Senin, 11 Februari 2008

Cendikia--Problem epistemologi

Cendikia--dalam teks--merupakan sejenis makhluk yang mampu menawarkan alternatif dengan kecerdasan dan kebajikan juga berkadar moralitas tinggi. Katanya, semua sekolahan (mau SD ampe S3) diarahkan agar kita menjadi seorang cendikia, bijak memilah, tidak mudah menghakimi dan senantiasa terbuka terhadap semua hal.

Masalahnya, menjadi cendikia menjadi problem epistemologi manakala definisi cendikia disetarakan dengan atau direduksi sebuah term mengenai menara gadingnya suatu perguruan tinggi. Misalnya, bagaimana studi di perguruan tinggi tidak menjadikan kita makhluk aliens tapi mampu berinteraksi dengan masyarakat sekitar.

Seorang filsuf Jerman bernama Juergen Habermass percaya bahwa problem-problem di atas bisa dipecahkan dengan komunikasi. Komunikasi yang dibangun dari rasionalitas dan bebas dialogis. Untuk itu, komunikasi harus mengalami deliberasi===suatu bentuk radikalisasi ruang publik di mana semua pihak bisa berwacana disana dengan baik sehingga mampu melahirkan manfaat bagi semua.

Nah, ketika sekolah sudah menjadi komoditi, saya khawatir, cendikia tadi tidak tercapai. Sebab, cendikia bukan hasil suatu kurikulum ketat, baris berbaris, dan tugas paper setumpuk. Cendikia diasah dari kepekaan menangkap masalah sekitar. Bisa tajam dengan persoalan kebangsaan misalnya. Sayangnya, negeri kita, kekurangan cendikia. Orang pintar banyak tapi orang bijak dan bermoral langka. Untuk itu, rupanya kita harus mendekonstruksi cara berpikir kita. Membangun sebuah orientasi baru melihat dunia dengan pemahaman yang jernih dan bening. Membidik nurani dan merefleksikan siapa kita dan hendak kemana kita.

Saya rasa---bila kita belajar filsafaf hukum misalnya---yang mesti dipahami bukan hapal aliran-aliran filsafat hukum dari mulai hukum kodrat sampai critical legal studies, namun bagaimana semua ilmu yang kita dapat dijadikan alat refleksi dan pisau analisis agar tajam menjemput problem eksistensialistik disekitar kita. Hukum--jika dibuat beku dengan gaya kapitalistik yang kini dirasakan di Indonesia---akan menjadi apa yang dikatakan Marx==alat dominasi bagi kelas dominan. Maka, akan lahir problem justice di sana, pertentangan kelas makin menghebat dan menggila.

Nah, kita sepertinya ditantang untuk mampu berkontribusi dengan cara-cara intelektualitas menjernihkan problem kebangsaan dengan kemampuan dan posisi kita. Kayaknya, kata-kata super serius ini saya tutup dengan: "jangan pilih politisi busuk, hentikan korupsi dan suap, cegah global warming, kembalikan tata ruang yang berwawasan lingkungan dan lawan kapitalisme lokal dan global". Bukankah kita masih bangsa Indonesia?

2 komentar:

wimar mengatakan...

Wah, baru mulai sudah banyak gini isinya, suibstansi kuat.
Saua sudah kenal anda lama, dan senang sekali anda masuk dunia blog yang akan melipatgandakan akses timbal balik publik dengan anda.
SELAMAT!!!

Mihradi Cendikia mengatakan...

Sebuah kehormatan sekali, Pa Wimar, senior dan panutan saya mengunjungi blog sederhana ini. Tentu namanya eksperimen, saya masih jauh dari sempurna dalam menyusun blog. Namun, dengan support dan dukungan Pa Wimar, Insya Allah akan menambah khazanah pemikiran di dunia maya.