Senin, 11 Februari 2008

Hukum, Masyarakat dan Partisipasi

Instrumen yang paling lemah dalam kehidupan bernegara kita saat ini adalah hukum. Kelemahan ini seakan-akan mengulangi lagi berbagai debat ahli terhadap fungsi hukum dalam masyarakat. Bagi Marx, misalnya, hukum seringkali dibaca sebagai pelayan bagi kelas yang dominan. Hukum, menurutnya, lahir dengan epistemologi berbau ketidakadilan kelas. Hal ini berbeda dengan Kelsen yang masih mempercayai kemurnian hukum. Syaratnya, ia harus dibebaskan dari anasir non hukum. Berbagai perdebatan dua ahli di atas tadi tidak sepenuhnya salah dan sekaligus juga tidak sepenuhnya benar.

Saat pedagang kecil digusur,UKM sulit mendapatkan kredit, usaha hypermarket mematikan pedagang kelontong dan koruptor divonis ringan maka rasanya hukum sedang berpihak pada kelas dominan, yakni kaum elite dan orang yang memiliki akses kekayaan (kapital) besar. Namun, saat hukum dikembalikan fungsinya demi ketertiban dan keadilan maka harapan kembali terang benderang. Ini bisa dilihat misalnya dari usaha legislator menyusun berbagai aturan yang menegakkan moral masyarakat, aparat kepolisian yang membongkar jaringan human trafficking dan narkoba maupun ikhtiar KPK yang tiada ampun menjerat koruptor melalui ketentuan yang ada. Dalam konteks terakhir, maka statemen Kelsen rasanya perlu dikoreksi. Hukum justru harus berkelindan dengan faktor non hukum, misalnya nilai moralitas di masyarakat, budaya yang pro terhadap penegakan hukum serta dukungan komunitas pengusaha yang berkepentingan terhadap negara yang bersih, bebas KKN.

Jadi, hukum mungkin perlu diredefinisi ulang. Ia bukan ruang imun bebas dari dinamika perubahan sosial masyarakat. Ia—bisa jadi—merupakan elemen yang perlu sumbu pendukung seperti komitmen elite politik yang ingin menegakkan hukum. Hukum merupakan dependent variable.

Meletakkan Relasi Hukum Dan Masyarakat

Dalam sejarahnya, memang hukum tidak pernah lepas dari masyarakat. Ubi societas ibi ius ( di mana ada masyarakat, disana ada hukum). Persoalannya, seberapa jauh hukum yang ada dibutuhkan dan berguna atau mendukung kepentingan masyarakat yang lebih banyak. Ini akan berjumpa dengan ranah politik hukum yakni suatu kebijakan negara untuk menyusun tentang penghukuman sesuatu baik sekarang maupun di masa depan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam konteks politik hukum, maka ada fenomena suatu tolak tarik yang amat kuat antara berbagai kekuatan politik untuk mempengaruhi hukum. Di sektor legislasi misalnya, kekuatan daya tolak tarik ini amat terdeteksi dengan kuat. Misalnya, saat menyusun daftar prioritas pembentukan aturan, dapat disusun suatu pertanyaan, apakah aturan yang dibentuk lebih melayani pada masyarakat luas atau ada titipan dari elite tertentu? Demikian pula di wilayah penegakan hukum misalnya, apakah agenda membasmi teroris sama kuat enerjinya dengan membasmi koruptor?

Untuk itulah maka menjadi amat penting membangun konstruksi negara hukum demokratis. Konstruksi ini dirumuskan melalui kohesi yang erat antara negara yang dibatasi penyelenggaraannya oleh hukum dan patuh menjalankannya dengan hukum yang diproduksi untuk membatasi negara diciptakan melalui mekanisme demokrasi. Melalui konstruksi inilah lalu dapat kita sajikan relasi harmonis antara hukum dan masyarakat. Disini pula, partisipasi publik dalam berbagai kegiatan hukum mulai dari pembentukan hingga pengimplementasian menjadi keniscayaan. Dan, memang, secara konstitusional, semua harapan di atas sudah termuat dalam UUD 1945 (Pasca Perubahan), khususnya di dalam Pasal 1. Namun, tinggal pertanyaan yang mesti dijawab, bagaimana konsistensinya?

Wacana Hukum Responsif

Ujung dari hubungan hukum, masyarakat dan partisipasi adalah desakan kebutuhan adanya hukum responsif. Menurut Nonet dan Selznick (2004), hukum responsif adalah hukum yang mampu melayani kebutuhan sosial masyarakat dan senantiasa terbuka bagi perubahan demi terakomodasinya aspirasi sosial masyarakat.

Bagaimana melahirkan hukum responsif? Menurut penulis, ini harus berawal dari kesadaran bersama bahwa hukum tidak hanya sebatas pasal-pasal seperti nomer telepon melainkan ia membawa bangunan ide, cita-cita dan moralitas bagi lahirnya kondisi ketertiban sekaligus keadilan secara simultan. Dengan kesadaran seperti ini maka pembentukan hingga penegakan hukum bukan menjadi alat bagi segelintir kelompok tapi melayani publik yang lebih luas. Berbagai kebijakan hukum dilakukan dalam kerangka mewujudkan keadilan, ketertiban serta kesejahteraan bagi semua, tanpa terkecuali.

Selain hal di atas, hukum akan semakin meningkat derajat responsifnya bila ia selalu menjadi formalitas kesepakatan publik. Artinya, level demokratisasi di setiap elemen baik pembentukan maupun penegakan hukum menjadi hal yang mendesak. Keterbukaan dan akses informasi, akuntabilitas serta penghormatan terhadap hukum menjadi agenda penting untuk mendorong hukum responsif.

Integritas

Ada anekdot yang mengatakan “negara ini terlalu banyak orang pintar namun sulit mencari orang berintegritas”. Integritas merupakan standar kompetensi yang didalamnya tercakup kejujuran, profesionalitas dan semangat anti korupsi. Dengan integritas yang baik dan berkualitas dapat membantu percepatan lahirnya hukum yang berpihak pada masyarakat luas.

Membangun integritas, tentu tidak mudah. Perlu komitmen dan ketabahan dalam melakukan kaderisasi personal maupun sistem untuk itu. Integritas sering diganggu juga oleh koalisi pragmatis atas nama kepentingan kapital sekelompok elite. Untuk itu, sudah waktunya masyarakat bersikap. Menegakkan integritas dan melawan semua praktik korupsi. Dan tak kalah pentingnya, mengembalikan hukum dalam otoritas tertinggi sebagai sistem aturan yang diharapkan mampu memberikan pedoman perilaku bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Harapan senantiasa tersedia bagi kita yang memang bekerja keras dan loyal terhadap aksi membasmi korupsi.

Tidak ada komentar: