mesti membangun keadilan dalam mengakses kesehatan. Tidak lagi ada istilah, “orang miskin tidak boleh sakit” saking mahalnya biaya kesehatan. Dalam perspektif ini, maka visi Kementerian Kesehatan harus dikonkritkan dalam faktual yang mencerminkan nilai-nilai idiil tadi.


***

Program Prioritas Kemenkes Tahun 2012 sendiri mencakup 7 (tujuh) hal yakni: (1) upaya promotif-preventif untuk penyakit menular dan (terutama) penyakit tidak menular; (2) peningkatan status gizi balita; (3) peningkatan akses masyarakat untuk layanan kesehatan berkualitas (puskesmas perawatan, IGD, ICU dan Kelas 3); (4) pemenuhan kebutuhan SDM di DTPK dan daerah bermasalah kesehatan (terutama untuk menurunkan AKI-AKB); (5) kemandirian bahan baku obat, vaksin dan integrasi jamu ke dalam pelayanan kesehatan formal; (6) peningkatan penggunaan teknologi informasi di segala aspek pelayanan kesehatan dan (7) tata manajemen birokrasi yang bersih, akurat, efektif dan efisien.

Problematikanya pada beberapa hal berikut. Pertama, persoalan sumber daya dan persebaran tenaga kesehatan, khususnya di daerah terpencil yang terbatas dan tidak merata. Kedua, masih terdapat keluhan khususnya di daerah pada layanan kesehatan, kekurangan alat kesehatan dan obat serta akses masyarakat miskin terhadap kesehatan. Ketiga, terdapat persoalan relasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan daerah. Misalnya, seharusnya Kementerian Kesehatan merumuskan kebijakan, supervisi dan arah strategis dan daerah melakukan implementasi. Namun, seringkali daerah tidak mengatasinya sesuai kewenangan sehingga kembali ke pusat, dalam hal ini Kemenkes. Dalam konteks seperti ini maka diperlukan penataan dan revitalisasi pemahaman sekaligus kewenangan antar instansi pemangku kepentingan.

Negara, dalam konteks ini Kemenkes, dipastikan telah melakukan upaya, khususnya dalam paradigma upaya promotif dan preventif, pencegahan dan pengendalian penyakit, upaya penurunan anfka kematian ibu dengan berbagai pelayanan seperti jaminan persalinan, upaya perbaikan gizi, saintifikasi jamu dan kemandirian bahan baku obat serta peningkatan pengguaan teknologi informasi di berbagai aspek pelayanan kesehatan. Namun keluhan terus berlangsung dan menuntut respon, koreksi dan perbaikan bagi masa depan kesehatan lebih baik.

***

Terlepas dari perdebatan, pro-kontra dan berbagai problematika di atas. Namun dipastikan masalah kesehatan adalah masalah bersama. Keterlibatan berbagai pihak—tidak hanya negara---dan kepekaan semua menjadi jantung perubahan ke arah lebih baik. Dalam konteks di atas pada akhirnya komitmen dan integritas menjadi perekat untuk merealisasikannya.

Kepustakaan

Kementerian Kesehatan RI, “Bahan Rapat Kerja Wakil Menteri Kesehatan Dengan Komite III Dewan Perwakilan Daerah RI”, 6 Juni 2012.

Kementerian Kesehatan RI, “Menuju Masyarakat Sehat Yang Mandiri dan Berkeadilan: Kinerja Dua Tahun Kementerian Kesehatan Republik Indonesia”, Tahun 2009-2012.

NASIB WAKIL MENTERI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) Nomor 79/PUU-IX/2011 berkenaan dengan pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 merupakan putusan yang kompleks, paradoks dan kontradiktif. Pertama, bila mengacu pada teori putusan pengadilan yang prinsipnya untuk menyelesaikan sengketa. Maka, Putusan MK tidak menyelesaikan secara tuntas sengketa konstitusional menyangkut keberadaan Wakil Menteri (Wamen). Kedua, hadirnya jabatan Wamen sendiri, bila menelaah utuh dari argumentasi yang dibangun oleh pemerintah yang termaktub di Putusan MK, nampak sisi pertimbangan politik yang lebih mendominasi sehingga aspek legalitas menjadi hal terabaikan. Ketiga, putusan MK menyederhanakan persoalan dan tidak menjawab permasalah. Diktum putusan yang terpenting hanya menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Sementara, jabatan Wamen itu sendiri oleh MK dinilai konstitusional di satu sisi. Di sisi lain, persyaratannya yang tercantum di Penjelasan Pasal 10 di atas dibatalkan. Menggantung!


***



Secara konstitusional, Pasal 17 UUD NRI Tahun 1945 tidak menyebut satu kata atau ayat pun mengenai Wamen. Dari perspektif hukum tata negara (constitutional law), tidak disebut atau diatur di konstitusi bukan berarti dilarang. Artinya, bisa saja dibentuk Wamen sepanjang dibutuhkan oleh Presiden dengan dasar hukum yang kuat. Petakanya, konsep Wamen yang diatur di dalam UU Kementerian Negara tidak jelas norma pengaturannya. Pasal 10 UU Kementerian Negara memberikan rentang demikian longgar pada Presiden dimana jabatan Wamen dikaitkan adanya beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus. Prasyaratnya diletakkan di Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara yakni pejabat karir dan bukan anggota kabinet. Pada sisi ini terdapat setidaknya dua kekeliruan mendasar.

Pertama, prasyarat Wamen diletakkan secara keliru di bagian Penjelasan Undang-Undang. Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penjelasan tidak dapat membuat norma baru.

Kedua, jabatan Wamen yang dinyatakan jabatan karir di satu sisi dan di sisi lain bukan anggota kabinet dipastikan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan kepegawaian. Sebab, di dalam hukum kepegawaian, hanya ada dua jabatan di birokrasi yakni jabatan struktural dan fungsional. Jabatan Wamen tidak memenuhi kriteria baik struktural maupun fungsional.

Dalam perspektif penulis, seharusnya MK memilih dua hal. Pertama, menyatakan jabatan Wamen bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dengan segala konsekuensinya. Atau, kedua, bila menyatakan sah jabatan Wamen maka dirumuskan dengan prasyaratnya, khususnya penegasan bahwa Wamen adalah jabatan politik dan anggota kabinet. Resikonya memang dapat ditafsirkan “seakan-akan” MK mengambil alih fungsi legislasi dari parlemen. Namun, hal ini dapat dipatahkan mengingat yurisprudensi putusan MK pernah melakukannya dengan didukung teori “legislasi negatif”.

***

Bagaimana nasib Wamen pasca putusan MK? Bagi penulis, tidak ada jalan lain kecuali Presiden mengikuti pertimbangan MK yang memberikan “anjuran” untuk melakukan revisi terhadap Keputusan Presiden dalam pengangkatan Wamen, khususnya dengan penyesuaian pasca pembatalan ketentuan Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara. Meski secara yuridis sesungguhnya dari konstruksi putusan MK, hanya diktum putusan yang memiliki daya ikat yuridis. Namun nampak ada paralelitas antara pertimbangan dan diktum putusan yang tidak dapat diabaikan.

Meski demikian, penulis tidak sependapat bila otomatis jabatan Wamen kini batal begitu saja. Sebab, prinsip di dalam hukum administrasi berlaku prinsip asas praduga rechtmatig (praesumptio justae causa) di mana suatu keputusan pemerintah harus dianggap sah sampai ada keputusan yang menyatakan sebaliknya. Jadi, sebelum terbit Keputusan Presiden baru menyangkut Wamen. Maka, jabatan Wamen dengan segala kewenangannya tetap berlaku.

Pada akhirnya, kasus legalitas Wamen dapat menjadi hikmah di dalam penataan kelembagaan ketatanegaraan agar terdapat keseimbangan saat merumuskan kebijakan antara perspektif politik dan legal di sisi lain.


(Dikirim ke Kompas 6 Juni 2012)