Senin, 11 Februari 2008

Urgensi Jaminan Hak Atas Kebebasan Memperoleh Informasi Publik

Hak atas kebebasan memperoleh informasi publik merupakan bagian dari hak asasi manusia di bidang sipil dan politik yang harus dijamin oleh negara. Keberadaan dan jaminan hak atas kebebasan memperoleh informasi publik sekaligus merupakan sinyal dan pilar apakah suatu negara menganut konsep negara hukum dan demokrasi atau tidak. Konsep negara hukum dan demokrasi sendiri merupakan indikator bagi keberlakuan pemerintahan yang baik (good governance).

Jaminan hak atas kebebasan memperoleh informasi publik merupakan sarana dan strategi untuk mendorong pemerintahan yang terbuka (open government) sehingga masyarakat sebagai pelaku kedaulatan dapat turut serta berpartisipasi dan mengontrol tindakan penyelenggara pemerintahan. Selain itu, jaminan hak atas kebebasan memperoleh informasi publik dapat pula mendukung dan menjadi instrumen untuk mencegah praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Praktik KKN umumnya terjadi di dalam suatu sistem pemerintahan yang tertutup dan minimnya akses terhadap informasi publik.

Di dalam konteks negara hukum dan demokrasi, setiap pembentukan maupun pelaksanaan hukum harus senantiasa melibatkan partisipasi masyarakat. Melalui partisipasi masyarakat, menurut Filsuf Jurgen Habermas[1], akan merangsang masyarakat untuk memobilisasi solidaritas sosial sehingga melahirkan hukum yang legitim. Partisipasi masyarakat hanya akan dapat berlangsung bila akses terhadap informasi publik terjamin.

Secara yuridis, berbagai ketentuan internasional maupun nasional telah menyinggung jaminan hak atas kebebasan memperoleh informasi publik. Deklarasi Universal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948 pada Pasal 19 telah merumuskan mengenai hak setiap orang untuk mencari, menerima dan memberikan informasi. Demikian pula, Kovenan Internasional PBB tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada Pasal 19 telah mengatur tentang hak kebebasan mencari, menerima dan memberikan segala macam informasi tanpa melihat perbatasan negara. Adapun secara nasional, di dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada Pasal 28 F dirumuskan bahwa hak setiap orang untuk memperoleh informasi. Dengan rumusan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hak atas kebebasan memperoleh informasi publik merupakan hak konstitusional yang wajib dijamin negara.

Selain di tingkat konstitusi, hak atas kebebasan memperoleh informasi publik sebenarnya telah dijamin pula di berbagai peraturan perundang-undangan secara tersebar seperti Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan sebagainya. Namun demikian, terdapat permasalahan hukum yang timbul dari berbagai peraturan perundang-undangan tersebar di atas berkaitan dengan hak atas kebebasan memperoleh informasi publik. Permasalahan hukum ini menyangkut ketidakjelasan bagaimana masyarakat secara teknis mendapatkan informasi, apa kategori informasi publik dan perbedaannya dengan rahasia negara, bagaimana sanksi yang dapat dikenakan terhadap pejabat publik yang menghalang-halangi akses masyarakat terhadap informasi publik dan lembaga mana yang menangani keluhan terhadap pelayanan informasi. Hal inilah yang kemudian mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah untuk membentuk Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang hingga saat ini belum selesai dibahas dan disetujui.

Menurut Todung Mulya Lubis[2], diharapkan, pengaturan mengenai Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik dapat menjamin tiga elemen penting yang terkandung dalam hak atas informasi yakni hak untuk mengumpulkan informasi, hak untuk menyebarluaskan informasi dan hak untuk mengkomunikasikan informasi tersebut.
(Cuplikan abstrak tesisku)

[1]F Budi Hardiman, “Menyimak Filsafat Politik Habermas, Demokrasi Deliberatif: Model Untuk Indonesia Pasca Soeharto?”, Basis, No.11-12 Tahun ke-53, November-Desember 2004, 18.
[2]Todung Mulya Lubis, “Realitas Hak-Hak Untuk Mendapatkan Informasi Dan Berkomunikasi Di Indonesia”, Hukum dan Pembangunan, Nomor 4 Tahun Ke XVI, Agustus 1986, 350.

Tidak ada komentar: