Sabtu, 02 Februari 2008

Modernitas, Post Modern or Nothing, so What?

Sebenarnya, proyek modern yang kita kenal adalah hasil produk abad pertengahan saat terjadi pergumulan di babad pemikiran renaisance atau pencerahan (aufklarung). Menurut Arkoun (Paramadina, 1998), istilah modern diambil dari bahasa latin modernus--yang pertama kali di pakai di dunia Kristen pada masa antara tahun 490 dan 500 yang m,enunjukkan perpindahan dari masa Romawi lama ke periode Masehi. Modernitas masa klasik di Eropa sendiri sudah berjalan sejak abad ke-16 hingga tahun 1950-an. Simbol modernitas diawali oleh Descartes seorang filsuf yang memproklamasikan "aku berpikir maka aku ada" (cognito ergo sum). Ciri lain dengan modern maka otonomi subjek manusia sebagai pusat segalanya menjadi dominan (sesuai paham antropos centris). Manusia diatas segala-galanya.
Sayangnya, proyek modernitas ini mendapat cela besar. Pertama, modernitas menyandarkan diri pada serba rasional dan hampir-hampir ini menjadi mitologi. Padahal, rasionalitas bisa--dan sering malah--terpeleset. Sebab, ada sebuah jarak besar menganga misalnya antara moralitas dan rasionalitas. Moral seperti dipisah dari rasional padahal keduanya boleh dibilang jantung peradaban. Kedua, rasionalitas memacu percepatan masyarakat industrialis yang digelindingkan pada jebakan apa yang dinamakan "kebutuhan palsu". Timbulah hempasan budaya "konsumerisme" yang diakui atau tidak, bisa jadi ini adalah "anak haram" dari modernitas yang kepalang lahir. Lihatlah iklan-iklan krim pemutih yang mengatakan "putih adalah cantik", lalu bagaimana nasib orang papua yang ga putih?
Dua asumsi di atas menusuk dan mengkritik di episentrum modernitas. Lahirlah sebuah aliran pemikiran bernama post modern. Ia ingin mendesain ulang pikiran-pikiuran modern. Bagi post modern, semua yang dilecehkan oleh modern, berhak untuk hidup. Yang udik, lokal, moral dan serba sepotong-sepotong, merupakan hal yang juga harus dihargai. Modern yang kelewatan akan menjadi mitos berbahaya bagi kemajuan. Deridda, bisa disebut filsuf postmodern yang cukup berwibawa mengkritik modern dalam konteks di atas.
Berbeda dengan postmodern, Habermass nampaknya ingin menyelamatkan proyek modern. Habermass, seorang filsuf Jerman dari Mazhab Frakfrut School berpendapat, modern bisa diberikan kemungkinan bertahan bila ia meletakkan pada penyelamatan berupa menyediakan ruang bagi komunikasi. Disusunlah rasio komunikasi yang bebas dari tekanan, ruang publik yang terbuka serta penghargaan pada partisipan komunikasi yang bersepakat pada kebebasan dan rasionalitas sebagai medium awal komunikasi.
Sekilas, perdebatan panjang yang dipendekkan oleh saya hingga pemikiran Habermass seperti demikian menjelimet dan penting. Namun, bisa juga nothing. Sebab, pada akhirnya, bukan keluasan wawasan yang menjadi esensi namun ketepatan bertindaklah yang justru membawa implikasi. Wawasan hanya alat agar dalam mengeksekusi putusan kita cukup pertimbangan. Wawasan menghantarkan bahwa ternyata dunia semakin tua dan semakin relatif. Kebenaran bahkan terseok-seok entah dimana. Kita mesti bersabar agar waktu, kesempatan dan kita berada di gelombang yang sama dan membuat keputusan tepat serta berkualitas untuk meloloskan Indonesia dari krisis yang hampir tak berujung.

Tidak ada komentar: