Senin, 11 Februari 2008

Trias Politica dan Korupsi Di Daerah

Di berbagai daerah kini marak korupsi, baik swasta maupun kelembagaan pemerintahan. Korupsi pun dilakukan dengan berbagai cara dan modus. Mulai dari mensiasati mata anggaran APBD, penyimpangan alokasi dana APBD hingga praktik mafia peradilan. Dalam konteks trias politica, korupsi di daerah ini ternyata menyerang ganas semua elemen baik kelembagaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Yang menggenaskan, doktrin trias politica di atas, sebagaimana dirumuskan oleh Montesquieu (1689-1755) dimaksudkan untuk menghindarkan penyelenggaraan pemerintahan menuju ke kekuasaan absolutisme yang melahirkan korupsi yang luar biasa absolut pula. Maka, olehnya kekuasaan pemerintahan dipisahkan baik organ maupun fungsi dalam tiga lembaga tadi, legislatif, eksekutif dan yudikatif (Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara,1982:2). Meski tidak ada yang menganut murni ajaran ini, namun setidaknya ada kesadaran untuk tidak melembagakan kekuasaan pemerintahan hanya di satu tangan institusi eksekutif belaka. Rupanya, gagasan Montesquieu gagal total di Indonesia. Korupsi tak terhindarkan menerjang kelembagaan trias politica. Ada apa di balik semua ini?

Impotensi Kontrol

Banyak pengamat asing yang mempercayai mitos bahwa kita hanya pandai menyusun rencana tapi lemah di implementasi dan eksekusi. Atau dalam bahasa populernya, bangsa ini tergabung kelompok NATO (No Action Talk Only). Untuk melawan itu, sudah mendesak melembagakan sejumlah agenda aksi. Salah satunya, menyembuhkan impotensi kontrol terhadap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.

Dalam berbagai kasus, kita memiliki lembaga kontrol baik eksternal maupun internal. Namun problemnya, kontrol ini sering mengalami impotensi akut. Faktor pencetusnya adalah lemahnya komitmen untuk menjadikan kontrol sebagai sarana preventif sekaligus represif melawan korupsi. Lebih parah lagi, jika fungsi kontrol dijadikan komoditi, seperti pada penyelesaian perkara korupsi di lembaga penegak hukum. Ada oknum aparat penegak hukum yang menjadikan kewenangan kontrol yuridis yang ada padanya sebagai sarana tawar menawar kolutif dengan pelaku korupsi. Celakanya, ada pelaku korupsi malah menjadi semacam ATM (mesin uang) bagi oknum aparat tadi. Dengan dibawah ancaman akan dipidana, maka para pelaku korupsi tadi menggelontorkan sejumlah uang sogok bagi oknum aparat tersebut. Jika ini diproduksi terus, korupsi praktis tidak akan hilang. Bahkan, menjadi denyut kehidupan keseharian bernegara.

Untuk merevitalisasi kontrol agar kembali berdaya maka perlu dibangun dua syarat mendasar. Pertama, adanya pengetahuan yang cukup dari lembaga pengontrol terhadap apa yang dikontrolnya. Dan, kedua, adanya integritas pengontrol untuk tegas menindak setiap penyimpangan. Kedua syarat ini akan semakin bersinergis bila diikat oleh adanya kohesi solidaritas yang tinggi dari masyarakat untuk mendukung proses pemberantasan korupsi tanpa terkecuali.

Melibatkan Publik

Salah satu strategi memberantas korupsi adalah dengan melibatkan maksimalitas peran publik. Partisipasi adalah kata kuncinya. Sayangnya, demokrasi kita baru berhasil membangun dengan amat minim demokrasi elektoral. Belum sampai pada tradisi demokrasi partisipatif. Untuk itu, Jurgen Habermass mengusulkan untuk melembagakan demokrasi deliberatif yang bersanggakan pada komunikasi bebas penguasaan dan “dialog-dialog emansipatorik” (F Budi Hardiman, Kritik Ideologi, 2004:253). Dialog emansipatorik tadi terbentuk pada semua elemen masyarakat dan tidak direduksi sekedar pada lembaga parlemen. Demikian juga dalam memberantas korupsi, keterlibatan publik baik formal maupun informal mesti menjadi keniscayaan.

Untuk mewujudkan di atas, butuh mediator atau fasilitator. Civil Society Organisation (CSO), pers dan kampus bisa menjadi instrumen strategis untuk itu. Syaratnya, masing-masing independen, anti suap, solid dalam mematikan korupsi. Dengan tekanan yang dahsyat, korupsi dapat diberantas, baik di pusat maupun daerah.
Dalam praktik, tentu saja mewujudkan hal di atas tidak mudah. Pertama, perlu komitmen dari perguruan tinggi misalnya untuk tidak menjadi menara gading. Sementara bagi pers harus mengharamkan jurnalisme partisan dan amplop. Kedua, adanya pendidikan politik yang konsisten untuk memberikan kemampuan dan pengetahuan yang cukup bagi masyarakat untuk melawan korupsi. Ketiga, adanya kesatuan visi dan agenda aksi bersama yang solid serta beranjak dari kejelasan sasaran sekaligus penghormatan terhadap supremasi hukum.

Investasi Kepercayaan

Ujungnya, memberantas korupsi di lembaga trias politica mensyaratkan setidaknya dua hal menurut Achmad Ali (2002:69) yakni (1) mengembalikan hukum ke akar moralitas, kultural dan religiusnya dan (2) melengserkan semua petinggi dan penegak hukum yang tergolong “sosok-sosok sapu kotor” (the dirty sweep). Tentu saja, selain dua hal di atas, kiranya perlu diikuti pula dengan pelembagaan sistem anti korupsi yang sanggup memberikan indikator sekaligus sinyal terhadap semua potensi korupsi.

Dalam konteks sistem di atas, maka perlu dipikirkan untuk melembagakan pranata good governance seperti transparansi, akuntabilitas, supremacy of law, akses bebas terhadap informasi publik dan penghargaan terhadap nilai-nilai plural demokrasi. Di daerah, bila legislatif sebagai pembentuk hukum memiliki komitmen melakukan terobosan bisa saja dilakukan dengan membentuk perda partisipasi dan akses informasi publik seperti pernah dilakukan di Banten dan Makassar. Dengan payung hukum seperti ini dapat menjadi dasar guna menguatkan masyarakat sipil yang anti korupsi.

Pada akhirnya, bila berbagai terapi di atas dilakukan, maka akan lahir kembali kepercayaan masyarakat pada hukum. Kepercayaan ini dapat menjadi investasi sekaligus pelumas bagi laju jalannya usaha perekonomian. Setidaknya, dengan bangunan kepercayaan tegaknya hukum akan memberikan pengaruh bagi investor untuk berinvestasi sekaligus memangkas faktor pencetus high cost economy. Harapan akan selalu tersedia. Tinggal komitmen dan aksi nyata menjadi utang tagihan bagi kita semua.
Pernah dimuat di Harian Radar Bogor

Tidak ada komentar: