Menjadi seorang
perancang peraturan perundang-undangan (legal
drafter) merupakan keterampilan tersendiri. Pemahaman teori dan ilmu
perundang-undangan saja tidak cukup. Dibutuhkan kecakapan untuk menormakan di
satu sisi keinginan pemangku kepentingan (stake
holders) baik parlemen maupun publik terkait, di sisi lain perlu kejelian
untuk merawat prinsip, asas dan konsep hukum dipastikan dimuat dalam rancangan
peraturan perundang-undangan yang kita rancang.
Bagir Manan
berpendapat, suatu peraturan perundang-undangan dianggap baik bila memenuhi
unsur berikut: (1) perumusannya tersusun secara sistematis, bahasa sederhana
dan baku; (2) sebagai kaidah, mampu mencapai daya guna dan hasil guna
setinggi-tingginya baik dalam wujud ketertiban maupun keadilan; (3) sebagai
gejala sosial, merupakan perwujudan pandangan hidup, kesadaran hukum dan rasa
keadilan masyarakat. Termasuk disini kemampuannya sebagai faktor pendorong
kemajuan dan perubahan masyarakat dan (4) sebagai sub sistem hukum, harus
mencerminkan satu rangkaian sistem yang teratur dari keseluruhan sistem hukum
yang ada.[3]
Selain hal di atas, perlu
pula diperhatikan unsur filosofis, sosiologis dan yuridis suatu pembentukan
perundang-undangan. Secara filosofis, pembentukan perundang-undangan harus
mencerminkan dua elaborasi masalah pokok yakni apa yang menjadi landasan
kekuatan mengikat dari hukum dan atas dasar kriteria apa hukum dapat dinilai
keadilannya. Dimensi sosiologis memotret hal-hal terkait sejauhmana pembentukan
peraturan perundang-undangan dapat menjawab kebutuhan empiris masyarakat dan
dinamikanya, khususnya dalam kerangka dan paradigma hukum sebagai gejala
sosial. Pada akhirnya, aspek yuridis mesti menguji draft perundang-undangan
yang kita rancang telah memenuhi syarat pemenuhan asas-asas hukum, koherensi
dan harmonisasi antar aturan serta sistematika dan penormaan yang baik.[4]
***
Kerangka teori di
atas harus diturunkan oleh legal drafter dalam pembentukan perundang-undangan
secara cermat dan kontekstual. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan
sebelumnya.
Pertama, di saat diusulkan akan dibentuk
undang-undang atau perda, seorang legal drafter harus menguji terlebih dahulu,
apakah konsep yang diajukan adalah persoalan hukum atau persoalan non
hukum/sosial yang penanganannya tidak selalu dengan hukum. Misalnya, apakah
etika pemerintahan perlu diatur dalam undang-undang atau hanya pedoman,
konsep-konsep moral yang tidak perlu dituangkan dalam undang-undang. Atau,
apakah pengaturan tentang perjudian perlu diatur dengan undang-undang atau
persoalannya di penegakan hukumnya, karena KUHPidana telah mengatur soal
perjudian. Beberapa hal di atas penting ditimbang terlebih dahulu.
Kedua, setelah didapat kepastian bahwa yang
ditemukan dan hendak diatur adalah persoalan hukum, maka digunakan pendekatan
ROCCIPI untuk menguji, apakah masalah hukum timbul akibat norma hukum yang
tidak jelas (rule), atau ada
kesempatan untuk melanggar di norma hukum dimaksud (opportunity). Demikian pula, bila ada aturan tidak efektif, apa
dikarenakan tidak ada kapasitas (capacity)
pelaku dituju aturan (adresat)
melaksanakan hukum, atau ada tata nilai (ideology)
masyarakat yang tidak akomodatif terhadap hukum. Hal-hal seperti di atas
merupakan refleksi yang perlu dilakukan legal
drafter.
Ketiga, sebaiknya setelah jelas persoalan hukum
dan kebutuhan pembentukan hukum serta dari analisis ROCCIPI telah nampak
problematika dasarnya, maka semua hal dimaksud dituangkan dalam naskah
akademik. Naskah Akademik berdasarkan petunjuk BPHN disusun dengan didasarkan
pada pendahuluan (isinya latar belakang dilengkapi pokok pikiran dan
perundang-undangan yang dijadikan dasar aturan, tujuan dan kegunaan hendak
dicapai, metode pendekatan dan pengorganisasian), dilanjutkan bab berikutnya
ruang lingkup naskah akademik yang berisi ketentuan umum dan materi peraturan
perundang-undangan serta terakhir kesimpulan dan saran. Dilengkapi pula oleh
kepustakaan.
Keempat, setelah naskah akademik selesai maka
semuanya kemudian dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan, yang
dijabarkan mulai dari konsiderans menimbang, mengingat, ketentuan umum,
pasal-pasal, sanksi dan ketentuan penutup berikut peralihan serta penjelasan
umum. Prinsipnya harus jelas, norma tidak kabur, mencerminkan perspektif
kekinian dan masa depan serta dapat ditegakkan (dienforce).[5]
***
Pengalaman saya
sebagai legal drafter, terdapat problem-problem yang tidak selalu teoretik. Pertama, tahapan pembentukan
perundang-undangan tidak linear. Seringkali dimintakan membuat draft aturan
tanpa naskah akademis. Atau sebaliknya, terdapat draft aturan dan dimintakan
dibuat naskah akademis. Hal ini seringkali mempersukar kita melahirkan
peraturan perundang-undangan ideal. Kedua,
waktu pembentukan aturan yang pendek (draft raperda kasar sering hanya 1
minggu) sehingga menyulitkan lahirnya perundang-undangan yang baik. Ketiga, pengaruh politik kepentingan
partisan yang ingin dititipkan menjadi norma peraturan perundang-undangan. Keempat, ketiadaan otonomi legal drafter
untuk merawat konsep, prinsip dan asas hukum yang sering terancam dikalahkan
oleh politik partisan dan kepentingan. Kelima,
minimnya dukungan pendanaan khususnya bagi riset pembentukan peraturan
perundang-undangan.
[1] Bahan Kuliah Legal Drafting FH
Universitas Pakuan, 16 Juni 2011
[2]Penulis Pengajar Tetap FH Universitas
Pakuan, Bogor, Staf Ahli Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia,
Staf Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor untuk Raperda
Pendidikan dan Direktur Pusat Studi Hukum dan Demokrasi FH Universitas Pakuan
Bogor.
[3]Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1997), hlm.260.
[4] Lihat Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum,
(Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm.119-124 dan untuk teori-teori keadilan dapat
dilacak Ronald Dworkin, Taking Rights
Seriously, (USA: Universal Law Publishing, 1999).
[5]Lihat Mahendra Putra Kurnia, dkk, Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif,
(Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007). Lihat pula, R. Muhammad Mihradi,
“Analisis Sosio Yuridis Terhadap Fungsi Legislasi DPR dan Relasinya Dengan
Partisipasi Masyarakat Dalam Konteks Politik Legislasi Nasional”, Makalah, Seminar “Memimpikan Legislasi
Yang Partisipatif”, Penyelenggara Koalisi Badan Legislasi Nasional-Daerah,
Hotel Harris Jakarta 15 Februari 2006.
8 komentar:
good
Lanjutkan pakk
Mantap pak☺️
Sangat membantu tulisannya, mantap pak..
Terimakasih dan sangat membantu pak 😇🙏
🙏🙏🙏
Terima kasih, Pak. Sangat membantu dalam perkuliahan PLKH Legal Darft. semoga bapaka sehat selalu
Posting Komentar