Senin, 11 Februari 2008

Kualat Pendidikan

KUALAT PENDIDIKAN

Ada apa dengan pendidikan kita? Gedung sekolah ambruk, komersialisasi sana-sini, guru minim kesejahteraan, mutu pendidikan tidak jelas, relevansi dunia usaha dan keluaran pendidikan tidak signifikan. Semua seakan saling menafikan. Atau malah gelap.

Di sisi lain, meski muram dan buruk wajah pendidikan, pemerintah baik pusat maupun daerah belum terlihat gebrakan yang mampu mendorong keterpurukan pendidikan. Malah, pemerintah pusat masih berkutat dikontroversi Ujian Akhir Nasional (UAN) yang “katanya” metode pemetaan kualitas sekolah, tapi menyedihkannya dengan menjadikan peserta didik sebagai “kelinci percobaan”. Dalam bahasa lugas, alat indikator tidak nyambung dengan tujuan.

Tentu, dibalik carut marut pendidikan bermodal bopeng tadi, ada pihak-pihak yang diuntungkan. Oknum penerbit (yang punya perjanjian “abadi” dengan oknum pendidik), oknum pimpinan sekolah yang sibuk berkalkulator mendesain dalih “uang bangunan” yang meningkat terus, tanpa diikuti perbaikan bangunan, dan tentu saja oknum-oknum lain dalam stake holders pendidikan yang pandai memanipulasi anggaran atau apapun yang berkaitan dengan lembar rupiah.

Permaafan

Celakanya, bangsa kita bertabiat bangsa permakluman (atau permaafan). Atas nama gaji kecil, kita semua tutup mata pada perbuatan kriminal mulai dari yang kecil hingga besar. Atas nama kebiasaan dan tradisi, amat sulit menggeser paradigma bahwa pendidikan adalah membebaskan dan bukan mengkerdilkan peserta didik. Juga atas nama pengalaman, para pendidik enggan mengubah pola mendidik yang sudah mulai mesti dimuseumkan karena tidak sanggup bertemu arus zaman.

Pertanyaan berikutnya, sampai kapan kita menjadi bangsa yang buruk rupa cermin pendidikannya? Bagi penulis, itu hanya bisa dimulai dari kesadaran nurani kita untuk mengatakan “stop” pada semua faktor pencetus runyamnya dunia pendidikan.

Apa yang kita bisa lakukan? Salah satunya menyusun peta masalah. Pendidikan ternyata benang ruwet yang ada di empat ranah problem klasik. Pertama, pemerataan pendidikan. Biasanya di ranah ini akan bertemu dengan masalah akses orang miskin terhadap pendidikan, kekurangan guru (baik kuantitas maupun kualitas) dan rusaknya sarana dan prasarana pendidikan yang sudah sampai ke puncak nadir berbahaya.


Kedua, masalah efisiensi pendidikan. Kita selalu bertemu dengan angka-angka fantastis ketika hendak menyekolahkan putra putri kita, tanpa tahu dengan pasti dan meyakinkan, akurasi perhitungan, transparansi, juga akuntabilitasnya. Memang, kita memiliki wakil untuk mengaudit itu yakni Komite Sekolah ataupun Dewan Pendidikan. Sayangnya, seperti lembaga-lembaga serupa di tanah air, mayoritas lembaga tadi mandul dan penuh dengan konflik kepentingan dengan pihak sekolah.

Ketiga, kualitas pendidikan. Mutu pendidikan amat bergantung pada kualitas sumber daya manusia (SDM). Menjadi pertanyaan penting, sejauhmana hak guru meningkatkan kualitas dirinya mendapat prioritas pemerintah? Apakah pemerintah menyediakan anggaran untuk pelatihan bagi mereka secara memadai? Apakah ada evaluasi terhadap hasil keluaran pendidikan dengan daya serapnya dalam dunia usaha? Sudahkah membangun komunikasi dengan pengguna (user)? Jika jawabannya negatif, pendidikan kita sudah mendekati jurang.

Keempat, relevansi pendidikan. Saya tidak bisa membayangkan, setiap tahun sekolah menengah umum/atas melahirkan lulusan demikian banyak, namun jika mereka tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, apakah dengan kemampuan yang didapat di bangku sekolah dapat dipraktikkan di dunia kerja. Atau, malah, jangan-jangan, mereka adalah agen pengangguran sebagai korban sistem pendidikan.

Kiat Lolos

Memang untuk lolos dari jerat masalah pendidikan tidak mudah. Tapi bukan juga mustahil. Salah satu kiatnya adalah revolusi paradigma pendidikan. Revolusi ini beranjak dari kebangkitan moral untuk mengubah tradisi buruk. Caranya, mendorong kembali hakikat pendidikan sebagai sarana pembebasan menuju kehidupan lebih baik. Dengan begitu, stake holders pendidikan harus insyaf dan mulai membiasakan diri untuk mencicipi metode-metode pendidikan progresif. Diantaranya, seperti, mengembangkan keterampilan spiritual quality untuk mengimbangi intelectual quality. Konkritnya, bisa dimulai dengan menghidupkan lagi mata pelajaran budi pekerti. Selain itu, seluruh birokrasi pendidikan harus mulai sadar diri, membangun pendidikan harus berbasis pada kooperatif dan bukan kompetisi. Semua elemen bahu membahu untuk memberikan yang terbaik bagi pendidikan.

Kedua, bagi daerah, mendesak untuk membangun payung hukum berupa peraturan daerah. Sebab, dalam era otonomi, peran pemerintah daerah menjadi strategis. Melalui peraturan daerah maka semua elemen peduli pendidikan memiliki indikator untuk menagih perbaikan pendidikan. Tentu saja dengan asumsi, pembentukan peraturan daerahnya melibatkan partisipasi publik maksimal, yang beranjak dari problem-problem sosial konkrit di dunia pendidikan.

Ketiga, mengawinkan reward and punishment. Artinya, setelah aturan disempurnakan untuk menjamin pendidikan, penegakannya juga konsisten, tak lupa harus diikuti reward and punishment. Bagi kalangan pendidik, misalnya, yang berkualitas, diberikan penghargaan, insentif dan jaminan mengembangkan kreatifitasnya. Demikian juga sebaliknya, yang buruk diberikan sanksi. Dengan model ini diharapkan semua komunitas pendidikan akan berkompetisi memberikan yang terbaik.

Keempat, menghapus perbedaan perlakuan negeri dan swasta, sekolah favorit dan non favorit. Artinya, semua sekolah memiliki akses dan potensi yang diberdayakan secara sama sehingga secara perlahan akan hilang berbagai labeling yang tidak sehat bagi pendidikan.

Keempat kiat di atas hanya terapi kecil. Sebab, masih banyak strategi yang berlimpah, yang mungkin dapat menyegarkan dunia pendidikan. Termasuk strategi lain yang perlu dipertimbangkan adalah memberikan kesejahteraan dan perlindungan hukum bagi guru. Problemnya memang pada dari mana memulainya dan bagaimana kesinambungan komitmennya. Untuk itu, reformasi dunia pendidikan memang harus dikaitkan pula dengan sistem sosial lainnya, misalnya hukum dan politik. Pada sistem hukum, pemberantasan korupsi dunia pendidikan harusnya diperketat dan sanksinya diperberat. Sebab, korupsi dunia pendidikan bisa membantai jutaan insan muda peserta didik di masa depan. Dari sistem politik, pemimpin pemerintahan baik pusat dan daerah yang tidak peduli pendidikan, baiknya jangan dipilih. Kalau perlu di black list secara sosial sehingga tidak punya keberanian lagi berdagang diri di pentas politik. Memang semua butuh proses, tapi tidak ada alasan untuk mundur. Itupun jika kita mau menghindar dari kutuk kualat pendidikan.

Pernah Dimuat di Harian Radar Bogor

Tidak ada komentar: