Senin, 11 Februari 2008

Demokrasi Tanpa Ekonomi Rakyat

DEMOKRASI TANPA EKONOMI RAKYAT

ADA beberapa cacat serius dalam demokrasi kita yang berimbas hilangnya korelasi antara demokrasi dan perbaikan ekonomi rakyat. Cacat ini bermula dari mitos berlebihan pada kesaktian pemilihan umum (pemilu). Pemilu hanya salah satu mekanisme demokrasi untuk merekrut penyelenggara negara yang mewakili sekian juta rakyat dalam suatu negara. Tapi, pemilu akan menjadi ongkos politik sia-sia bila tidak dibangun nilai dasar demokrasi lainnya. Misalnya, bagaimana dengan nasib partisipasi publik dalam merencanakan desain kehidupan negara atas dirinya.

Kita bisa ambil contoh dari pengumuman pemerintah pemberlakuan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pembangunan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Inpres No.6/2007). Menurut Menko Perekonomian Boediono, Inpres ini untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Pertanyaannya, apakah penyusunan Inpres tadi telah melibatkan konsultasi publik?Sebab, bisa jadi, perbaikan kemiskinan tidak mesti bisa diseiringkan dengan percepatan pertumbuhan ekonomi. Dan, bila publik dilibatkan, pikiran-pikiran alternatif yang strategis mungkin dapat memperkaya pertimbangan pembentukan suatu kebijakan pemerintah.

Demokrasi Pinggiran

Cacat serius lain dari demokrasi biasanya berkisar dari kebiasaan untuk tidak mendengarkan suara lain dari masyarakat marjinal. Lihat saja kebijakan penggusuran pedagang kaki lima (PKL) yang di satu sisi mendapat pembenar dari berbagai aturan mengenai ketertiban umum.

Namun, di sisi lain, mematikan hajat hidup orang untuk bekerja layak yang dijamin secara konstitusional. Lalu, pemerintah dengan cepat berargumen PKL telah ditata dengan disediakan sejumlah pasar tradisional untuk berjualan. Argumen ini nampak banal saat dilacak harga lapak di pasar tradisional yang dibangun pemerintah ternyata sulit dijangkau oleh PKL tadi. Apalagi dengan berbagai “kebakaran” pasar tradisional yang marak akhir-akhir ini semakin memiskinkan pedagang kecil.

Jadi, kepedulian pemerintah nampaknya masih retorika. Yang justru terjadi malah sebaliknya. Sebuah perselingkuhan manis antara pemodal kapitalis dan pemerintah yang berjumpa di balik maraknya pembangunan mall-mall di tanah air. Dengan berhala demi pendapatan asli daerah (PAD), rakyat kembali dipinggirkan. Rakyat kalah oleh wakil yang dipilihnya sendiri dalam pemilu lalu.


Nampaknya, perlu ada usaha serius untuk menghubungkan kembali demokrasi dan perbaikan ekonomi rakyat. Caranya, dengan menggunakan isu perbaikan ekonomi rakyat sebagai indikator dalam mengembangkan demokrasi. Misalnya, pada setiap kampanye-kampanye partai, sudah mendesak menggunakan indikator perbaikan ekonomi rakyat untuk menilai, mana partai otentik melalui wakil-wakilnya memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya dan mana yang tidak. Dengan begitu, partai akan menimbang kembali setiap bentuk pengkhianatan terhadap konstituennya.

Isu perlunya calon presiden dan kepala daerah independen menjadi salah satu bentuk pengkristalan sistem demokrasi alternatif yang diharapkan mampu membawa udara segar bagi perbaikan ekonomi rakyat. Sebab, meski calon presiden dan kepala daerah independen tadi tidak dijamin bersih dari praktik money politics misalnya, namun setidaknya dapat menjadi kompetitor sehat bagi partai politik konservatif yang sudah kepalang terlalu enak berkolusi dengan kekuasaan. Monopoli partai politik sudah waktunya dihapus. Monopoli merupakan biang keladi matinya kreatifitas dan pemihakan pada suara elite berkuasa.

Masyarakat Madani

Mungkin, menurut penulis, demokrasi hanya bisa tumbuh bersemi jika ada jaminan meningkatnya kapasitas pemahaman demokrasi masyarakat madani. Bila merujuk pikiran Gramsci, negara (state) sudah tidak bisa terlalu diharapkan berpihak pada rakyatnya. Negara memang alamiahnya (nature) cenderung berpihak pada kelompok elite. (Roger Simon, Gramsci Political Thougt: An Introduction, 1982). Untuk itu, hadirnya masyarakat madani yang kuat menjadi sokoguru mengimbangi kekurangan negara tadi.

Anthony Giddens juga pernah menulis (The Third Way, 2000), di dunia global kini yang justru menjadi pionir perubahan adalah kelompok masyarakat madani independen. Kasus-kasus lingkungan hidup lebih sering disuarakan oleh kelompok Greenpeace misalnya, daripada partai-partai politik dimanapun. Dengan begitu, kekuatan masyarakat madani memang tidak bisa diremehkan begitu saja.

Pada akhirnya, dorongan demokrasi tidak pernah bisa juga menghilangkan peran negara sama sekali. Andaipun masyarakat madani kuat, tetap saja negara tidak bisa ditinggalkan. Dengan demikian, sintesisnya bukan saling meniadakan melainkan saling kemitraan. Ini bisa dirancang bila setiap pengambilan kebijakan oleh negara selalu melibatkan mitranya yakni masyarakat madani tadi. Dan, disisi lain, masyarakat madani pun memiliki daya tawar untuk bernegosiasi manakala berhadapan dengan negara.

Jika kita bersepakat dengan berbagai gagasan di atas, maka mendesak disusun agenda untuk mewujudkannya. Pertama, membangun kesadaran kritis di kalangan masyarakat bahwa kehidupan bernegara membutuhkan peran sertanya. Masyarakat memiliki kewajiban sekaligus hak untuk hidup nyaman di negara yang menjadi tempat bersandarnya. Untuk itu, setiap praktik pemilu harus dibaca sebagai seleksi memilih partai dan pemimpin yang dapat memelihara kenyamanan negara tadi.

Kedua, sudah waktunya konservatisme berpikir demokrasi dikikis. Artinya, isu calon pemimpin independen harus dibaca sebagai terobosan manakala partai politik sudah terlalu asyik dengan kekuasaan sehingga lupa akan konstituennya. Kasus interpelasi Iran oleh DPR menunjukkan bagaimana kepedulian terhadap masyarakat demikian rendah. Sebab, rasanya, lebih mendesak kasus lumpur Lapindo dituntaskan daripada masalah resolusi PBB tentang Iran.

Akhirnya, demokrasi memang harus kembali pada rahim pemiliknya yakni rakyat. Rasionalitas rakyat merupakan tumpuan agar demokrasi kembali berkorelasi dengan perbaikan ekonomi rakyat.

Tidak ada komentar: